Oleh Alfin Haidar Ali
Dalam tradisi pesantren, terutama pesantren-pesantren salaf, terdapat urutan kitab yang perlu dipelajari oleh santri dalam berbagai urutan ilmu-ilmu syariat. Semisal ilmu nahwu, terdapat kitab dasar yakni kitab jurumiyah, lalu imrithi hingga alfiyah.
Pada artikel ini, kita akan membahas kitab fathul mu’in. Dimana kitab ini biasa menjadi urutan kitab nomer dua bagi santri yang ingin mempelajari kitab klasik mazhab imam Syafi’i. Urutan kitabnya kurang lebih begini: fathul muin, fathul muin dan fathul wahab. Tiga kitab standar barusan sangat populer dikaji dibanyak pesantren.
Fathul muin sendiri merupakan kitab fikih klasik karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari. Al-Malibari sendiri adalah nama daerah di daerah India. Kitab ini merupakan kitab syarah (komentar) dari kitab qurrotul ‘ain.
- Iklan -
Dari segi penulisannya, kitab fathul mu’in memiliki keunikan tersendiri daripada kitab-kitab fikih lainnya.
Dari pembahasan awal saja, Syekh Zainuddin menulis bab sholat terlebih dahulu. Hal ini sangat berbeda sekali dengan kitab-kitab fikih pada umumnya, yang biasanya pada bab awal membahas tentang aturan bersesuci (thaharah).
Selain itu, kitab fathul muin juga dikenal sebagai kitab yang cukup sulit dalam penempatan rujukan sebuah dhomir (kata ganti). Pada pembahasan syarat-syarat sholat misalnya. Bila kita teliti pada kitab-kitab fikih pada umumnya, syarat-syarat sholat memiliki bab atau fasl tertentu dan pembahasannya tidak kemana-mana.
Tapi hal ini sangat berbeda sekali dalam kitab fathul muin. Pada halaman empat dalam kitab fathul mu’in kita disuguhkan pembahasan tentang pengertian syarat dan syarat pertama yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan sholat. Yang menjadi beda dari kitab ini adalah pembahasan akhir dari syarat sholat itu berakhir pada halaman 15.
Padahal secara sekilas syarat sholat hanya ada lima, yaitu menghadap kiblat; suci badan, pakaian dan tempat najis, suci dari hadats kecil dan besar, masuk waktu sholat dan menutup aurat. Tapi ketika menjelaskan satu persatu, masih mampir-mampir ke pembahasan lainnya.
Semisal syarat sholat harus suci dari hadats kecil, tentunya pembahasan ini masih berkaitan dengan bab wudhu’, maka pada bab pembahasan itu pula diterangka wudhu beserta perinciannya. Seperti tata cara, kesunahan, hal-hal yang membatalkan hingga kasus-kasus yang menjadi topik menarik dan penting dari bab wudhu itu sendiri.
Tak heran, bila kitab ini tidak sistematis. Bagi pengkaji dan penikmat ilmu fikih, ada tantangan sendiri saat mempelajari baris demi baris dari kitab fathul muin. Kita diajak berpikir dan merenungi khazanah keilmuan islam warisan ulama salafunas sholihin yang berbeda dari kebanyakan kitab.
Selain itu, ada beberapa “tanda”, semacam terminal pembahasan dalam kitab fathul muin. Terminal pembahasan ini biasanya akan ditebalkan tulisannya didalam kitab. Terminal pemabahasan ini seperti terminal bus/angkot di kota-kota, sebuah tempat berhenti, memulai dan tetenger (tanda, red) yang perlu digaris bawahi keadaannya.
Terminal pembahasan itu ada yang bernama far’un. Far’un bahasa simpelnya adalah permasalahan cabang. Jadi ketika kita membahas tentang bab najis misalnya, Syekh Zainuddin akan membahas kasus tertentu yang biasa terjadi di masyarakat pada umumnya. Ia menjelaskannya secara rinci.
Selain itu, ada juga yang bernama tanbihun (peringatan) dan faidah (manfaat). Jadi, dalam terminal tanbihun ini, pengarang kitab seolah mewanti-mewanti pada pembahasan yang dibahas itu terdapat catatan yang penting sekali. Misal pembahasan tentang udzur kebolehan tidak melaksanakan sholat berjemaah.
Nah, ketika ada tanbihun, mushonnif kemudian menerangkan pentingnya menerangkan keterangan hukum udzur tidak melaksanakan sholat jamaah karena terdapat ulama yang menghukumi sholat jamaah hukumnya fardhu ain, sehingga perlu diterangkan udzur-udzur kebolehan tidak sholat berjamaah dan ia tidak berdosa bila terdapat udzur yang telah diterangkan tersebut.
Selain itu, juga terdapat istilah qoidah. Syekh Zainuddin dalam karyanya ini menyelipkan pengaplikasikan kaidah fikih sehingga membuat kita lebih mudah mempelajari ilmu fikih. Seperti kaidah pada halaman 13 yang berbunyi :
أّنَّ مَا اَصَلُهُ الطَّهَارَةُ وَغَلَبَ الظَّنُّ تَنَجُّسَّهُ لَغَلَبَةِ النَّجَاسَةِ فِي مِثِلَهَ قَوْلَانِ مَعْرُوْفَانِ بِقَوْلَي الْاَصْلِ وَالظَّاهِرِ اَوِ الْغَالِبِ اَرَجَحُهُمَا اَنَّهٌ طَاهِرٌ
Artinya : sesungguhnya asal dari sesuatu itu apabila suci dan kemungkinan besar kemudian terdapat sesuatu yang menajiskannya, maka terdapat dua qoul yang masyhur: mengkuti hukum asal (suci) dan hukum kaprahnya (najis). Yang paling unggul dari dua pendapat tersebut adalah suci.
Teks kitab diatas merupakan implementasi dari kaidah fikih :
اَلْاَصْلَ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
Artinya : hukum asal adalah tetapnya sesuatu atas keadaan sebelumnya.
Sehingga, ketika kita mendapati kasus berupa keragu-raguan seperti kasus yang ada di dalam kitab fathul muin itu tadi, kita cukup berargumen dengan kaidah fikih tersebut.
Terakhir, adalah tatimmah atau muhimmah (penyempurna/penting). Jadi salah satu kebiasaan Syekh Zainuddin sebelum mengakhiri pembahasan terdapat terminal tatimmah atau muhimmah sebagai penyempuna dari fasl tersebut.
Bila para santri ingin mudah mempelajari kitab fathul muin ini, para santri biasa menggunakan kitab ianah ath-tholibin sebagai hasyiyah atau catatan pinggir dari kitab fathul muin. Sebagaimana namanya yang berarti penolong bagi santri, maka kitab i’anah ath-thalibin ini sangat membantu sekali bagi santri untuk mempelajari kitab fathul muin yang cukup rumit dan berbeda dari kebanyakan kitab fikih lainnya.
Bahkan terdapat anekdot atau petuah ustadz yang sangat saya ingat berkenaan dengan kitab fathul muin. Bunyinya seperti ini, “barangsiapa yang lancar membaca fathul muin, insyaallah ia akan mudah memahami fikih dari kitab-kitab lain. Karena bahasa kitab fikh itu tidak jauh beda. Karena fathul muin itu bahasanya sulit, sedangkan kitab lain tidak sesulit fathul muin.”
Selain itu, “barangsiapa yang mempelajari kitab fathul muin tapi tidak memegang atau merujuk pada kitab syarahnya, yakni kitab i’anah ath-thalibin maka ia telah sombong. Memahami kitab fathul muin itu sulit apabila tidak disertai dengan kitab i’anah”.
Dengan demikian, rasanya masih kurang pas sekali bila ada sosok santri, peneliti hingga ahli fikih yang mengaku mulai merasa mendalam ilmu agamanya bila tidak mendalam pula pemahaman fikihnya dalam kitab fathul muin.
Sekian. Terima kasih. Semoga bermanfaat.
-Alfin Haidar Ali. Umur 20 tahun. Suka menulis dan konten kreator keislaman. Bisa dihubungi via IG : alfinhaidarali179.