Oleh Suci Ayu Latifah
Judul Buku : Jejak Sejarah NU Ponorogo
Penulis : Krisdianto, dkk.
Penerbit : Lembaga Ta’lif Wan Nasyr Nahdlatul Ulama Ponorogo
Tahun : Maret 2021
Tebal buku : xxx+546 halaman
ISBN : 978-623-96337-0-7
Membaca buku Jejak Sejarah NU Ponorogo, seperti sedang berlayar pada samudera sejarah kebudayaan Islam, dengan aktor utama organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Pelayaran itu, kemudian menemukan titik-titik sejarah peradaban Islam. Disampaikan Sutejo, ketua Litbang NU Ponorogo, dalam kata pengantar, buku ini hanyalah sebuah lintasan, kolase dalam kilasan waktu di masa lalu NU Ponorogo (hal viii).
Sebuah kesuksesan atas kerja sama para Krisdianto dan sembilan penulis lainnya. Akhirnya buku ini dapat disantap sambil menemani hari-hari di musim pandemi. Meskipun ada beberapa kerumpangan dengan tidak mengikutsertakan isu-isu nasional dalam lingkaran sejarah, buku tetap laik dibaca untuk mengetahui sejarah NU Ponorogo.
- Iklan -
Para penulis memulai dari masuknya Islam di Nusantara (bab I). Mereka bercerita tentang masuknya Islam di pulau Jawa dan kiprah Walisongo. Ada 21 wali, seperti dalam buku Panduan Lengkap Ziarah Walisongo yang ditulis Rofi’ie Ariniro (2012). Pada bab III menjelaskan tentang gerakan Islam modern era kolonial Belanda.
Sejarah berdirinya NU di Ponorogo dimulai bab V, menuliskan suatu kondisi sebelum dan setelah NU berdiri. Pada bab selanjutnya, pemunculan dinamika konflik dan tantangan NU Ponorogo sejak awal kemerdekaan, orde baru hingga reformasi. Pada bab terakhir, yaitu bab X tentang dinamika NU cabang Ponorogo pascareformasi tahun 1999-2020.
Sungguh, buku setebal 546 halaman ini menyuguhkan sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang ditempuh berorientasi pada puncak keemasan (gold). Buku ini hadir dengan memotret perjalanan organisasi Nahdlatul Ulama di Kabupaten Ponorogo. Juga, perjalanan panjang kesejarahan di Ponorogo yang belum sempat terekam dalam buku Babad Ponorogo karya Waruk Purwowijoyo (1985), seperti tradisi Balon Udara saat lebaran.
Pada penyajiannya, buku ini terkesan pada narasi berbasis data. Ini justru memudahkan pembaca sejarah dengan menandai peristiwa-peristiwa setiap zamannya. Selain itu, pembacaan sejarah lebih mendalam, penuh catatan sejarah, seolah seperti ensiklopedia. Penulisan semacam 5W+1H memudahkan generasi dalam mengarungi perkembangan dan pertumbuhkan NU di Ponorogo. Pembaca diajak jalan-jalan menemukan peradaban Islam.
NU di Ponorogo berdiri pada Senin 18 April 1927 atau 16 Syawal 1345 H. Untuk kali pertama, NU diketuai oleh H. Ibrahim dan wakilnya, H. Bisri, serta membersamai KH. Abu Dawud, KH. Syamsuddin Affandi, H. Anwar, H. Moh. Irsyad, H. Baedhowi, H. Fadeli, H. Bajuri, dan Kartodinomo sebagai komisaris, orang yang ditunjuk untuk melakukan suatu tugas.
Penting menjadi catatan, berdirinya NU di Ponorogo tidak terlepas dari peran dan perjuangan tokoh-tokoh muda dan saudagar Islam di dalamnya. Pun tidak terlepas dari peran para Kiai pesantren. NU didirikan sebagai bentuk perlawanan atas rencana penjajah yang akan melakukan proses penyeragaman agama di daerah jajahannya sesuai dengan agama yang dianut di negara asalnya (hal 167).
Hal ini menguatkan pendapat Imron dalam buku Syaikhona Kholil Bangkalan: Penentu Berdirinya Nahdlatul Ulama (2014). Bahwa lahirnya NU merupakan bagian dari sebuah pertentangan faksi di tubuh umat Islam sendiri. Faksi menyebutkan dirinya sebagai yang paling benar dan paling Islam, yaitu gerakan yang mengatasnamakan pemurnian dan pembaharuan.
Di Ponorogo, berdirinya NU diikuti dengan pendirian Masjid NU Ponorogo, sekitar tahun 1927. Berdirinya menjadi ikon budaya Ponorogo. Saat ini, letak masjid NU berada di Jalan Sultan Agung, Kelurahan Bangunsari. Kala itu, pendirian didatangi oleh dua tokoh besar, KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syamsuri.
Pesan yang disampaikan adalah keistiqomahan berjuang dalam bidang pendidikan, perekonomian, dan sosial (hal 173). Dalam wawancara dengan Amru Al-Mu’tasim, sesepuh NU Ponorogo, mengulik tuturan KH. Umar Ahmadi, syarat untuk menjadi pengurus NU Ponorogo: (i) harus bisa membaca Al-Qur’an; (ii) harus bisa membaca kitab Fatkhul Qarib; (iii) harus bisa berkhutbah Jumat; dan (iv) harus bisa mengimami Tahlil. Tujuannya agar kualitas-kualitas anggota dan pengurus NU cabang di Ponorogo tetap terjaga baik.
Sungguh, buku luar biasa ini dapat dijadikan sebuah buku referensi pembacaan sejarah NU di Ponorogo. Krisdianto dan penulis lainnya mengetuk generasi NU lewat sejarah. Tentu, sejarah pastinya tidak boleh dilupa. Soekarno pernah memeringatkan supaya, “Jangan Melupakan Sejarah”
Sejarah itu cermin. Pantulannya mengajarkan segala hal pelik hidup bagi pemiliknya (hal vii). Makanya, terbitnya Jejak Sejatah NU Ponorogo merupakan sebuah kesadaran penulis untuk belajar, sekaligus mengingatkan untuk tidak menjadi manusia yang melupakan masa lalu.
*Suci Ayu Latifah, asal Ponorogo. Alumni STKIP PGRI Ponorogo 2019. Berbagai tulisan tersebar di media cetak nasional maupun lokal, seperti opini, resensi buku, cerita anak, feature, dan lain sebagainya.