Oleh Athy S Rohmah
Judul : Cara Mendidik Salah, Anak Bermasalah; 10 Kesalahan Fatal Mendidik Anak dan Solusinya
Penulis : Abdurrahman Dhahi
Penerbit : PQS Publishing, Sukoharjo
Tebal : 288 halaman
Cetakan : 1, Februari 2021
ISBN : 978-602-1234-69-5
Beberapa tahun terakhir, internet dan perangkat pendukung jaringannya makin mudah untuk kita akses. Hal itu berdampak pada semua sendi kehidupan masyarakat kita, terutama ekonomi dan sosial. Media komunikasi berbasis daring telah menjadi kebutuhan harian. Siapapun bisa menjangkau kemanapun. Sayangnya, kemudahan itu tak diimbangi kemampuan kognitif yang memadai.
Lihatlah sekarang, di media daring, lalu lintas informasi berjalan begitu cepat. Apa saja bisa diakses. Dan di sinilah letak bahayanya, terutama bagi generasi muda. Mereka adalah individu rentan yang masih membentuk diri, mudah terpengaruh dan gampang sekali goyah. Kasus-kasus kriminalitas remaja adalah hasil betapa rapuhnya kaum muda kita.
- Iklan -
Pencurian, perkelahian pelajar, perusakan fasilitas umum atau pribadi, kekerasan, perkosaan bahkan pembunuhan yang dilakukan anak-anak usia sekolah membuat siapapun ngeri mendengarnya. Tapi faktanya, hal-hal demikianlah yang menjadi wajah generasi muda kita.
Mengapa itu terjadi? Jelas, karena mereka tak punya benteng kokoh untuk menghadapi serbuan berbagai konten negatif dosis tinggi yang datang setiap detik. Keluarga mereka tak membangunkan buat mereka benteng tersebut.
Pendidikan bukan hanya berkisar di sekolah atau lembaga resmi saja. Justru keluarga adalah basis pendidikan yang sebenarnya. Sebab dari rumahlah seorang anak memulai hidupnya. Baik buruk seorang anak di luar rumah, semua tergantung bagaimana orangtua membentuk dia di dalam rumah. Buku ini, Cara Mendidik Salah, Anak Bermasalah, hadir untuk menjadi sebuah panduan, bagaimana seharusnya orangtua membentuk anaknya secara benar, bahkan sebelum mereka dilahirkan.
Saat dua orang bersepakat menikah, maka keduanya harus mengerti bahwa ada tanggungjawab agung menunggu setelah akad dan walimah usai. Satu di antara begitu banyak tanggungjawab itu adalah mendidik keturunan jika sudah dikaruniai anak. Mendidik secara baik merupakan sebuah jihad yang tujuannya bukan cuma menanamkan kepatuhan pada diri anak, tapi juga ketaatan (hlm. 22).
Seperti apakah cara yang benar? Pertama, upayakanlah rumah tangga dalam kondisi yang serba harmonis. Minimalkan potensi konflik yang bisa saja meletus secara tak terduga. Caranya adalah dengan menyelaraskan tujuan antara suami dan istri. Jangan sampai keduanya bertujuan ke arah yang berlawanan. Satu hal yang penting diingat di sini, ketaatan adalah hal yang krusial sehingga harus saling bantu meningkatkannya (hlm. 30).
Kedua, rancang niat yang benar. Di al-Qur’an, dapat kita baca cuplikan kisah istri Imran yang berdoa kepada Allah saat ia mengandung Maryam. Simaklah doanya yang terekam di surat Ali Imran ayat 35, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis).” Selain itu, ia juga berdoa agar anaknya tersebut beserta keturunannya dijauhkan dari perangkap setan (hlm. 43).
Sedari awal, ibu Maryam meniatkan keberadaan janinnya untuk menjadi hamba Tuhan yang saleh dan ahli ibadah. Hasilnya, Allah mengabulkan doa istri Imran tersebut dengan firman-Nya di surat yang sama ayat 37, “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya sebagai pemeliharanya.” (hlm. 44).
Doa orangtua adalah pondasi awal yang harus dibangun sebaik-baiknya jika menginginkan anak yang soleh. Nabi Ibrahim, kita tahu, telah berdoa selama 80 tahun sebelum akhirnya Allah mengaruniakan kepadanya Ismail.
Dalam tradisi kaum santri, dikenal term tirakat sebagai bentuk pengendalian diri untuk mencapai sebuah tujuan. Anak soleh adalah hasil doa-doa panjang orangtua yang tak putus, serta kesediaan mereka untuk nirakati anak keturunannya. Berdoa tanpa putus akan menjadi tanda kuatnya keyakinan kita pada Allah. Sabda Rasul, “Manusia yang paling lemah adalah manusia yang tidak bisa berdoa.” (hlm. 55).
Setelah anak lahir ke dunia, pastikan kita mengerjakan sunah-sunah Nabi, seperti mengumandangkan azan di telinga bayi sebagai ajaran tauhid pertama, hingga menyembelih akikah (hlm. 61).
Dalam hal pengasuhan dan pendidikan, Abdurrahman Dhahi, sang penulis, memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, mengasuh adalah menyediakan sandang-pangan-papan. Sementara mendidik adalah meluruskan dan memperbaiki perilaku. Dan di bagian mendidik inilah sebenarnya, tantangan terbesar bagi para orangtua (hlm. 79).
Untuk memetik keberhasilan dalam mendidik anak, maka langkah ketiga yang juga krusial adalah mempersiapkan diri sendiri dan pasangan dengan bekal pengetahuan yang memadai. Pengetahuan itu meliputi wawasan dalam agama dan pola pendidikan yang benar. Ini berhubungan dengan bagaimana orangtua dapat menancapkan akidah dalam hati anak di awal-awal usianya agar terus terhubung dengan Tuhannya. Sehingga kelak ia akan memiliki pegangan nilai-nilai utama yang paling kokoh (hlm. 82).
Setiap anak memiliki fase pertumbuhan yang berbeda di setiap pertambahan usianya. Anak-anak juga dibekali sifat dan kepribadian yang tidak sama bahkan dengan saudara kandungnya sendiri. Untuk itu, penting bagi setiap orangtua memahami bagaimana memperlakukan mereka di setiap jenjang usianya.
Hal keempat, dan ini sering diabaikan oleh banyak orangtua, adalah bagaimana memberikan anak-anak kepuasan secara emosi. Padahal, kepuasan emosi adalah hal utama agar orangtua lebih mudah menanamkan pengaruh. Ujungnya, ini akan memudahkan orangtua dalam membimbing dan mendidik mereka (hlm. 111).
Demi tujuan tersebut, maka mendidik dengan penuh cinta menjadi keharusan mutlak, sebab memang itulah yang anak-anak butuhkan. Orangtua harus menjadi ‘kekasih’ untuk anak-anaknya. Kasih sayang, perhatian dan telinga yang mau mendengar, serta pernyataan cinta yang terus menerus. Nabi sendiri bersabda, “Jika seseorang mencintai saudaranya, hendaklah ia memberitahukan kepadanya bahwa ia mencintainya.” (hlm. 116).
Poin terakhir yang harus diketahui ialah bahwa anak-anak meniru apa yang orangtua mereka lakukan. Maka jadilah teladan yang patut dicontoh. Tidak ada gunanya orangtua menasihati perihal ketaatan, kebaikan, jika mereka sendiri tidak melaksanakannya. Mengajarkan pentingnya salat berjamaah, ialah dengan mengajak anak-anak pergi ke masjid. Agar anak berbudi halus, sudah barang tentu orangtua tidak boleh berkata kasar dan bertengkar di depan mereka.
Karena mendidik anak adalah tanggung jawab seumur hidup, maka diperlukan keseriusan dan pengorbanan yang tidak sedikit, juga pengawasan dalam pergaulan dan bimbingan yang tiada henti. Buku ini membantu pembaca menemukan solusi agar tak melakukan kesalahan pendidikan di rumah. Sehingga nantinya, bisa menjadi benteng bagi anak agar tak terdampak krisis moral yang kian merusak.
*Athi S. Rohmah, tinggal di Kebumen Jawa Tengah