Oleh Bandung Mawardi
Sekian hari setelah Lebaran, publik diajak mengingat buku atau perpustakaan. Pemerintah menetapkan 17 Mei sebagai hari Buku Nasional meski sekian pihak sulit bermufakat. Peringatan tak tepat atau lemah dalam argumentasi. Kita mendingan mengingat tanggal itu berkaitan pendirian Perpustakaan Nasional. Kita pun masih menunduk malu gara-gara belum mengetahui sejarah Perpustakaan Nasional. Tulisan-tulisan bisa ditemykan berkaitan Perpustakaan Nasional belum berurusan sejarah, tokoh, dan tatanan politik-kultural, dari masa ke masa.
Tahun demi tahun, Perpustakaan Nasional keranjingan membuat “berita” atau memasang “advetorial” di koran dan majalah meminta pujian atas program-program besar. Berita terakhir adalah penetapan Gol A Gong sebagai Duta Baca Indonesia. Dulu, ia pengarang novel-novel remaja (Balada Si Roy) dan membuktikan tanggung jawab besar literasi dengan mendirikan Rumah Dunia (Banten). Kita mengingat sejenak saja masalah Perpustakaan Nasional. Kita memikirkan buku saja.
Di negara tetangga, Seno Gumira Ajidarma membuat pengumuman tak terlalu mengagetkan tapi membikin malu. Setahun, sebelum Indonesia terguncang gara-gara politik, Seno Gumira Ajidarma mengabarkan Indonesia dan buku di hadapan para pejabat dan tamu di Bangkok, Thailand. Seno Gumira Ajidarma (1997) tak sedang berkelakar saat berpidato singkat: “Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan saya dibaca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar–yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya.” Masalah itu sering diungkapkan para pengarang, pengamat, dan pejabat cap bijaksana. Omongan berulang tanpa ralat, tak pernah terjawab.
- Iklan -
Seno Gumira Ajidarma sudah menghasilkan buku puisi, novel, kumpulan cerita, dan lain-lain. Buku demi buku terbit. Ia mengaku tak memiliki kepastian buku-buku terbaca, berbeda dari urusan laris di pasar. Peragu atas buku dan pembaca beralamat di Indonesia. Ia pantang pesimis tapi berkelakar: “Dalam masyarakat semacam itu, apakah seorang penulis masih ada gunanya? Apalagi seorang penulis dengan gagasan-gagasan kecil seperti saya.” Ia tak membicarakan diri saja tapi puluhan atau ratusan orang di Indonesia memilih menulis beragam bentuk, mendapat predikat penulis. Mereka dimasalahkan dalam “guna”. Seno Gumira Ajidarma bukan pamer pesimisme. Mereka terhormat dengan tulisan-tulisan, tersaji di media cetak atau berwujud buku-buku.
Kita dirundung kecewa-kecewa disuarakan orang-orang berkecimpung dalam sastra, memberi persembahan buku-buku terduga dengan sedikit pembaca, dari masa ke masa. Kita bisa berganti mengurusi tokoh di negeri jauh: Jorge Luis Borges. Hasif Amini (1995) setelah menekuni biografi dan teks-teks gubahan pengarang kondang asal Argentina itu memberi sejumput pengetahuan untuk pembaca di Indonesia: “Di hari tuanya, di antara pelbagai penghargaan (yang datang agak terlambang) dari sejumlah penjuru dunia dan kebutaan yang telah menyeluruh di kedua matanya, Borges masih juga mengenang kesunyian ruang perpustakaan miliki ayahnya.” Di situ, Borges sejak remaja berjumpa ribuan buku: masuk dan mengembara jauh.
Borges mula-mula pembaca. Ia “memuja” buku-buku, memiliki buku-buku meski ia telah buta. Ia masih saja bersama buku-buku. Pada masa dewasa, ia adalah penulis buku-buku memukau bagi pembaca di pelbagai negeri. Borges mendapatkan pembaca. Ia tentu memastikan memiliki pembaca. Buku-buku terbukti berfaedah. Penulis pasti “berguna”, berbeda dari kelakar Seno Gumira Ajidarma saat meraih South East Asia Award 1997. Borges saat buta teta membaca dan dibaca. Ia pun berkelakar biografi terbentuk dari ribuan buku, berkiblat di perpustakaan: bermula dari perpustakaan di rumah sampai perpustakaan nasional. Ia mungkin “kritik” bagi abad XXI saat rumah-rumah tanpa perpustakaan dan hari-hari miliaran manusia tanpa buku-buku.
Usaha menjadi pembaca buku di abad XXI berselera digital tak lagi sama dengan maksud Seno Gumira Ajidarma atau Borges. Kebiasaan membaca, adegan, membaca, atau cara membaca telah berubah. Buku di masa ragu, berpenampilan cetak atau ditatap di gawai. Situasi berbeda dari pidato pengarang Indonesia di Thailand atau biografi Borges memuliakan buku di Argentina. Kita melihat bahwa para pembaca buku masih ada. Di tangan, pembaca tak memegang buku tapi gawai. Ia adalah pembaca buku. Di luar seribu sangkaan atau godaan memfitnah, kita masih mungkin menerima keberuntungan atas pemujaan buku-buku di kalangan kolektor atau penikmat edisi-edisi cetak: tak meragu dengan buku meski dalih-dalih meninggalkan cetak terus disampaikan menggunakan diksi-diksi hutan, murah, irit, dan lain-lain.
Pada masa impian buku berlatar Orde Baru, Ignas Kleden (1999) berpetuah: “Buku dapat dilihat juga sebagai bagian dari suatu tingkah laku budaya.” Di Indonesia, Ignas Kleden membuktikan sebagai pembaca buku dan penulis esai-esai mumpuni telah terbit menjadi buku-buku. Ia dalam posisi (paling) mengerti diri, buku, dan Indonesia sebelum berpetuah. Hal penting: “Kebiasaan membaca, apalagi kebiasaan menulis, mengandalkan semacam individualisme kebudayaan.” Kita mengerti itu pertaruhan orang mau sibuk-serius membaca dan menulis, menghitung kesanggupan diri dalam menikmati buku dan mempersembahkan tulisan. Individu dengan ketangguhan. Ia seperti memberi kepastian tanpa bantahan: buku, buku, buku.
Pada abad XXI, para penulis dan buku di Indonesia masih mendapatkan penghargaan dari pemerintah, majalah, komunitas, perpustakaan, perusahaan, dan lain-lain. Kepunahan belum terjadi untuk makin “merendahkan” kemauan orang membaca buku (cetak) memberi jaminan bagi penulis agar tak pesimis dengan buku-buku. Pembaca masih ada. Buku-buku terus diperdagangkan dan diperbincangkan. Anggapan itu sejenis “hiburan” berbarengan keluhan-keluhan bermunculan dari segala arah mengesankan pembaca, penulis, dan buku berada di zaman amburadul. Begitu.