Oleh Setyaningsih
Judul : Made Taro, Mendongeng dan Bermain Sepanjang Waktu (Edisi Revisi)
Penulis : I Gusti Made Dwi Guna
Penerbit : Pustaka Ekspresi
Cetak : Pertama, 2020
Tebal : xi+166 halaman
ISBN : 978-623-7606-48-2
Ketika jalan hidup meyakinkan Made Taro menjadi pemulia tradisi lisan, bukan hanya mulut bakal banyak bercerita atau mendongeng. Made Taro—namanya diambil dari nama anak lelaki dalam cerita rakyat Jepang, Momotaro—juga menghidupkan aneka perangkat permainan hasil kecerdasan tangan rakyat, bebunyian alat musik, dan tembang dolanan. Mulut bersuara, tubuh bergerak, dan telinga menerima bunyi-bunyi. Inilah kegembiraan primordial dan cara anak-anak mengenali kebudayaan lisan bersamaan hidup yang semakin teraksarakan.
Made Taro bertumbuh dari tradisi kelisanan, disemai oleh rumah dan alam. Alam Sengkidu, Karangasem, Bali mengakrabkannya dengan perbukitan dan laut. Di rumah, sumber suara datang dari orangtua yang bercerita, “Hanya dengan penerangan menggunakan lampu dari kulit kerang saya setia mendengarkan ayah mendongeng. Kulit kerang berfungsi untuk menampung minyak kelapa sebagai bahan bakar sementara sumbunya terbuat dari kapas yang dipilin agak longgar. Suatu saat pernah saya perhatikan dia mendongeng dengan sungguh-sungguh. Hal ini sampai-sampai membuat saya menangis. Anehnya lagi cukup banyak dongeng yang hanya diulang-ulang dari hari ke hari namun tetap menarik” (hal 13). Cerita bisa tentang Ni Bawang Ni Kesuna, I Lutung Ajak I Kekua, atau Ketimun Mas yang kelak dihidupkan kembali lewat pementasan atau penerbitan buku.
- Iklan -
Maka, penggarapan buku folklor Bawang dan Kesuna yang mengalami cetak ulang tiga kali pada 1997, 1998, dan 2000 oleh Balai Pustaka, merekam biografi kelisanan di pengantar. Penerbit menulis, “Made Taro mendengar cerita ini ketika ia masih kecil yang diceritakan oleh ayah atau ibunya menjelang waktu tidur.” Sewaktu kecil, Made Taro mendengar sebagai anak sekaligus bagian masyarakat kelisanan Bali. Tanpa ilustrasi atau kata tercetak, cerita melekatkan pukau. Cerita itu diterbitkan ulang dan jelas mewujud sebagai produk keaksaraan.
Keaksaraan memang mereduksi solidaritas yang bersifat adat. Komunalitas diciptakan oleh buku berbeda dari komunalitas sosial kelisanan. Seperti dibabarkan A. Teuuw (1994), nyaris tidak ada dua pembacaan cerita atau pementasan puisi yang identik. Sekalipun menghafal atau menuliskan menjadi cara mengamankan ciptaan lisan (naratif, nyanyian, mitos), seakan-akan yang tersampaikan berbeda dari yang dihafal atau ditulis. Tulisan menjadi penunjang lisan meski mengandung dilema. Keaksaraan seperti dalam kebudayaan membaca membawa konsekuesi individualitas yang cukup kuat. Namun, keaksaraan memang memungkinkan perkembangan ilmu pengetahuan. Kebudayaan tipografik menjadi pendasaran pada cara pikir kritis dan independen. Sebaliknya, kelisanan mesti dipertahankan sebagai kunci solidaritas dan kebersamaan.
Membawa Bunyi ke Australia
Made Taro memadukan cerita, tembang, gerak, dan permainan.Tembang atau lagu pengiring permainan dengan tekun didokumentasikan, di antaranya Gending-gending Plalian Bali (1993),Mari Bermain (1993), Bernyanyi Sambil Bermain (1999), Bunga Rampai Permainan Tradisional Bali (1999), Aliiih…Traditional Balinese Games (2000),Gita Krida (2001). Dongeng tradisi asli ataupun modifikasi tidak luput didokumentasikan, Ibu Jari untuk Sang Guru (1973), Randu dan Sahabatnya (2002), Rare Angon (2002), Dongeng-dongeng Pekak Mangku (2002), Cerita Rakyat dari Bali 3 (2003), Bulan Pejeng (2004).
Perintisan Rumah Dongeng (1968) diawali dari ketidaksengajaan kecil, tidak tahan melihat anak-anak bengong. Made Taro resah karena anak-anak di sekitar asrama tinggal di Denpasar tidak lagi mengenal aneka permainan dan bahan mainan seperti masanya kecil dulu; kerikil untuk menggundu, bambu pindekan, megangsingan, batok kelapa, tulup. Padahal melalui permainan, anak-anak mengerti kebudayaannya. Jadilah setiap malam Minggu, “Sembari membuatkan mainan, cengkerama dengan anak-anak di sela waktu kerap saya sisipi kegiatan bercerita, menuturkan kembali aneka dongeng. Mula-mula acara mendongeng hanyalah kegiatan sambil lalu namun lama-kelamaan mereka mengikuti acara mendongeng dengan serius” (hal 48).
Semasa mengajar di SMAN 2 Denpasar inilah, Made Taro juga mengemudi Teater Si Paku-paku beranggotakan para pelajar SMA. Membawakan lagu dan operet, Teater Si Paku-paku pernah naik pentas ke layar TVRI Denpasar pada 1978.Setelah Teater Si Paku-paku, muncul penasaran dari pengunjung setia Rumah Dongeng kenapa Made Taro tidak membuat teater untuk anak. Sebagai jawaban, Made Taro mendirikan Sanggar Kukuruyuk yang mengesankan optimisme dari ayam jago dan mentari.
Pentas pertama berjudul Kaki Cubling di TVRI Denpasar pada 15 Juni 1979 sekaligus ditetapkan sebagai hari kelahiran Kukuruyuk. Sejak itu, Kukuruyuk sering mendapat undangan berbagi suara di pelbagai tempat. Made Taro mengakui, “Rupanya keberanian mengangkat format bercerita sambil bermain dan bernyanyilah yang membuat kami semakin dilirik. Meskipun bagi sebagian kalangan aktivitas mendongeng sering dianggap ketinggalan zaman namun ketika ketiga unsur dikombinasikan, anak-anak terlihat antusias.”
Pada 1988. Made Taro membawa bebunyian kebudayaan ke Darwin, Australia. Ia masih mengajar di SMAN 2 Denpasar. Misi ke Negeri Kanguru ini sekaligus menjadi bentuk diplomasi budaya. Indonesia sedang dipandang buruk oleh dunia karena insiden pembunuhan turis di Bali dan pembunuhan wartawan di Timor Timur. Made Taro mengajar di sebuah Senior High School dan empat Primary School di Darwin. Salah satunya, Made Taro mengenalkan alat musik dari bilah (sepuluh) bambu bernama cungklik.
“Hanya dalam waktu satu bulan saya mengajarkan cara menabuh cungklik, mereka sudah banyak yang paham. Beberapa buah lagu dapat mereka mainkan bahkan mereka juga mencoba memainkan lagu-lagu setempat dengan menggunakan cungklik” (hal 75). Ketertarikan pada cungklik bahkan membuat sekolah membuat program berkemah di hutan untuk mencari bambu.
Made Taro: Mendongeng dan Bermain Sepanjang Waktu garapan I Gusti Made Dwi Guna merupa garapan sederhana yang merekam tokoh penting tradisi lisan berlatar Bali. Mengikuti arus masa kecil sampai masa tua, pembaca bisa menyepakati bahwa Made Taro adalah definisi dari kesenian dalam kesederhanaan dan kerakyatan. Ia mencintai anak-anak sekaligus merawat naluri kekanakan dalam jiwa dan raganya.
Penulis
Setyaningsih, Esais