Oleh S. Prasetyo Utomo
SAYA mengenal Gus Mus sebagai sastrawan dan ulama. Dalam tiga kali pertemuan saya dengan beliau, semakin mempertebal kesadaran mata batin bahwa puisi-puisi yang diciptakannya, bukanlah sekadar ekspresi estetika. Puisi-puisi Gus Mus merupakan ekspresi pendidikan Islam yang memanfatkan bahasa satire, jenaka, main-main, dan kadang menggoda kita. Puisi-puisi Gus Mus menyingkap kebusukan perilaku sosial, budaya, dan politik yang aktual diangkat dalam pembelajaran ruang kelas, mengembangkan budaya literasi, dan sebagai teks evaluasi.
Pendidikan Islam, dalam gagasan M. Yusuf al-Qardhawi yang dikutip Azyumardi Azra, menyiapkan manusia untuk hidup lebih baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Pendidikan Islam merupakan proses pembentukan individu mampu menuaikan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi, mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Ekspresi pendidikan Islam dalam puisi-puisi Gus Mus dapat saya temukan dalam buku Pahlawan Tikus (Pustaka Firdaus, 1995). Ia mencipta puisi-puisi gelap, puisi-puisi remang-remang, puisi-puisi agak terang, puisi-puisi terang, puisi-puisi terang-terangan, dan puisi-puisi penerang. Bahasa puisi, baginya, diekspresikan dengan cara bermain-main, yang membawa pembaca untuk merenung, dan menemukan katarsis akan hakikat hidup manusia sebagai khalifah di muka bumi.
***
- Iklan -
DALAM puisi “Tikus-Tikus di Atas Meja”, Gus Mus melancarkan kritik terhadap tatanan birokrasi yang suka mencuri dengan memanfaatkan bahasa simbol. Binatang tikus telah menjadi simbol bagi perilaku manusia yang suka mencuri, mengambil hak orang lain. Kekuatan puisi ini justru terletak pada diksi Gus Mus dengan cara bermain-main untuk mencapai kesadaran akan kejahatan manusia yang rakus: Tikus-tikus pun sekejap menghilang/Bagai ditelan bumi/ Tapi tak lama moncong dan taringnya/Muncul kembali/ Mengawasi sekeliling dengan waspada/Lalu naik lagi dengan mata dan hidung memeriksa/Ketika tak ada lagi yang bisa dimakannya/Mereka pun beramai-ramai menggerogoti meja/ Seekor kucing gembong mendekam di sudut/Pura-pura tak tahu/Atau barangkali/takut//.
Gus Mus menyebut puisi ini “remang-remang”. Artinya, ia memanfaatkan simbol-simbol yang konvensi maknanya sudah sangat dipahami masyarakat: (1) tikus sombol perilaku kaum koruptor, (2) kucing simbol aparat pemerintah yang mengontrol dan menegakkan hukum, (3) meja sebagai simbol kekayaan negara. Ketika ia menulis kucing takut pada tikus yang menggerogoti meja, dapat dimaknai sebagai situasi aparat pemerintah yang menegakkan hukum takut pada perilaku kaum koruptor yang menggerogoti kekayaan negara. Kritik kekuasaan ini karena ia menghadirkan metafora untuk menggambarkan kebusukan perilaku kaum koruptor dan aparat hukum. Kalau puisi ini dimanfaatkan sebagai bahan ajar dalam dunia pendidikan, tentu akan memberikan kesadaran para siswa akan perilaku jujur, setia pada negara, dan menghormati aparat pemerintah yang menegakkan hukum.
Dalam “puisi-puisi terang”, Gus Mus tak lagi memerlukan simbol. Ia tidak memanfaatkan metafora untuk menggambarkan kebusukan perilaku manusia dalam budaya birokrasi maupun kekuasaan. Ia memanfaatkan diksi lugas, yang menuntaskan religiusitas. Akan tetapi, kebiasaannya menyingkap kebusukan budaya maupun politik dengan bahasa satire, menghadirkan olok-olok, menertawakan budaya korupsi dan suap, seperti dalam puisi “Di Negeri Amplop”: Amplop-amplop di negeri amplop/Mengatur dengan teratur/Hal-hal yang tak teratur menjadi teratur/Hal-hal yang teratur menjadi tak teratur/Memutuskan putusan yang tak putus/Membatalkan putusan yang sudah putus/Amplop-amplop menguasai penguasa/Dan mengendalikan orang-orang biasa//
Dalam puisi “Orang Kecil Orang Besar”, Gus Mus leluasa menertawakan ideologi rakyat dalam mamandang kekuasaan. Betapa menjadi rakyat jelata, orang kecil, mesti berhadapan dengan penistaan kekuasaan. Dengan puisi ini Gus Mus melancarkan kritik terhadap ideologi kekuasaan, mempertanyakan kedaulatan rakyat, demokrasi, keadilan, dan kemanusiaan. Menarik, caranya menyampaikan ide puisi dengan bermain-main: Sang ibu ikut wanti-wanti:/”Betul, jangan sekali-kali jadi orang kecil/Orang kecil jika jujur ditipu/Jika menipu dijur/Jika bekerja digangguin/Jika mengganggu dikerjain”//Ayah dan ibu berganti-ganti menasihati:/”Ingat, jangan sampai jadi orang kecil/Orang kecil jika ikhlas diperas/Jika diam ditikam/Jika protes dikentes/Jika usil dibedil”//
***
DALAM pandangan Sapardi Djoko Damono, puisi-puisi Gus Mus dikatakan unik, karena mengungkap masalah sosial dan spiritual dengan menggunakan bahasa sehari-hari. Taufiq Ismail menilai puisi-puisi Gus Mus memiliki keterlibatan yang kuat dengan masalah sosial. Kesungguhan seorang saleh berilmu, kerendahan hati dan rasa humor membayang dalam puisi-puisinya. Sedangkan Danarto menilai, melalui puisi, Gus Mus membuat ayat-ayat suci menjadi operasional bagi sepak-terjang keadilan, kemakmuran, dan kebenaran.
Religiusitas puisi-puisi Gus Mus yang kuyup persoalan bangsa dan negara inilah yang menjadi pertimbangan utama untuk mengangkatnya dalam materi pembelajaran literasi. Puisi-puisi Gus Mus memberikan kesadaran pada anak didik akan kebusukan moral, budaya, birokrasi, dan kekuasaan. Anak didik mempunyai ruang gerak untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki. Puisi-puisi Gus Mus yang bermain-main dengan kata itu justru memurnikan kembali kebusukan moral, budaya, birokrasi dan kekuasaan itu. Puisi-puisinya mempertajam kepekaan hati (qalb), intelek (aql), membebaskan siswa dari kebodohan absolut, membebaskan kesadaran dari kultur bisu manusia tertindas.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes, Komisi Seni Budaya MUI Jateng.