Oleh: Saiful Bari
Tiap 1 Juni, bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir (Harlah) Pancasila. Seharusnya, dalam beberapa dekade ini, pengamalan nilai-nilai Pancasila dapat mengatasi segala tantangan dan hambatan. Ironisnya, itu masih berada di akar rumput, atau lebih tepatnya, hanya di lingkaran para pegiat Pancasila dan kebangsaan, sedang para elit politik masih sibuk mementingkan kepentingan diri dan kelompoknya.
Termasuk, beberapa tokoh agama belum sepenuhnya menaruh setia pada Pancasila. Alih-alih setia pada Pancasila, yang terjadi justru mereka ingin mengganti ideologi dasar negara menjadi ideologi yang diinginkannya, misalnya khilafah.
Maka tak heran, minimnya pengalaman nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari tentu dapat berakibat buruk. Misalnya, kita tak mampu memberikan maslahah atau kemanfaatan bagi diri dan lingkungan sekitarnya. Maka, ini tentu adalah bentuk pengkhianatan terhadap nawacita Pancasila sendiri yakni, untuk “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan”. Ironis bukan?
- Iklan -
Mungkin, itu semua terjadi karena efek samping Pancasila yang disalahpahami dan disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan. Misalnya, oleh Soekarno di akhir masa jabatannya, bahkan ia dianggap sebagai manipulator bukan sebagai ideolog oleh John D. Legge, kata Peter Kasenda (2014). Ringkasnya, Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin-nya adalah otoritarianisme atas nama Pancasila dan revolusi, kata Aziz Anwar Fachrudin (2018).
Pun sama, Soeharto dengan Demokrasi Pancasila-nya, menurut Azis Anwar, Pancasila dijadikan alat untuk memperkuat Golkar sembari memperkecil peran partai politik lainnya. Alhasil, Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun. Dengan kata lain, Pancasila tak ubahnya menjadi slogan politik kekuasaan saja.
Terlepas dari itu, sebagai generasi yang menghargai jasa-jasa pahlawannya tentu kita harus memberikan porsi yang cukup pada Pancasila. Dengan kata lain, Pancasila sebagai ideologi bangsa yang sarat dengan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan serta gotong royong harus menjadi modal penting untuk menangkal segala tafsiran negatif dan upaya membenturkan antara Pancasila dengan agama, misalnya Islam — saya menggunakan contoh umumnya.
Di lain sisi, penting diketahui, dalam konteks Islam Indonesia, watak Islam wasathiyyah atau moderat sudah bertahun-tahun menjadi cita rasa penerapan ajaran Islam agama di tanah air yang berasaskan Pancasila, kata Kiai Afifuddin Muhajir (2016). Bahkan, Pancasila itu dapat diterima oleh Islam yang dianut oleh masyarakat muslim Indonesia. Ini artinya, Pancasila itu sejalan dengan ajaran Islam. Jadi, tak usah dibenturkan antarkeduanya.
Oleh karenanya, peringatan Harlah Pancasila 1 Juni 2021 ini harus dijadikan momentum pengamalan nilai-nilai Pancasila sebagai kekuatan bersama untuk keluar dari berbagai himpitan (serangan) ideologi dan narasi yang mampu melunturkan nasionalisme dan patriotisme kita, misalnya, ajakan tidak menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan mendirikan negara Islam di Indonesia.
Jika kita amati, masuknya Pancasila ke publik itu karena radikalisme agama masuk ke Indonesia, kata Frans Magnis Suseno dan Buya Syafii Maarif (2021). Hal itu bisa dilacak pada tahun 2017, yang mana perhatian kita pada Pancasila meletus dan pada gilirannya, Pancasila kembali mengalami penguatan posisi sebagai instrumen legal untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila.
Untuk itu, konsisten dalam menangkal laju radikalisme agama itu amat diperlukan. Sebab, radikalisme agama menolak nilai-nilai, bahkan identitas bangsa Indonesia, kata Franz Magnis Suseno (2021). Di waktu yang bersamaan, polarisasi yang terjadi adalah efek dari masuknya radikalisme agama. Meskipun, sumbunya berasal dari politik, misalnya Pilkada DKI 2017 hingga Pilpres 2019.
Terlepas dari itu, naik dan turunnya perhatian dan pengamalan kita terhadap nilai-nilai Pancasila itu soal lain. Namun, pengalaman kita tak boleh keluar dari rumusan Pancasila pada 18 Agustus 1945. Tidak kurang, tetapi juga tidak lebih, kata Franz Magnis.
Sebab, Pancasila sebagai filosofi bangsa telah berhasil menyatukan ratusan etnik, budaya, dan agama yang berbeda di Indonesia. Di bawah naungan Pancasila, baik mayoritas maupun minoritas dapat hidup damai. Ringkasnya, Pancasila rumusan 18 Agustus 1945 telah menjadi “Ilham” sekaligus “Rahmat” bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, pada momentum lahirnya Pancasila ini sudah seharusnya kita jadikan Pancasila sebagai “Ilham” sekaligus “Rahmat” bagi antar umat agama khususnya, dan umumnya bagi seluruh alam semesta. Hanya dengan cara ini. Pancasila akan selalu menjadi falsafah bangsa. Atau, hidupnya Pancasila itu bergantung pengalaman anak bangsanya.
-Penulis adalah Sekretaris UPZIS desa Tulungrejo Banyuwangi, juga pengurus GP Ansor Ranting Tulungrejo kabupaten Banyuwangi.