Oleh: Muhammad Syaiful Bahri*
Secara ekologi Madura terdiri dari tegalan, bukan sawah. Struktur tanah tegalan ini membentuk cara berbudaya dan beragama orang Madura cenderung terkotak-kotak, di mana suatu desa terdapat beberapa kelompok keluarga yang terdiri dari 4-8 rumah. kelompok keluarga ini yang disebut dengan taneyan lanjang, yang mana di dalamnya terdapat bangunan khas Madura yang tidak ditemukan di daerah lain. Taneyan lanjang atau halaman panjang ini, di sebelah barat ada musala, di utara berderet rumah dari anak yang paling tua sampai ke yang muda, sedangkan di sebelah selatan terdapat dapur yang berderet sesuai dengan pola rumah yang ada.
Melihat pola perumahan atau taneyan lanjang, kita justru diajak bahwa orang Madura merupakan masyarakat yang sangat memperhatikan agama dengan serius, terbukti adanya musala di sebelah barat rumah. Masyarakat Madura sama seperti masyarakat pada umumnya yang disebut sebagai homo religius selalu menampilkan nilai-nilai agama dalam keseharian, interaksi sosial, dan bahkan agama menjadi simbol untuk berlomba-lomba melakukan ritual keagamaan, salah satunya adalah menunaikan ibadah haji. Bagi masyarakat Madura ibadah haji bukan hanya tuntunan syariat, yang menjadi bagian dari rukun Islam, tetapi lebih dari itu merupakan konstruk budaya masyarakat yang mengharuskan semua Muslim untuk berangkat ke tanah suci, meskipun secara ekonomi masih harus banting tulang siang dan malam.
Masyarakat Madura cara menampilkan keagamaan dalam kehidupan sehari-hari tidak cukup melaksanakan ritual agama saja, mereka mengadopsi kebudayaan yang melahirkan tradisi lokal, di mana misalnya dalam pelaksanaan ibadah haji, masyarakat justru terjebak pada pola konsumerisme. Orang yang melaksanakan ibadah haji dituntut untuk membuat pesta pemberangkatan dan begitu juga penyambutannya saat tiba dari tanah suci. Pesta penyambutan inilah yang bagi penulis menarik untuk dikaji lebih dalam, di mana kebiaasan masyarakat yag sudah over religius harus dibahas secara teliti sebagai upaya untuk mengetahui sejauh mana masyarakat Madura menerima dan melaksanakan ritual penyambutan jamaah Haji dari tanah suci.
- Iklan -
Dalam buku Rahasia Perempuan Madura (2013), A Dardiri Zubairi menegaskan kalau naik haji bagi orang Madura adalah sebuah impian. Tanyakan sama orang Madura, jika usahanya sukses, apa impian dia. Jawabnya: NAIK HAJI. Seakan keislaman seseorang tidak lengkap jika belum naik haji. Ibadah haji menjadi salah satu upaya untuk lebih diakui sebagai ibadah paling purna dalam masyarakat Madura. Tentu, hal semacam ini tidak berangkat dari ruang hampa, melainkan memang ada sejarah, budaya dan sosial masyarakat yang lebih dulu membentuk pola seperti ini. Lebih lanjut, Dardiri mengatakan bahwa Haji diharapkan mampu mentransformasikan kehidupan yang lebih baik dalam hubungannya dengan Allah, sesama, dan alam. Tiga model relasi itulah yang saya kira semua orang impikan bukan hanya masyarakat Madura.
Bagi orang Madura, sebelum berangkat ke Mekkah, rumah si calon haji akan ramai dengan keluarga, tetangga dan teman-teman yang akan berdatangan untuk memberikan dukungan moral, spiritual berupa doa dan ngaji Al-Qur’an yang dilakukan selama 40 hari sebelum berangkat. Ada juga yang minta doakan, supaya kelak dia juga bisa menunaikan ibadah haji. Kerja-kerja semacam ini berlanjut sampai si calon haji berada di Mekkah, hataman Al-Qur’an dan doa-doa akan terus mengalir dari rumah. Sampai pada akhirnya, tradisi penyambutan haji dengan menyembelih sapi atau kambing.
Tidak berhenti di situ, bagi orang Madura yang baru datang dari Mekkah harus rela untuk tidak istirahat selama 40 hari setelah kedatangannya. Karena ada banyak tamu yang berdatangan dari sekitar bahkan lintas kecamatan. Tradisi ini berlangsung dari dulu, dan berlanjut sampai sekarang. Tentu, dalam perjalanannya ada banyak perubahan yang terjadi, seperti diiring dengan mobil dan motor yang siap berada di belakang Pak Haji.
Pinjam bahasa Dardiri, bahwa bagi orang Madura melaksana ibadah haji bukan hanya ritual keagamaan, tetapi juga ada unsur budaya di dalamnya. Bisa dilihat dari oleh-oleh yang dibagikan baik berupa kopyah, siwak dan air zam-zam pada tamu yang datang untuk meminta doa Pak Haji yang baru sampai di rumah. Di sana juga ada simbol-simbol yang menjadikan ibada haji sebagai sakralitas yang paten bagi masyarakat Madura, yaitu simbol H di depan nama Pak Haji tersebut. Pantang masyarakat yang sudah selesai melaksanakan ibadah haji tidak menggunakan H di depan namanya. Seperti yang dikatakan di atas bahwa status haji begitu sakral.
Lebih jauh dari itu, status sosial seorang yang sudah berhaji akan dipandang sebagai kelas yang berada di atas, sedikit berada di bawah Kiai. Karena itulah bagi masyarakat yang sudah datang dari haji akan menggunakan kopyah putih dan kadang bersurban kesana-kemari. Masyarakat menaruh banyak perhatian pada Pak Haji, baik perilaku sosial maupun keagamaannya. Bahkan dalam ritual ibadah haji ada dua kutub besar, yaitu sakralitas dan egoisme budaya.
Di mana antara sakralitas yang ada dalam ritual keagamaan yang berupa ibadah haji ini juga ada semacam egoisme budaya yang ditampilkan. Sebut saja misalnya dalam penyambutan yang begitu meriah, iring-iringan mobil dan motor yang banyak di jalanan sampai masyarakat lain yang ingin menikmati jalan tersebut merasa terganggu. Jalan umum yang menjadi kebebasan bagi orang yang melewatinya akan terasa menghambat. Selain kemacetan tentu bunyi knalpot motor yang juga tidak kalah mengganggu. Karena pada umumnya sebelum menjemput Pak Haji knalpot akan dinyaringkan terlebih dahulu.
Kutub/Yogyakarta, 2021
*Muhammad Syaiful Bahri, Santri PPM Hasyim Asy’ari Yogyakarta, dan Aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).