Judul Buku : Umar bin Khattab
Penulis : Abdul Syukur al-Azizi
Penerbit : DivaPress
Tahun : Januari, 2021
ISBN : 978-602-391-952-9
Peresensi : Moh. Rofqil Bazikh*
Jamak kita ketahui, Islam yang sejak masa kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. tidak menerapkan pemilihan pemimpin lewat pemungutan suara. Hal demikian jelas sekali, sebab Nabi Muhammad Saw. sendiri adalah pemimpin sekaligus pembawa Islam itu. Maka, otoritas beliau dalam dinamika Islam permulaan tentu mendapat tempat yang tinggi.
Pimpinan tertinggi umat Islam secara penuh berada di bawah kuasanya. Kemudian, hal tersebut diperkuat karena umat Islam sepakat tanpa adanya pertentangan. Itu dipicu, karena beliau adalah utusan Allah, yang derajatnya tidak mungkin sama dengan manusia pada umumnya. Demikian keyakinan yang tertanam di benak para umat Islam fase Nabi Muhammad Saw. menjadi pemimpin.
Tetapi, kerumitan melanda kaum muslim setelah Nabi Muhammad Saw. wafat. Tidak lain, yang menjadi sebab adalah kekosongan kepemimpinan umat Islam. Banyak orang yang kebingunan akan hal tersebut. Sebagaimana tercatat dalam kacamata sejarah, Abu Bakar akhirnya naik menggantikan posisi Nabi. Sekaligus memulai fase pertama dalam poros pengganti yang mendapat petunjuk (khulfa’ur rasyidin).
- Iklan -
Abu Bakar naik setelah sebelumnya terdapat kemelut panjang antara kaum Anshar dan Muhajirin. Kedua belah pihak sama-sama memperkuat persepsi dan statemen masing-masing ihwal yang cocok menjadi pemimpin umat Islam. Akhirnya, kesepakatan memuncak setelah Abu Bakar diputuskan dan dibaiat tepat di sebuah tempat bernama Saqifah bani Saidah.
Pemilihan pemimpin tersebut tentu jauh dari kata demokratik. Tentunya, masih ada beberapa kalangan yang tidak bisa menerima dengan lapang. Penunjukan hal tersebut hanya karena, karisma dan keutamaan Abu Bakar dalam kacamata umat Islam waktu itu. Prioritasnya tentu bukan ranah kepemimpinan, melainkan di luar hal tersebut. Sampai di pengganti berikutnya, Umar bin Khattab, hal tersebut masih berlanjut.
Umar naik setelah ditunjuk langsung oleh Abu Bakar sebelum wafat, serta diafrimasi oleh beberapa sahabat senior. Dari corak pengangkatan khalifah ini tentu juga masih jauh dari kata demokrasi yang lekat dengan pemungutan suara. Tetapi, dalam fase Umar bin Khattab bisa ditemukan fitur-fitur yang juga tidak kalah demokratik.
Umar bin Khattab dengan ketegasan yang tidak perlu diragukan. Ia selalu tegas dalam menyikapi berbagai persoalan umatnya. Tidak hanya tu, ia juga orang yang dengan terang-terangan masuk Islam di tengah ancaman kafir Quraisy. Di balik ketegasan itu pula, terdapat sisi lain yang selama ini jarang kita ketahui. Di antara hal yang selalu melekat pada corak kepemimpinan Umar bin Khattab adalah mendahulukan kepentingan umat. Ia meletakkan kepentingan pribadi jauh setelah kepentingan umat. Ada banyak cerita inspiratif yang tertulis di sini bagaimana ini mendudukkan kepentingan umat di atas segalanya.
Sementara titik krusial dalam konsep demokrasi Umar bin Khattab adalah dalam mengambil kebijakan. Sejak masa Nabi Muhammad Saw. hidup, Umar seringkali menyampaikan gagasan-gagasannya terhadap Nabi. Bahkan, al-Quran juga seringkali turut mengafirmasi pandangan Umar. Meski begitu, saat sudah menjabat khalifah ia tidak meninggalkan musyawarah.
Beberapa hal yang dianggap penting dan demi kepentingan umat selalu melewati fase musyawarah. Artinya, kebijakan-kebijakan Umar bin Khattab semasa menjabat sudah terkonsep dan terencana dengan baik. Penulis di sini berusaha memperkuat argumen tersebut sampai-sampai me-laqobi-nya sebagai demokrat tulen (hlm 259).
Intinya, berbagai keputusan dalam politik Umar selalu saja atas nama kepentingan bersama. Kemaslahatan umat Islam ditempatkan di atas segala-galanya. Di sisi lain, Umar bin Khattab juga tidak anti kritik. Sebagaimana kita ketahui dalam konsep demokrasi kritik adalah hal yang niscaya, rakyat juga berhak menyampaikan gagasan. Dan untuk hal yang satu ini, Umar bin Khattab selalu menerima dengan lapang.
Inilah hal yang menarik dari buku yang menulis catatan panjang kehidupan Umar bin Khattab. Sisi yang tidak banyak diketahui orang Islam pada umumnya. Memang, secara eksplisit buku ini tidak sedang mengarah pada konsep demokrasi Islam awal. Tetapi, setelah dianalisis lebih dalam lagi, nafas-nafas demokratis bisa ditemukan dalam catatan panjang ini. Tentu, disertai beberapa hal lain yang juga tidak banyak umat Islam yang tahu dari sisi khalifah kedua ini.
*Moh. Rofqil Bazikh tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute Yogyakarta. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, Minggu Pagi, Harian Merapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, Suara Merdeka, Banjarmasin Post, dll. Bisa ditemui di surel mohrofqilbazikh@gmail.com atau twitter rofqil@bazikh.