Oleh Hamidulloh Ibda
Pada Selasa (11/11/2025) lalu, saya didapuk Tanoto Foundation dan Dinas Pendidikan Kota Semarangs ebagai reviewer utama dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) Pembuatan Buku Numerasi Berbasis EVI MAP (Ethnoscience Village Map) di Ruang Oval lantai dua Dinas Pendidikan Kota Semarang. Saya tertarik melanjutkan kegiatan itu melalui tulisan sederhana ini, utamanya tentang bahan ajar ajar berbasis kearifan lokal. Apa pentingnya sih?
Spradley (1997) menyebut kearifan lokal itu tidak berdiri sendiri. Tapi berangkat dari local knowledge (pengetahuan lokal), local genius (kecerdasan lokal) dan local wisdom (kearifan lokal). Kearifan lokal umumnya disebut sesuatu yang diwariskan, sesuatu yang terselip dalam ritual, cerita, atau kebiasaan yang telah lama ada.
Realitasnya, kearifan lokal jauh lebih dinamis, yaitu sebuah gudang pengetahuan yang hidup, dibentuk oleh cara berpikir, memecahkan masalah, mengukur, memperdagangkan, membangun, dan mempertahankan kehidupan suatu komunitas. Ketika pendidikan berhasil memanfaatkan gudang ini, pembelajaran berhenti menjadi abstrak dan menjadi sangat terhubung dengan pengalaman hidup siswa. Inilah tepatnya janji dan tantangan dari pengembangan bahan ajar berbasis kearifan lokal.
- Iklan -
Ikhtiar menanamkan budaya ke dalam pembelajaran di kelas dalam beberapa tahun terakhir makin mendesak. Para guru di Indonesia mulai menyadari bahwa numerasi, yang sering diajarkan melalui lembar kerja yang didekontekstualisasikan, dapat menjadi lebih bermakna ketika didasarkan pada praktik budaya nyata.
Dari ke-50 bahan ajar karya guru se Kota Semarang berbasis EVI MAP itu, saya mengungkap EVI MAP merupakan akronim dari Ethnoscience Village Map. Ini dirancang oleh para guru dan kepala sekolah hebat di Kota Semarang. Model Peta Desa Etnosains (EVI MAP) menjadi contoh upaya tersebut, yaitu sebuah kerangka kerja untuk mendorong guru untuk mengamati fenomena budaya di komunitas mereka dan mengubahnya menjadi narasi pembelajaran, peta, tugas, dan penjelasan etnosains. Melalui pendekatan ini, matematika tak lagi sekadar komputasi, matematika menjadi jendela menuju cara-cara penalaran lokal. Bagus to?
Kearifan Lokal dalam Pendidikan
Para akademisi, antropolog, ilmuwan, dan ahli bahasa telah lama mengeksplorasi makna kearifan lokal. Sibarani (2012) mendefinisikannya sebagai seperangkat gagasan, nilai, dan sistem pengetahuan yang telah diuji, diadaptasi, dan diwariskan lintas generasi. Kearifan lokal bukanlah cerita rakyat dalam arti yang dangkal, melainkan “ekologi intelektual” suatu komunitas, sebuah pandangan dunia yang mengatur bagaimana orang hidup, berinteraksi, mengambil keputusan, dan berinovasi.
Para pakar pendidikan memperluas gagasan ini ke dalam kerangka etnopedagogi, yang memposisikan budaya sebagai (1) sumber pengetahuan, (2) media pembelajaran, dan (3) fondasi pengembangan karakter. Banks (2016), misalnya, menekankan bahwa kurikulum menjadi bermakna hanya ketika menghubungkan peserta didik dengan akar budaya mereka. Prastowo (2015) mengemukakan bahan ajar efektif harus relevan, kontekstual, dan bermakna kualitas secara alami hadir ketika budaya diintegrasikan dalam pembelajaran.
Bahan ajar berbasis kearifan lokal bukan sekadar buku yang menyisipkan anekdot budaya. Bahan ajar tersebut merupakan sumber daya pembelajaran yang di dalamnya logika budaya, bagaimana orang mengukur tanah, menyelenggarakan upacara, menegosiasikan harga, atau membangun rumah adat, menjadi fondasi tujuan pembelajaran, contoh, tugas penilaian, dan diskusi kelas.
Kearifan Lokal: Menuju Pengetahuan Lokal dan Kejeniusan Lokal
Salah satu wawasan yang paling terungkap dari pengembangan bahan ajar berbasis EVI MAP adalah bahwa banyak manuskrip berhenti pada tataran kearifan lokal, lapisan deskriptif budaya. Perkara seringkali hilang yaitu eksplorasi yang lebih mendalam terhadap pengetahuan lokal dan kejeniusan lokal. Riil lo!
Ketiga konsep ini dapat dipahami sebagai sebuah kontinum. Artinya, kearifan lokal mengacu pada nilai-nilai, tradisi, dan kepercayaan, seperti upacara Apitan, Nyadran, Sedekah Bumi, Sedekah Laut, dan sejenisnya. Pengetahuan lokal mencakup pengetahuan praktis yang tertanam dalam aktivitas sehari-hari, seperti alat ukur tradisional, siklus pertanian, atau norma perdagangan. Kejeniusan lokal adalah kapasitas masyarakat untuk berinovasi, sistem irigasi, arsitektur, aritmatika pasar, atau pengelolaan ekologi yang unik.
Geertz (1973) dan Koentjaraningrat (2002) berargumen kejeniusan lokal mencerminkan kecerdasan adaptif suatu masyarakat. Dalam ranah pendidikan matematika, kecerdasan adaptif ini menjadi basis budaya etnomatematika, studi tentang ide-ide matematika yang tertanam dalam praktik budaya (D’Ambrosio, 1985). Ketika guru mengeksplorasi bagaimana petani menghitung waktu tanam atau bagaimana pengrajin menerapkan pengulangan geometri, mereka tidak lagi sekadar mengajar matematika; mereka mengungkap warisan kognitif masyarakat.
Keterlibatan yang lebih mendalam ini menuntut guru untuk mengadopsi kepekaan etnografis: mengamati, menafsirkan, dan merekonstruksi praktik budaya menjadi pengalaman belajar yang mengungkap logika internal kehidupan lokal.
EVI MAP: Jembatan Budaya dan Numerasi
EVI MAP menyediakan model terstruktur untuk menerjemahkan lanskap budaya ke dalam materi pembelajaran. Landasan teoretisnya berakar pada beberapa kerangka kerja pendidikan yang berpengaruh. Contextual Teaching and Learning (CTL) perspektif Johnson (2002), menegaskan pembelajaran menjadi bermakna ketika menghubungkan konten sekolah dengan situasi kehidupan nyata. EVI MAP mengoperasionalkan CTL dengan mendasarkan tugas-tugas numerasi pada pasar lokal, arsitektur komunitas, ritual tradisional, dan aktivitas sehari-hari.
Vygotsky & Cole (1978) melalui teori konstruktivisme sosial menyatakan pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial dan budaya. EVI MAP menganut pandangan ini dengan membenamkan siswa dalam simbol, praktik, dan pola penalaran budaya yang membentuk pemahaman matematika mereka. Sedangkan Etnosains merujuk Spradley (1972) mengungkap prinsip-prinsip ilmiah dalam sistem pengetahuan lokal.
Melalui EVI MAP, guru mengeksplorasi sistem pengukuran, penalaran spasial, siklus ekologi, dan tradisi kerajinan yang mengandung logika ilmiah yang tertanam. Etnomatematika sendiri yang dipopulerkan D’Ambrosio (1985), menyediakan jembatan konseptual yang menghubungkan penalaran budaya dengan pembelajaran matematika formal. Melalui EVI MAP, tugas numerasi dirancang tidak hanya untuk menghitung tetapi juga untuk menafsirkan, menganalisis, dan mempertanyakan praktik budaya menggunakan pemikiran matematika. Perspektif teoretis ini memposisikan EVI MAP sebagai model yang memanusiakan matematika menjadikannya eksplorasi yang berakar pada budaya, alih-alih latihan abstrak.
Mengapa Numerasi Berbasis Budaya Penting?
Gerakan menuju materi ajar berbasis kearifan lokal bukanlah sekadar tren. Hal ini muncul dari beberapa kebutuhan pendidikan yang mendesak. Pertama, materi kontekstual meningkatkan numerasi yang bermakna. OECD mengonseptualisasikan numerasi sebagai kemampuan untuk menggunakan konsep matematika dalam situasi kehidupan nyata. Ketika siswa menyelidiki aritmatika pasar atau pengukuran seremonial, numerasi menjadi alat untuk memahami kehidupan, bukan hanya menyelesaikan lembar kerja.
Kedua, materi berbasis budaya membantu melestarikan dan memperkuat identitas. Tilaar (1999) memperingatkan tentang alienasi budaya ketika pendidikan menjadi terpisah dari konteks lokal. Ketika siswa melihat tradisi mereka tercermin di kelas, mereka mengembangkan rasa memiliki dan bangga. Ketiga, integrasi budaya merangsang keterampilan berpikir tingkat tinggi.
Dalam rangka menganalisis praktik budaya secara matematis, siswa harus menafsirkan, mengevaluasi, membandingkan, dan menjustifikasi. Budaya, dalam konteks ini, menjadi stimulus alami untuk berpikir kritis dan kreatif. Keempat, pengembangan materi semacam itu mengubah guru menjadi peneliti lokal. Mereka bukan hanya instruktur, tetapi juga etnografer komunitas, mendokumentasikan warisan budaya dan menerjemahkannya menjadi pengetahuan pendidikan.
Kekuatan dan Tantangan
Materi berbasis kearifan lokal menawarkan banyak keuntungan: bersifat kontekstual, sangat relevan, dan sarat dengan makna moral dan budaya. Materi ini meningkatkan keterlibatan siswa dan membuka jalur kolaborasi antara sekolah dan masyarakat. Akan tetapi, beberapa tantangan tetap ada. Beberapa materi masih bersifat deskriptif murni, menarasikan budaya tanpa mengungkap logika ilmiah atau matematika di baliknya. Materi lainnya kurang memiliki landasan teoretis yang kuat atau sangat bergantung pada tugas prosedural alih-alih tugas berbasis penalaran. Untuk mengatasi keterbatasan ini, guru harus didukung melalui pelatihan etnografi, desain pendidikan, dan pedagogi yang responsif terhadap budaya.
Masa depan materi berbasis kearifan lokal tidak terletak pada proyek-proyek yang terisolasi, melainkan pada pengembangan gerakan kolektif. Gerakan ini membutuhkan materi yang mencakup landasan teoretis dalam etnosains dan etnomatematika, menggabungkan tugas-tugas terbuka dan berbasis proyek, menggunakan rubrik yang jelas untuk penalaran, dan mengintegrasikan perangkat visual seperti peta desa interaktif. Menambahkan catatan reflektif untuk guru dapat semakin memperkuat pertumbuhan profesional.
Ketika elemen-elemen ini digabungkan, EVI MAP berpotensi menjadi model nasional—model yang mengubah ruang kelas menjadi laboratorium budaya dan memposisikan siswa sebagai penafsir aktif warisan mereka.
Pengembangan EVI MAP di Semarang menunjukkan wawasan mendasar, yaitu pendidikan yang efektif tidak memisahkan peserta didik dari lingkungannya. Sebaliknya, pendidikan yang efektif tumbuh dari tanah kehidupan lokal, kisah, keterampilan, ritual, dan inovasinya. Melalui materi yang berlandaskan budaya, siswa belajar berhitung sambil memahami komunitas mereka, bernalar sambil menelusuri tradisi, dan menghargai budaya sambil menguasai konsep-konsep ilmiah.
Kearifan lokal lebih dari sekadar memperkaya pelajaran; Ia menempatkan pembelajaran dalam konteks manusia yang darinya pengetahuan muncul. Ketika anak-anak mengeksplorasi matematika melalui logika desa mereka sendiri, mereka menemukan bahwa sains bukanlah hal asing, sains sudah ada di sekitar mereka.
Akhirnya, inilah tujuan pendidikan. Tak sekadar sebagai ruang informatif, namun juga untuk memanusiakan, mengembangkan, dan mencerahkan. Ada pendapat lain?
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) Plus LP. Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah.



