Oleh Hamidulloh Ibda
Saban 25 November, masyarakat Indonesia khususnya insan pendidikan tak luput merayakan Hari Guru Nasional (HGN) termasuk pada Selasa 25 November 2025 ini. Upacara. Berangkat pagi. Berseragam PGRI. Ya, hiruk-pikuk HGN menjadi menggema di bulan November. Yang perlu saya sorot itu, ada dua tema berbeda. Unik memang!
Peringatan HGN 2025 menghadirkan dua perspektif yang sama-sama kuat, namun berangkat dari landasan nilai yang berbeda. Kemdikdasmen RI tahun ini mengusung tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat”, sedangkan Kementerian Agama RI menetapkan tema “Merawat Semesta dengan Cinta.” Kedua tema ini seolah merefleksikan dua sisi esensial dari pendidikan Indonesia, yaitu ketangguhan kompetensi dan kelembutan spiritual. Dalam konteks inilah posisi guru menjadi pilar utama yang tak hanya mendidik generasi, tetapi juga merawat peradaban.
Guru Hebat, Indonesia Kuat
Saya mencoba menafsirkan tema besar yang diusung Kemdikdasmen ini. Tema “Guru Hebat, Indonesia Kuat” menegaskan masa depan bangsa bertumpu pada kualitas guru. Guru hebat tidak hanya dilihat dari kemampuan mengajar, tetapi juga kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman. Hal ini sejalan dengan teori Pedagogical Content Knowledge (PCK) dari Lee S. Shulman dalam bukunya The Wisdom of Practice (2004), yang menekankan guru unggul adalah mereka yang mampu mengintegrasikan pengetahuan materi, pedagogi, dan konteks kelas secara utuh.
Pemikiran ini sejalan dengan pandangan John Dewey dalam Democracy and Education (1916) yang menyatakan bahwa guru adalah “pemimpin demokrasi”, yakni agen yang membentuk masyarakat berpikir kritis, partisipatif, dan kreatif. Guru hebat, menurut Dewey, adalah mereka yang membuat sekolah menjadi miniatur masyarakat yang dinamis.
Di era disrupsi digital, teori Albert Bandura tentang Social Learning dalam Social Foundations of Thought and Action (1986) kembali relevan, karena murid meniru model yang mereka lihat. Pendidik hebat berarti guru yang menjadi teladan, bukan sekadar sumber informasi. Dalam konteks Indonesia, guru menjadi figur yang menghadirkan keteladanan etika, intelektual, dan sosial.
Merawat Semesta dengan Cinta
Kementerian Agama sendiri menawarkan perspektif yang lebih holistik melalui tema “Merawat Semesta dengan Cinta.” Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa guru adalah penjaga keseimbangan antara ilmu dan iman, pengetahuan dan kebijaksanaan. Tema ini merefleksikan pendidikan sebagai proses tazkiyatun nafs (penjernihan jiwa), takhalli, tahalli, hingga tajalli, nilai yang berakar kuat dalam tradisi Islam Nusantara.
Simbol kasih sayang sebagai inti pendidikan sejalan dengan pemikiran Paulo Freire dalam Pedagogy of the Heart (1994), yang menyatakan bahwa pendidikan sejati lahir dari cinta (love) dan dialog. Freire menolak pendidikan mekanistik dan mengajukan pendekatan humanistik yang membebaskan.
Dalam tradisi tasawuf, cinta adalah puncak pengabdian. Imam al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulumuddin (1100-M), menegaskan bahwa guru merupakan murabbi yang membimbing murid bukan hanya pada kecakapan, tetapi pada kejernihan jiwa untuk menggapai hikmah. Syekh Nawawi al-Bantani, dalam Nashâ’ih al-‘Ibâd (2022), menekankan bahwa guru harus hadir dengan hati yang bersih agar ilmunya membawa berkah.
Hal ini menegaskan bahwa “merawat semesta dengan cinta” bukan sekadar tema, tetapi paradigma pendidikan berbasis spiritualitas: bahwa guru menjadi penjaga harmoni diri, masyarakat, dan alam. Kira-kira begitu!
Aswaja Annahdliyah: Jembatan Kompetensi dan Kasih Sayang
Sebagai pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah, saya memiliki perspektif beda. Meski intinya menggabungkan, karena LP Ma’arif NU itu mengelola sekolah dan madrasah. Dalam konteks ini, nilai-nilai Aswaja Annahdliyah hadir untuk menjembatani kedua tema besar HGN 2025. Aswaja yang berwatak tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan i’tidal (adil) menyatukan ketangguhan intelektual dan kelembutan spiritual.
Dalam kerangka Aswaja, saya bisa beropini sederhana. Pertama, guru hebat adalah guru yang tsiqah (kompeten dan terpercaya). Bisa disebut pula dipercaya dan terpercaya, atau dapat dipercaya. Intine ngono! Kedua, guru yang merawat semesta adalah guru yang rahmatallilalamin. Ketiga, guru kuat adalah guru yang istikamah membangun peradaban.
Nilai Aswaja ini terinternalisasi dalam tradisi ngemong, ngasah, ngemil, yang memosisikan guru sebagai pengasuh, pembimbing, dan pemantik potensi murid. Tradisi pesantren yang dikembangkan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, melalui kitab Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim (1902), mengajarkan bahwa hubungan guru–murid harus dibangun dengan akhlak, penghormatan, dan cinta.
Dalam konteks modern, nilai-nilai ini sejalan dengan teori Ethic of Care dari Nel Noddings dalam Caring: A Relational Approach to Ethics and Moral Education (2013), yang menekankan bahwa pendidikan moral lahir dari hubungan peduli antara guru dan murid. Hal ini menunjukkan Aswaja Nusantara telah lebih dulu menghidupi praktik pendidikan berbasis kasih sayang jauh sebelum teori modern dikembangkan.
Sintesis Dua Tema
Jika kedua tema HGN 2025 dibaca berdampingan, kita menemukan harmoni yang indah. Pertama, Kemdikdasmen menekankan pada kompetensi dan ketangguhan bangsa. Kedua, Kemenag menekankan pada spiritualitas dan kelestarian semesta.
Di tengah keduanya, guru Aswaja hadir sebagai figur yang berilmu kuat seperti yang dipesankan Shulman dan Dewey, penuh kasih seperti yang diamanatkan al-Ghazali, Freire, dan tradisi pesantren, menjadi teladan sebagaimana teori Bandura dan nilai Aswaja, dan menjaga harmoni diri, manusia, dan alam sebagaimana visi “Merawat Semesta dengan Cinta.”
Guru di Indonesia bukan sekadar aktor teknis pendidikan, tetapi juga aktor moral, spiritual, ekologis, dan kultural. Mereka adalah penghubung antara masa lalu dan masa depan, antara tradisi dan modernitas, antara ilmu dan cinta.
Kita harus belajar dari negara Jepang. Soal apa? Kaisar Hirohito (Kaisar Jepang ke-142) setelah mendengar kabar kehancuran kota Hiroshima dan Nagasaki adalah “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Dalam konteks sejarah kebangkitan Jepang pasca-Perang Dunia II, Kaisar Hirohito mengumpulkan 45.000 guru yang tersisa di seluruh Jepang dikumpulkan dan diberi arahan oleh Kaisar sebagai pemagang otoritas tertinggi untuk memimpin pembangunan kembali moral dan intelektual bangsa. Kebijakan ini menekankan masa depan negara terletak pada pendidikan, bukan militerisme. Sudah jelas ya? Betapa pentingnya guru.
HGN 2025 mengajak kita melihat guru secara lebih utuh, yaitu sebagai pencerah akal, pengayom hati, penjaga peradaban, dan perawat semesta. Ketika guru hebat bekerja dengan cinta, maka Indonesia bukan hanya kuat, tetapi juga berkeadaban dan penuh cinta kasih. Apakah Anda sependapat?



