Jakarta – Di penghujung bulan, Rabu (30/6/2021), berlangsung Seri ke-2 ToT Fasnas Pendidik Madrasah Penyelenggara Pendidikan Inklusif secara virtual melalui Zoom Meeting yang diikuti puluhan peserta se Indonesia.
Kegiatan Training of Trainer (ToT) Fasilitator Nasional (Fasnas) Madrasah Penyelenggara Pendidikan Inklusif berbasis Gender, Disabilitas dan Inklusi Sosial (GEDSI) yang dibuka sejak 16 Juni 2021 ini digelar Kementerian Agama RI melalui Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis). Kegiatan ini digelar secara daring, bekerjasama dengan INOVASI dan Froum Pendidik Madrasah Inklusif (FPMI).
Pada kesempatan ini, hadir Kepala Pusat Riset Gender (PRG) Sekolah Stratejik dan Global Universitas Indonesia Dr. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah, S.Th.I, M.Si., sebagai narasumber yang dimoderatori Mahruf.
Dalam materi bertajuk Penguatan Perspektif Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) di Bidang Pendidikan. ”Gender itu hal-hal yang dikaitkan dengan jenis kelamin, berbeda dengan jenis kelamin,” beber Dr Iklilah.
- Iklan -
Menurut perempuan yang lahir di Jember, 1 Januari 1977 ini menjadi perempuan dan menjadi laki laki adalah produk konstruksi gender. Hal itu dalam materinya, dikarenakan ada perlakuan, pengetahuan dan pengalaman laki laki dan perempuan berbeda. Kemudian hal yang dianggap penting bagi laki laki dan prmp berbeda, dan kebutuhan, orientasi, kepentingan laki laki dan perempuan pun menjadi berbeda.
”Pada akhirnya, laki-laki dan perempuan memiliki peran, kebutuhan yang berbeda,” beber Pengajar di Program Studi Kajian Gender SKSG Universitas Indonesia (Program Pascasarjana).
“Tidak bisa kita melihat laki-laki itu satu identitas, perempuan satu identitas. Contoh, saya Iklilah, saya Jawa, rambut sedikit keriting, tapi saya dalam konteks ini menjadi dosen, trainer, nah identitas ini menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan,” ujar Dewan Ahli Forum Koordinasi Nasional BLK Komunitas (FKN-BLKK) Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tersebut.
Maka dari itu, dalam konteks pendidikan perlu pengarusutamaan Kesetaraan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial di Madrasah. Dijelaskan pula, dasar pengarusutamaan GEDSI di pendidikan sudah jelas. Pertama, UU No.7 1984 tentang CEDAW (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women). Kedua, Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2006 :Penetapan Unit Pelaksana , Tugas dan Fungsi Pengarusutamaan Gender Di lingkungan Departemen Agama. Keempat, Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang PUG dalam Pembangunan Nasional
Ketiga, Peraturan Kemendikbud Ristek No. 84 tahun 2008: pedoman pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pendidikan, menerapkan pedoman tersebut untuk pendidikan. Keempat, Strategi Pengarusutamaan Pembanngunan Nasional RPJMN 2020 2024 (PUG).
Kelima, Peraturan Kemdikbud Ristek No. 22 tahun 2016 dan No. 37 tahun 2018 : guru harus menghargai perbedaan siswa dan dapat menggunakan bahasa daerah untuk menyampaikan bahan ajar sebagai bagian dari inklusi sosial. Keenam, PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Nomor 84 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender Bidang Pendidikan.
Urgensi GEDSI di bidang pendidikan menurutnya ada beberapa hal yang melatarbelakanginya. Pertama, kesenjangan gender dan pembedaan sosial masih terefleksi pada sistem pendidikan yang ada. Kedua, adanya formal equality belum memberi kepastian kepada praktik pendidikan yang berkeadilan bagi kelompok marginal. Ketiga, model, sistem , struktur, dan budaya pendidikan masih dijumpai diwarnai pola segregasi yang seksis.
Keempat, sangat sedikit dijumpai sistem pendidikan yang menerapkan kesetaraan substantif. Kelima, praktik dalam dunia pendidikan masih dijumpai adanya diskriminasi pada kelompok rentan. Keenam, praktik pendidikan masih dijumpai melanggengkan nilai-nilai pembakuan peran gender yang subordinatif.
Di akhir materinya, pihaknya menegaskan bahwa madrasah adalah rumah kedua. ”Masa depan bangsa bergantung pada nilai dan karakter yang ssalah satu pilar utamanya dibangun melalui bangku madrasah yang inklusif,” tegasnya.
Narasumber kedua, Gender Officer, INOVASI, Repelita Tambunan dalam materinya bertajuk Strategi Implementasi GEDSI dalam Pendidikan di Madrasah menyampaikan bahwa dimensi GEDSI yang mempengaruhi inklusi siswa dalam pendidikan meliputi kesetaraan gender, disabilitas, dan inklusi sosial.
Pihaknya menegaskan bahwa INOVASI fase II memperkuat GEDSI memiliki sejumlah latar belakang. Pertama, mendukung Pemerintah Indonesia dalam memenuhi komitmen internasionalnya terhadap kesetaraan gender (Education for All/Pendidikan untuk Semua, Sustainable Development Goals (SDGs 4)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan). Kedua, mendukung Kemdikbudristek dan Kemenag untuk menerjemahkan kebijakan GEDSI nasional ke dalam praktik untuk mencapai tujuan EFA & SDG 4.
Master of Science in Gender and Development Studiesfrom the School of Environment Resources and Development, Asian Institute of Technology (AIT),Bangkok, Thailand ini juga memaparkan bahwa sekolah yang responsif GEDSI memiliki beberapa ciri.
Pertama, siswa perempuan dan laki-laki memiliki akses yang sama ke pendidikan. Kelima, semua anak perempuan dan laki-laki menerima perlakuan yang sama, dan kurikulum yang sama meskipun materi pembelajaran dapat diajarkan secara berbeda. Ketiga, siswa laki-laki dan perempuan mampu bekerjasama tanpa ada subordinasi dan marjinalisasi jenis kelamin tertentu.
Keempat, suru memberikan contoh-contoh keberhasilan, prestasi yang sama antara Siswa perempuan dan laki-laki. Kelima, menghindari kekerasan fisik dan non fisik kekerasan sexual terhadap siswa laki dan perempuan
Sedangkan dari aspek sarana dan prasarana, sekolah yang responsif GEDSI dalam hal penyediaan toilet, maka jumlah toilet proporsional bagi pengguna peserta didik perempuan dan laki-laki, dan toilet/sanitasi terpisah bagi peserta didik perempuan dan laki-laki dan layanan dan pendidikan manajemen Higiene Menstruasi.
Sedangkan ruangan khusus layanan, yaitu ruang konsultasi yang nyaman; ruang ganti terpisah bagi peserta didik perempuan dan laki-laki; ruang ibadah kekusyukan untuk peserta didik perempuan dan laki-laki.
Menurutnya, langkah-langkah penerapan GEDSI pada aspek penguatan kelembagaan dimulai dari strategi penguatan kelembagaan, pendampingan dan (advokasi) dan fasilitasi, pemetaan potensi dan Kelompok Kerja (Pokja) GEDSI, sekolah dan madrasah yang berorientasi GEDSI, pengembangan materi dan media Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) GEDSI, pengembangan jaringan/sistem informasi, menjalin komunikasi dengan lembaga pemerintah atau institusi lain , dan evaluasi keberhasilan penerapan GEDSI.
”Ada tiga kunci dalam GEDSI. Pertama, kesetaraan dalam kesempatan. Kedua, akses. Ketiga, benefitnya,” demikian yang disampaikan saat menjawab pertanyaan peserta saat sesi diskusi.
Usai penyampaian materi, dan diskusi bersama, kegiatan dilanjutkan dengan breakout session room 1. (Ibda)