Oleh: Rara Kamiliya*
Penjara suci merupakan gelar yang disematkan pada pesantren karena pesantren adalah tempat para santri difokuskan pada ajaran spiritual yang bersifat suci walaupun aktivitas para santri pada umumnya tidak bebas dan terbatas seperti penjara. Tidak hanya konsep spiritual, melainkan pula adab dalam kehidupan seperti makan, tidur, menuntut ilmu serta adab berinteraksi dengan manusia, di mana semua itu merupakan terapan nilai-nilai Al-Quran dan Hadis Rasulullah. Tak ayal jika masyarakat menemukan santri dan alumninya masih menerapkan adab dan sopan santun tersebut sehingga menimbulkan kekaguman dan keinginan masyarakat untuk menyekolahkan anak keturunannya di pondok pesantren.
Beberapa hari yang lalu, Indonesia digegerkan oleh tayangan Trans 7 yang membahas praktik mirip feodalisme di pondok pesantren, dan tayangan tersebut kemudian dibantah oleh para kiai dan mayoritas santri sebab Trans 7 dianggap telah memfitnah pesantren secara umum. Sebenarnya terdapat sisi lain pesantren yang jarang dibahas oleh khalayak umum namun konteksnya sangat penting diperhatikan. Isu lingkungan memang terdengar kecil, namun kebiasaan buruk yang terus dibiarkan akan berdampak pada perilaku santri di luar pesantren.
Mungkin jika diperlihatkan lingkungan pesantren modern dan elit, masyarakat tidak akan mempermasalahkan sebab kondisinya terlihat baik-baik saja. Namun, kondisi pesantren-pesantren tradisional di Indonesia malah sebaliknya[1]. Tidak hanya sampah makanan yang dibiarkan terbengkalai, tetapi juga limbah makanan serta limbah-limbah lain yang menjijikkan. Para santri di sana tampaknya kurang memperhatikan sampah-sampah yang terbuang tidak tepat pada tempatnya, terutama santriwati terhadap limbah pembalut wanita sehingga sampah-sampah tersebut dibiarkan berserakan, menyebabkan bau menyengat dan berpotensi menyebarkan berbagai macam penyakit.
- Iklan -
Santri-santri pondok pesantren tradisional biasanya hanya terfokus pada pembelajaran Al-Quran, hadis dan kitab-kitab karangan ulama yang topiknya seputar nilai-nilai keislaman murni. Artinya, kurang ada minat dalam transformasi keilmuan dan praktiknya yang menyesuaikan perkembangan zaman. Kiai yang sangat alim, tawadhu’, dan mampu hafal beberapa kitab menjadi motivasi bagi santri-santrinya untuk melakukan hal yang sama, sehingga kemampuan ilmu keislaman santri tradisional (salaf) dan kekayaan adabnya pun tidak perlu diragukan lagi. Satu hal yang hampir mereka abaikan dalam konteks ajaran islam murni, yakni bertanggung jawab kepada lingkungan. Dalam islam, terdapat nilai-nilai fundamental mengenai hubungan yang harus dijaga dan dipertanggung jawabkan oleh seorang muslim sejati, yakni hablun min-Allah (hubungan dengan Allah), hablun min-Nas (hubungan dengan manusia), dan hablun min-Alam (hubungan dengan alam atau lingkungan). Menjaga kebersihan lingkungan adalah perwujudan dari tanggung jawab menjaga hubungan dengan alam, begitu pula Allah menyukai kebersihan, sebagaimana firman-Nya dalam hadis berikut:
عَنْ صَالِحِ بْنِ أَبِي حَسَّانَ قَال سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ يُحِبُّ الطَّيِّبَ نَظِيفٌ يُحِبُّ النَّظَافَةَ كَرِيمٌ يُحِبُّ الْكَرَمَ جَوَادٌ يُحِبُّ الْجُودَ فَنَظِّفُوا
“Dari Shalih bin Abu Hassan ia berkata; Aku mendengar Said bin Al Musayyab berkata; Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan menyukai kepada yang baik, Maha Bersih dan menyukai kepada yang bersih, Maha Pemurah, dan menyukai kemurahan, dan Maha Mulia dan menyukai kemuliaan, karena itu bersihkanlah diri kalian, (HR. Tirmidzi)”
Para kiai sangat mungkin telah memperkenalkan konsep hablun min-Alam kepada para santrinya sebab ajaran tentang lingkungan ada di sebagian besar kita-kitab ulama fenomenal seperti Ihya’ Ulumiddin, Al-Hikam, Riyadhus Shalihin, dsb. Pasalnya, penerapan ilmu dari kajian kitab-kitab tersebut lebih banyak terpusat pada ibadah (hablun min-Allah) dan sopan santun (hablun min-Nas). Akibatnya, kesadaran terhadap kebersihan, kelestarian dan pengelolaan lingkungan, terutama sampah menjadi terabaikan.
Pentingnya integrasi dan transformasi ilmu di pondok pesantren tidak lain agar para santri tidak tertinggal oleh zaman dan menimbulkan kesulitan ketika sudah berinteraksi dengan dunia luar, dikarenakan zaman tidak segalanya tentang ibadah. Peran kiai dan pengurus pondok pesantren sangat dibutuhkan dalam konteks ini. Selain dorongan tentang membuang sampah pada tempatnya, santri juga diajarkan konsep pengelolaan sampah agar kesadaran dapat tertanam menjadi sebuah kebiasaan yang bermanfaat dan dipraktikkan di luar pesantren.
Contoh inspiratif dapat diambil dari pengalaman santri Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa yang berhasil mendaur ulang sampah menjadi paving block. Penjualannya mencapai omzet 5 juta rupiah per-bulannya. Tentunya, inovasi tersebut didukung penuh oleh pihak pesantren dan kiai dari awal pengelolaan hingga ke tahap penjualan. Selain menguntungkan dari segi materi, para santri akan membiasakan diri mengolah sampah menjadi karya-karya lainnya dan menerapkannya saat terjun di masyarakat.
Pentingnya memperhatikan konsep hablun min-Alam agar keimanan seorang muslim menjadi sempurna. Ibadah setiap detik dan adab yang tinggi rasanya sia-sia jika membiarkan lingkungan sekitar dalam kondisi tidak bersih, otomatis sama saja membiarkan sarang penyakit berkembang biak dan membahayakan masyarakat. Pentingnya para kiai untuk menyadari perlu adanya transformasi ilmu terapan dari ibadah ke ilmu berbasis lingkungan yang inovatif. Santri dapat diajarkan cara populer Reduce, Reuse, Recycle, untuk menadaur ulang sampah, mengurangi konsumsi sampah plastik, pengolahan pembalut wanita dan tidak lupa melakukan filtrasi air mandi yang tercemar agar kehidupan santri terbebas dari penyakit. Dengan demikian, kebiasaan hidup bersih dan sehat tidak hanya terwujud di pesantren, melainkan pula saat terjun di masyarakat.
*Nama pena dari R. Ayu Kamiliya Zahra, mahasiswi UIN Sunan Ampel Surabaya asal Madura. Silaturahmi instagram @raykza_
[1] Penulis menulis opini ini setelah melakukan kunjungan ke banyak pesantren tradisional serta mendengar pengalaman-pengalaman dari teman-temannya



