Oleh Setyaningsih
Negara memasuki tahun pertaruhan besar-besaran untuk kebangkitan pariwisata. Ongkos besar dikucurkan dan rencana digencarkan. Paradoks memang. Pandemi Covid-19 mengharuskan setiap orang menghayati jarak, batasan, dan lebih sering kesendirian atau kolektivitas dalam bentuk paling minimal. Namun untuk urusan berwisata, anjuran bepergian (bersama) tetap mutlak adanya.
Setiap tempat, tidak terkecuali masjid, harus menyambut gaung wisata. Harian Republika, 19 Februari 2021 mengabarkan bahwa Dewan Masjid Indonesia (DMI) menyambut baik upaya menjadikan masjid-masjid bersejarah di Indonesia sebagai destinasi wisata (religi). Sekjen DMI Imam Addaruquthni mengatakan, “Ya tidak masalah selama fungsi pokok masjid itu tidak diubah, yaitu sebagai tempat ibadah. Jadi, fungsinya bertambah sebagai tempat wisata.” Masjid harus memiliki daya tarik sekaligus memberi dampak ekonomi bagi masyarakat setempat. Restu Menparekraf Sandiaga Uno dan diperkuat Indonesian Islamic Travel Communication Forum (IITCF) pun terbit untuk menguatkan wisata sejarah dan religi melalui masjid dengan istilah modern heritage tourism. Indonesia memiliki masjid-masjid tua dan bersejarah, misalnya Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Banten.
Pada umumnya, kita mungkin menganggap masjid bukan wilayah otonom dalam dunia pariwisata. Masjid itu pelengkap atau fasilitas yang lumrah ada. Kecuali tradisi berziarah ke makam orang suci yang membuat poros makam-masjid-pasar. Wisata membuka potensi wajar di hampir banyak hal, termasuk masjid. Masjid tampak sebagai wilayah otonom yang didatangi, bukan sekadar tempat untuk beristirahat, beribadah, singgah sejenak, menunggu sambil makan, atau berganti pakaian misalnya. Wajar Menparekraf Sandiaga Uno lebih memilih istilah “heritage tourism” yang bisa terbuka bagi semua kalangan daripada “berziarah” atau “wisata religi” yang cenderung menaungi satu agama tertentu.
Dan memang banyak masjid disiapkan memasuki wilayah populer di luar hal yang bersifat spiritual. Hal ini dibuktikan dengan program pemugaran, pembangunan, dan penerbitan buku-buku deskriptif-informatif tentang masjid. Salah satu buku yang cukup ambisius karena tebal, lebar, sampul tebal, dan kertasnya bagus, berjudul 100 Masjid Terindah Indonesia (2011) gagasan Teddy Tjokrosaputro. Buku menghimpun masjid dari Masjid Baitul Makmur di Aceh Darussalam sebagai masjid terbesar-termegah sampai Masjid Nurul Amin di Papua yang dikisari eksotisme alam.
- Iklan -
Terindah menurut kategori buku ini tentu saja dilihat dari aspek arsitektural. Di pengantar dikatakan bahwa masjid memuat lima keriteria, “kemegahan bangunan yang dilihat dari besar dan bentuk bangunan, keindahan atau keunikan detail ornamen hias, keindahan atau keunikan lingkungan sekitar, keindahan tampilan visual masjid secara keseluruhan, serta keterwakilan wilayah.” Masjid menjadi terindah, pertama karena memang terlihat oleh mata.
Namun, masjid-masjid ini tidak hanya dipamerkan secara visual. Sedikit deskripsi di jajaran gambar yang sangat indah, orang-orang mendapatkan apa yang secara simbolik tersirat. Salah satunya Masjid Agung Ats Tsauroh atau Masjid Pegantungan, masjid tertua di Serang, Banten, yang dibangun pada abad ke-19. Selain memiliki atap limasan dan bentuk joglo sebagai ciri menonjol bangunan tradisional, masjid menjadi simbol kerukunan umat beragama karena diapit tiga rumah ibadah umat Kristen. Ada Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Gereja Bethel Indonesia, Serang, dan Gereja Katolik Kristus Raja. Jelas, buku menjawab kepentingan pariwisata-historis-kultural.
Sangat wajar dan terkesan wajib saat pelbagai daerah berlomba membangun atau memugar masjid. Ada kepentingan ingin dibaurkan dan batas-batas yang terkadang membingungkan antara mendapat pahala dan kesenangan, keramaian dan kekudusan, sifat spritual atau material. Kesalehan di masa modern harus bergemuruh dalam kesenangan daripada kudus dalam kesendirian. Beberapa tahun ini misalnya, semakin tren wisata religi yang memadukan antara yang sakral dan profan. Masjid pun ada di sana didukung oleh ketokohan ustaz selebritas. Mereka terang-terangan membungkus bisnis wisata dengan suci agar tidak terlalu terkesan hedonis.
Misalnya sebuah iklan wisata religi yang menampilkan Ustaz Bachtiar Nasir dalam rangka menyambut Ramadan 2015 dengan tema “I’tikaf &Taddabur Al-Quran Meraih Lailatul Qadar”. Tujuannya utama jelas ke empat masjid bersejarah dan besar di Jakarta; Masjid Kubah Emas Dian Almahri, Masjid Istiqlal, Masjid Baitul Ihsan BI, dan Masjid AQL Islamic Center. Paket wisata diselenggarakan oleh sebuah biro perjalanan di Bengkulu dan maspakai penerbangan.
Namun, yang agak menggelikan meski tentu dianggap wajar dalam wisata religi adalah peristiwa tambahan selain “berdiam di masjid.” Selain menginap di hotel berbintang, biro perjalanan memasukkan agenda “Wisata Belanja” di Tanah Abang atau Thamrin City. Mana yang lebih penting atau berpahala antara itikaf di masjid dan belanja di Tanah Abang? Sembahyang adalah belanja, masjid setara dengan Tanah Abang atau Thamrin City. Meski dipastikan, biro perjalanan atau ustaz maskot wisata ini jelas akan menempatkan masjid dan peristiwanya di wilayah lebih suci. Hal ini membungkus kesadaran sederhana bahwa itikaf (sebenarnya) bisa dilakukan di masjid di mana saja. Tapi belanja di Tanah Abang atau Thamrin City tentu hanya bisa dilakukan di Jakarta!
Panggilan-panggilan wisata bila perlu harus sanggup mengalahkan panggilan Tuhan. Dan semahakuasa apa pun Tuhan, tetap manusialah yang akhirnya harus memikirkan infrastruktur, akses informasi, dan digitalisasi demi keberlangsungkan promosi berwisata ke masjid. Pemintaan Sekjen DMI agar fungsi pokok masjid tidak berubah terdengar terlalu romantik. Terutama pengurus masjid harus siap masjid menjadi ruang publik wisata selayaknya Kota Tua, museum, mal, taman bermain, ataupun kebun binatang. Bentuk wisata religi yang dibarengi wisata cagar budaya dan sejarah berarti tidak hanya menempatkan masjid di atas satu identitas agama saja. Setiap orang, apa pun agamanya, berhak memandang masjid secara kultural, arsitektural, ataupun historis.
Kesalehan menjadi modern dan aktual. Batas-batas yang dikaburkan dan inovasi dikombinasikan untuk meraih sukses dunia-akhirat. Meraih pahala, mencapai kesempurnaan hiburan. Mari berwisata di masjid.
-Setyaningsih, Esais dan penulis Kitab Cerita (2019) dan Mengelola Penerbit Babon