Oleh Hilal Mulki Putra
Honorer adalah satu kata yang sering digunakan sebagai nama lain untuk menyebutkan guru tidak tetap. Sebagaian besar masyarakat akan memilih menghindar saat mendengar kata tersebut. Memang tidak dipungkiri bahwa profesi sebagai Guru Honorer terkadang dipandang sebelah mata. Di sekolah Negeri tidak sedikit guru honorer yang terkesan menjadi guru multifungsi.
Masyarakat awam belum benar-benar paham bagaimana perjuangan para guru honorer. Hal tersebut yang kemudian yang melatarbelakangi penulis menuangkan kegundahan, kekecewaan dan tekanan lahir maupun batin akan nasib guru yang terus-terusan tak menentu. Walaupun penulis sendiri merupakan guru wiyata yang juga masih dalam tahap studi di perguruan tinggi, tetapi melihat fenomena yang menyedihkan, seperti judul diatas demikian, membuat penulis ingin menuangkan dalam tulisan kali ini.
Guru merupakan agen utama bangsa dalam mencerdaskan, membimbing, mendidik, dan membentuk karakter anak bangsa, masih banyak lagi fungsi dari keutamaan seorang guru. Seharusnya pemerintah tak perlu pikir panjang dan berucap bertele-tele kalau memang mau mensejahterakan guru. Pertama, Haruskah pengabdian para guru senior harus dibuktikan lagi dengan berlembar-lembar soal untuk menjadi Aparatur Sipil Negara? Kedua, apakah mau menakuti generasi bangsa yang bercita-cita jadi guru dengan gaji yang jauh dari kata layak? Ketiga, apa sih kesulitan memberikan upah yang layak kepada guru yang telah sudi meluangkan waktu untuk mendidik generasi bangsa , “Dari dulu anggarannya ke mana?. ”
- Iklan -
Mungkin ketiga pernyataan mewakili berbagai macam pertanyaan yang terngiang dipikiran para guru Indonesia, terkhusus penulis yang mulai mengarumi dunia pendidikan. “Weslah, Pusing mikirin pemerintah yang lesu mikirin nasib guru, apa sebaiknya saya yang mencari peluang di luar saja yang memberikan apresiasi lebih baik?”. Itulah sekelumit dalam batin penulis yang pusing dan merasa kecewa dengan pemerintah yang terus-terusan masih terasa pikir panjang untuk mensejahterakan guru honorer.
Ya, memang betul profesi guru tak bisa disamakan dengan karier, tetapi kita tak munafik dan menampik akan butuhnya uang sebagai salah satu kebutuhan untuk keberlangsungan hidup. Para anggota dewan yang mungkin kebanyakan hanya titip absen, bahkan kadang tak sedikit dijumpai tidak hadir maupun pules dalam tidurnya mendapat gaji yang fantastis, Lha ini guru honorer yang mencerdaskan anak-anak mereka kok cuma dikasih upah jauh banget dari UMR.
Pengalaman penulis ketika mulai berjibaku dalam dunia pendidikan banyak pemikiran, doktrin dan sebagainya yang mengatakan “kalau jadi guru yang ikhlas, gausah ngarep bayaran karena semuanya akan diganti oleh Tuhan Yang Maha Kuasa”. Memang betul doktrin demikian tetapi ingatlah kita berprofesi di bawah naungan lembaga negara seperti Kemenag dan Kemendikbudristek yang di mana kesejahteraan guru juga menjadi skala prioritas bukan?
Akan panjang membahas persoalan yang telah berangsur bertahun-tahun ini. Langkah yang patut diapresiasi, sebenarnya pemerintah telah menyediakan formasi sebanyak 1.002.616 kepada guru honorer K-II untuk mendaftarkan diri dalam seleksi tes menjadi guru PPPK yang setingkat dengan PNS. Sayapun mengapresiasi langkah pemerintah yang lebih serius dalam memperhatikan nasib para guru honorer. Hal ini menjadi keoptimisan sendiri bagi guru-guru yang lain untuk sedia dan berharap dapat lebih mendapatkan perhatian dari pemerintah ke depannya.
Banyak guru berstatus honorer dalam menjaga dapur terus mengebul mencoba berwirausaha maupun mencari peruntungan pekerjaan sampingan diluar yang membuat mereka harus berpikir dan bekerja dua kali untuk tetap fokus dalam mengajar siswa dan menjaga dapur rumah tetap mengebul. Yang pada akhirnya banyak pula guru honorer yang kemudian sukses tanpa embel-embel gaji menjadi PNS.
Tetapi perlu diingat seyogyanya anggaran pemerintah yang sedemikian banyak haruslah juga dapat berpihak pada nasib para guru honorer yang lain. Jika belajar dari sejarah negara lain, macam Jepang yang dapat bangkit saat pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki adalah karena peran guru yang yang vital dalam menciptakan generasi muda yang berkarakter.
Kita ambil contoh sejarah jepang setelah masa keterpurukan pengeboman kota Nagasaki dan Hiroshima, dimana pada saat keadaan terpuruk setelah peristiwa pengeboman sang kaisar langsung menanyakan kepada para jendralnya, berapa jumlah guru yang tersisa, mengapa kaisar menanyakan hal demikian? Karena pada saat itu kaisar jepang menyadari bahwasannya jepang tertinggal dengan negara barat dalam kualitas pendidikan.
Jepang menyadari pada waktu itu hanya kuat dalam persenjataan tetapi tak mampu menyaingi negara barat dalam hal kualitas pendidikan sehingga dengan mudahnya jepang tersalip dalam hal persenjataan oleh negara barat waktu itu, sehingga membuat jepang dihancurkan dengan seketika lewat bom atom dengan skala kekuatan yang dahsyat.
Menyadari kualitas pendidikan yang perlu ditingkatkan, pada akhirnya pemerintah jepang menghargai dan mengapresiasi guru dengan pemberian jaminan kesejahteraan. Sehingga apa yang terjadi pada saat ini jepang menjadi negara yang maju bahkan saat jepang dilanda dengan guncangan tsunami jepang dapat dengan cepat bangkit dari keterpurukan. Mengapa hal demikian dapat terwujud? Karena sumber daya manusia (guru) yang mendapatkan akses kesejahteraan sehingga kualitas pendidikanpun dapat berjalan dengan harmoni.
Setiap kata, kalimat bahkan ilmu yang diajarkan oleh guru kepada para peserta didik tidak akan mampu jika dinominalkan, tetapi walaupun demikian para guru Indonesia berhak dan layak untuk menerima apresiasi lebih dari pemerintah yang ikut mendidik harta terpenting bangsa yaitu generasi bangsa.
Berpuluh-puluh tahun banyak guru yang tak mendapat rekomendasi menjadi PNS sehingga terlunta-lunta mencari peruntungan sampingan memenuhi kebutuhannya. Ada pula yang tanpa menjadi PNS tetapi dapat dengan mudah memenuhi kebutuhan hidup, tetapi hal demikian tak menjadi patokan karena sejatinya guru haruslah menerima keadilan, kelayakan dan kesejahteraan dari pemerintah yang berfungsi sebagai pengayom masyarakat tak terkecuai guru.
Perlu diingat kembali! guru yang merdeka dan sejahtera adalah gerbong utama dalam mensusksesan suatu negara memiliki generasi yang hebat dan berkarakter. Pahlawan bukan hanya yang mengangkat senjata dan menumpahkan darah, tetapi pahlawan juga manusia yang mengangkat pena dengan mengukir generasi mendatang yang berkarakter. Merdeka bukan hanya sebatas pengakuan dan penglihatan akan tetapi, merdeka juga memperoleh akses kelayakan, keadilan hingga kesejahteraan.
– Hilal Mulki Putra, lahir pada 10 Juni 2020, Saat ini berdomisili di Dsn. Tlogopucang Selatan, Ds. Tlogopucang, Rt/Rw. 04/05, Kec. Kandangan, Kab. Temanggung. Pernah nyantri di Pondok Pesantren Chasanah Tlogopucang (2013-2016) asuhan KH. Abdul Jalil kemudian melanjutkan nyantri kembali di Pondok Pesantren Sunan Plumbon Krajan, Tembarak Temanggung (2016-2019) asuhan KH. M. Abdul Hakim Cholil, S.Ag. saat ini penulis merupakan seorang mahasiswa di Institut Agama Islam Nahdhatul Ulama (INISNU) Temanggung dan aktif sebagai tenaga wiyata kependidikan di MI Ma’arif 2 Tlogopucang di sela-sela kesibukan aktif menulis berbagai jenis artikel yang dimuat di beberapa media internet sebagai sarana pengembangan hobi dari penulis.