Oleh Anton Suparyanta
Apa pun hasilnya, guru tetap dibutuhkan. Guru sebagai profesi unggulan sepanjang zaman. Alih-alih, kini tersandung istilah. Ada guru ala Oemar Bakri. Guru kolot, kuno, atau konvensional hingga guru sertifikasi, guru kontrak, guru bantu, guru honorer, guru wiyata bakti. Tren era Nadiem Makarim adalah guru penggerak. Ada kritikan guru virtual.
Kiwari profesi tidak lagi menjadi kebutuhan, aset, atau investasi. Profesi justru dibunuh dengan kinerja instan, nirkarakter. Akibatnya, tuntutan profesi dan profesionalitas pun membentur jiwa-suwung.
Apakah profesi (guru) kita latah mengapresiasi kinerja Butet Manurung (dengan Sokola Rimba) dan Anies Baswedan (dengan program Indonesia Mengajar)? Bahkan, tergres Mas Mentri Nadiem menggelorakan Guru Penggerak (dengan ciri Sekolah Penggerak). Laikkah mereka menyandang guru bangsa?
- Iklan -
Tidak sedikit guru kini tidak lagi pakem pada profesi mendidik dan mengajar. Tidak sedikit pula guru sekadar memburu laku agar dibayar. Apakah ini stigma guru yang menggejolak pada zaman neoliberal? Ataukah cakrawala setiap individu guru justru memandang permisif terhadap profesi-plus, bukan guru-plus? Dampaknya, para guru mengidap hipokrisi massal. Jika kondisi ini menggejala, guru tak ubahnya profesi latah dengan barisan tabiat yang hipokrit.
Nostalgia Guru Ideal
Idealnya, cap guru bermakna apresiatif mendidik, tidak semata-mata mengajar! Sebab bukan zamannya lagi jika guru sebagai profesi selalu hanya dielu-elukan dengan julukan ”pahlawan tanpa tanda jasa”. Kebanggaan semacam ini adalah mumi. Sekadar monumen yang menjebak pemikiran mandek secara nekrofilia (Yunani, nekros=mati; philia=persahabatan).
Julukan ini sebenarnya jatuh pada nilai bendawi, barang mati. Akibatnya, sesuatu yang ampuh akan menjadi puncak sesuatu yang adi. Tidak terkecuali, diksi guru diutak-atik (digugu lan ditiru). Nilai keampuhannya sengaja dibenturkan dengan takaran profesi. Ini pun filosofi klasik yang harus dibenahi dan oleh karenanya harus ditanggalkan. Guru kini adalah guru zaman (bukan zaman guru). Artinya, profesi bisa dibesarkan oleh kondisi zaman, tetapi profesi bisa juga dibunuh oleh zaman. Coba, tilik bandingan antara guru produk lampau dan guru kemasan kini.
Beda mencolok yakni dulu profesi ”disembah” dengan komitmen, integritas, militansi sehingga secara otomatis mencetak guru yang berkarakter, guru yang penuh dedikasi dan penuh kepribadian. Bagaimana fakta akhir-akhir ini? Profesi lebih diukur nilai pragmatis, konsumtif, nilai guna dan nilai tukar. Sindiran yang mencuat bahwa sertifikat-profesi adalah jatah fulus, uang. Inilah jerat karakter-baru untuk guru masa kini. Namun, perlu disadari bahwa karakter ini bukanlah penyakit profesi. Bukan penyakit karakter guru yang direka-reka. Tetapi sebagai akibat ledakan sistem yang salah. Negara gagal mengelola. Diperparah lagi, Pemerintah RI tidak cerdas ngopeni profesi.
Guru Medioker
Konteks hari ini guru adalah insan cendekia semu. Sebagai insan cendekia semu, guru terbata-bata apresiatif. Guru kembali ke step medioker, serba setengah-setengah. Guru tidak jeli mengamati, tidak cakap membina, tidak ulet membimbing, dan tidak cerdas menilai gerak-gerik kebutuhan anak didik. Inilah bias guru apresiatif semu.
Guru lemah-sigap dan lemah-tanggap. Faktor miring ini bukan semata-mata kesalahan guru. Beragam masalah mengerangkeng guru. Menurut Mochtar Buchory, ada tiga underan yang menjadi sumber terciptanya kondisi kerja menyedihkan bagi para guru, yaitu kesejahteraan rendah, sistem manajemen sekolah represif, dan kurikulum sekolah overload. Akibat yang mencuat bahwa kreativitas dan produktivitas kerja guru menjadi tersita dan terkebiri.
Tantangan guru hari ini sejatinya termasuk habitus baru di kalangan insan cendekia. Guru kini adalah insan cendekia. Guru apresiatif yang selalu menyimpan bara api hidup yang setiap saat siap menyulut jiwa dan raga anak didik. Jadi, makna guru apresiatif itu selalu memancarkan nilai kehidupan. Kaum cendekia menyebutnya biofilia. Apa yang terbaca untuk kiprah para guru hari ini?
Suara kritis yang layak untuk direnungkan bahwa setiap guru mempunyai tugas mulia untuk mendidik. Guru tidak semata-mata mengajar. Mendidik merupakan akumulasi perimbangan kognisi, afeksi, dan transfer ilmu. Jika mendidik dimaknai sebagai profesi, mendidik tidak menjadi beban. Mendidik lebih komplet ke praksis vokatif (terampil, kompeten, dan kompetitif). Berbeda halnya dengan mengajar, guru sekadar digiring menjadi tukang. Mana yang harus diprioritaskan: profesi-guru-mendidik ataukah guru-tukang-mengajar? Guru zamankah? Zaman gurukah?
Tentu saja guru apresiatif memilih mendidik tidak semata-mata mengajar. Guru apresiatif adalah guru zaman. Guru yang kredibel menomorsatukan mutu, komitmen, integritas, dan militan terhadap profesi. Ini guru yang berkarakter, berkepribadian memancarkan mutu dan mencerahkan anak didik. Sudahkah zaman ini membenihkan guru-zaman? Apa yang bisa dibanggakan jika era neoliberal ini hanya sanggup mencetak zaman-guru?
*) Anton Suparyanta, product manager di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten, Jawa Tengah. Aktif sebagai esais pendidikan-seni-budaya-sastra di beberapa media dan mantan dosen sastra di FKIP Universitas Widya Dharma, Klaten. Sejak tahun 2005 hingga kini saya aktif sebagai penyusun buku mapel Bahasa Indonesia (”kurikulum” KBK, KTSP, BSE) untuk jenjang SD, SMP, SMA, SMK dan product manager di penerbit PT Intan Pariwara, Klaten.