Oleh Uswatun Musyarifah
Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan kebudayaan yang sangat banyak. Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke memiliki kebudayaan daerahnya masing-masing mulai dari bahasa, suku, etnis, dan lain sebagainya. Budaya di setiap daerah memiliki coraknya masing-masing, memiliki ciri khas sendiri. Hal tersebut merupakan aset berhaga bagi negara Indonesia. Harta yang harus dijaga kelestariannya. Dalam kajian agama kadang kala budaya dan agama tidak berjalan seirama, bersinggungan saling bertentangan. Padahal Indonesia termasuk negara yang agamis. Hal ini menimbulkan polemik tersendiri pada umumnya untuk Indonesia dan secara khusus untuk setiap daerah-daerah.
Dalam agama Islam adat disebut sebagai urf dapat dalam bentuk am (umum) ataupun khas (khusus). Qardawi mengatakan bahwa pembaruan nilai-nilai hukum Islam merupakan kebutuhan yang bersifat terus menerus. Hal ini dikarenakan kenyataan hidup selalu berubah, begitupula dengan kondisi masyarakat yang mengalami perubahan dan perkembangan. Sehingga hukum Islam tetap dapat digunakan sesuai dengan perkembangan zaman dan dapat pula digunakan di setiap tempat.
Dalam kesempatan ini penulis akan membahas tentang polemik adat di suatu daerah yang menyangkut akidah dan tauhid. Daerah tersebut adalah Desa Tegowanuh yang berada di Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Di Desa tersebut terdapat tradisi untuk mengawali pemanenan padi. Tradisi tersebut dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk tolak bala.
- Iklan -
Namun, dalam praktiknya terdapat unsur tahayul. Tahayul adalah percaya terhadap hal-hal gaib yang berasal dari mitos atau ramalan. Dalam hal ini sebagian masyarakat percaya bahwa jika tidak melaksanakan adat tersebut akan mengalami musibah. Mitos tersebut telah diceritakan turun-temurun sejak dahulu. Namun tidak semua masyarakta mempercayai hal tersebut, akan tetapi tetap melaksanakan adat tersebbut sebagi bentuk pelestarian budaya.
Wiwit atau wiwid pari merupakan tradisi yang dilakukan saat akan memanen padi. Wiwid berasal dari bahasa jawa yang berarti mengawali. Tradisi ini sudah ada sejak dulu, tidak ada kepastian dari masyarakat sekitar. Masyarakat hanya melaksanakan adat yang sudah ada turun temurun tanpa tahu asal mula tradisi tersebut.
Tradisi wiwid pari identik dengan membuat nasi megono yang dibagikan ke tetangga sekitar. Kemudian menaruh nasi megono bakar, terasi, bawang merah, cabai dan bunga sekar boreh di sawah yang akan dipanen padinya, atau bisa juga uang. Tradisi ini diartikan oleh masyarakta sebagai rasa syukur dan memohon agar dalam pemanenan tidak ada bala yang terjadi.
Wiwid pari menarik dikaji karena dalam praktiknya terdapat kepercayaan terhadap hal-hal mistis. Masyarakat memiliki pemikiran bahwa jika tidak melalukan ritual tersebut dapat menyebabkan musibah. Secara tauhid hal ini termasuk musyrik, karena percaya ada kakuatan selain Allah SWT. Dalam sisi yang lain hal ini merupakan sebuah penghormatan manusia terhadap makhluk lain yang hidup berdampingan dengan manusia. Antar sesama makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Ritual tersebut seakan-akan meminta izin untuk mengusik kehidupan mereka.
Adat yang telah berkembang dimasyrakat tentunya tidak mudah untuk diubah sehingga memiliki nilai-nilai agama. Dalam pengubahannya pun membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Terlebih ahulu merubah maind set dari masyarakat tersebut. Lagi pula tradisi yang berkembang dimasyarakat merupakan warisan budaya dari nenek moyang terdahulu. Kita sebagai bangsa yang baik harus ikut serta dalam pelestarian budaya yang telah diwariskan. Kita hanya perlu melaksanakan adat tersebut akan tetapi jangan sampai terlibat dengan hal-hal yang musyrik.
Adat yang telah berkembang di masyarakat dapat dikatakan musyrik itu bergantung pada hati masing-masing individu. Tergantung bagaimana hati dalam meniatkan tradisi tersebut. Apabila hanya ssebagai bentuk pelestarian adat, maka itu bukan kategori dalam musyrik. Dalam istilah jawa disebut nguri-uri budaya. Dikatakan musyrik apabila dalam hati percaya bahwa ada kekuasaan selain Allah SWT atu istilah singkatnya menyekutukan Allah.
Dewasa ini budaya yang merupakan kekayaan Indonesia sudah mulai dilupakan oleh generasi milenial. Banyak anak muda sekarang tidak mengatahui budaya tradisional yang menjadi identitas Indonesia. Budaya sudah dipengaruhi dengan budaya barat dan korea. Dengan adanya pengaruh tersebut budaya tradisional mulai luntur. Sehingga dalam praktik tradisi wiwid pari yang terjadi di Desa Tegowanuh merupakan salah satu upaya pelestarian budaya Indonesia. Jadi semua itu tergantung niatnya. Dikatakan musyrik jika dalam hatinya berniat menyekutukan Allah. Lalu jika untuk melestarikan budaya apakah itu dikatakan musyrik? Tentu saja tidak.
Semua bergantung pada niatnya. Padahal niat dilakukan dalam hati. Jadi yang tahu niatnya hanyalah diri sendiri. Sehingga berhati-hatilah dalam meniatkan segala sesuatu, apalagi jika berhubungan dengan sesuatu yang tidak lazim dalam akidah agama.
Jika ditelusuri tradisi Wiwid Pari dengan membuat nasi megono yang diberiakan kepada tetangga sekitar merupakan bentuk syukur kepada Allah yang telah melimpahkan rezeki. Sedangkan sesajen yang diletakkan di sawah merupakan bentuk penghormatan terhadap sesama makhluk Allah. Lalu bagaimana bagamana sikap yang harus diambil masyarakat Desa Tegowanuh?
Masyarakat Tegowanuh dalam menyikapi tradisi ini harus berhati hati dalam meniatkannya. Jika tidak dapat menimbulkan kemusyrikan. Karena budaya ini merupakan warisan nenek moyang tidak salah jika tetap dilakukan. Jika dulu mengandung unsur kemusyrikan, alanngkah baik jika sekarang dalam mempraktikan diakulturasi dengan unsur-unsur agama. Sehingga budaya tetap lestari tanpa ada masalah dengan kaidah agama.
-Penulis adalah Mahasiswi INISNU Temanggung.