Oleh Hamidulloh Ibda
Tak pernah terbayang sebelumnya, obrolan ringan dengan Rektor INISNU Temanggung Dr. Muh. Baehaqi berubah menjadi perjalanan panjang melintasi tiga negara. “Kalau sudah siap, langsung saja kontak travel, Pak Ib,” ucap beliau kala itu. Dari situlah cerita ini dimulai.
Awalnya, saya pikir kegiatan ini cukup dengan satu bus berisi 30–40 peserta. Namun, begitu informasi dibagikan, animo luar biasa datang dari mahasiswa, dosen, alumni, hingga masyarakat umum. Kuota membengkak hingga 157 orang, bahkan masih ada yang terpaksa kami tolak karena keterbatasan tempat. Pendaftaran resmi dibuka awal 2025, dan syarat utama yang harus dipenuhi peserta adalah kepemilikan paspor. Buku kecil bergambar Garuda itu menjadi tiket pertama untuk melangkah ke dunia global.
Kami akhirnya benar-benar berangkat, membawa semangat Pancadharma INISNU Temanggung: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, kaderisasi NU, dan pengembangan peradaban Islam. Lebih dari sekadar perjalanan, ini adalah ikhtiar mempertemukan pengalaman akademik dengan spiritualitas dan budaya lintas bangsa.
- Iklan -
Singapura: Negeri Ketertiban dan Larangan Rokok
Tujuan pertama adalah Singapura. Dari Bandara Changi yang modern hingga jalanan yang bersih tanpa cela, negeri mungil ini menyambut kami dengan wajah Asia yang futuristik.
Namun, ada satu pengalaman unik: soal rokok. Di negara ini, merokok benar-benar dibatasi, bahkan penggunaan vape masuk kategori narkoba dengan ancaman denda fantastis. Bisa dibayangkan betapa “tersiksanya” sebagian peserta asal Temanggung yang terbiasa dengan kepulan asap. Hehe.
Meski begitu, Singapura memberi pelajaran berharga. Di sana kami memahami bahwa profesionalisme, keteraturan, dan disiplin bukan sekadar aturan tertulis, melainkan budaya hidup. Internasionalisasi pendidikan, kami rasakan, bukan hanya berbentuk MoU, tetapi juga kesiapan menyesuaikan diri dengan standar global.
Selain berpose di Merlion Park, Garden by the Bay, Sentosa Island, hingga berburu oleh-oleh, kami juga menyempatkan diri beribadah di Masjid Sultan. Masjid ini istimewa karena masih diperbolehkan mengumandangkan azan dengan pengeras suara, sebuah simbol eksistensi Islam di tengah modernitas kota.
Malaysia: Jejak Kolaborasi Ilmu
Destinasi kedua adalah Malaysia. Di negeri jiran ini, pengalaman akademik menjadi semakin kental. Kami berkunjung ke Maahad Tahfiz Vokasional Aman Bistari yang mengusung konsep Huffaz Berkemahiran—menggabungkan hafalan Al-Qur’an dengan keahlian vokasional seperti teknologi, kuliner, dan teknik. Konsep ini membuktikan bahwa ilmu agama dan sains bisa berjalan beriringan.
Di Universiti Islam Antarabangsa Sultan Abdul Halim Mu’adzam Shah (UniSHAMS), kerja sama lintas negara kami ikrarkan. Seminar internasional tentang multikulturalisme dan moderasi beragama menjadi ajang tukar gagasan antara akademisi Indonesia dan Malaysia. MoU yang kami tanda tangani bukan sekadar simbol, melainkan komitmen untuk menumbuhkan pohon ilmu bersama.
Saya pribadi sangat berterima kasih kepada Prof. Madya Dr. Mukhamad Hadi Musolin, Dekan KUBRO UniSHAMS. Beliau, akademisi asal Bojonegoro, banyak membantu sejak awal hingga realisasi program ini. Pertemuan dengannya membuka jalan sinergi jangka panjang antara INISNU dan UniSHAMS.
Selain agenda akademik, rombongan juga menikmati berbagai destinasi khas Malaysia: Istana Negara, Menara Petronas, Genting Highlands, hingga pusat oleh-oleh dan butik cokelat. Di manapun kami singgah, selalu terasa kehangatan penyambutan, membuat kami seolah menjadi tamu istimewa.
Thailand: Multikulturalisme di Negeri Gajah
Perhentian terakhir adalah Thailand, khususnya di wilayah Hatyai. Negeri ini, dengan julukan Land of Smiles, menyuguhkan pengalaman unik tentang toleransi.
Di Chariyatham Suksa Foundation School, mahasiswa dan dosen INISNU belajar langsung bagaimana pendidikan Islam tumbuh di tengah mayoritas masyarakat Buddhis. Para mahasiswa mengikuti kelas, praktik mengajar, hingga berdialog dengan siswa lokal. Dari sini kami semakin yakin, wajah Islam Nusantara yang ramah dan inklusif mampu diterima di ruang global.
Thailand mengajarkan bahwa perbedaan agama dan budaya bukanlah sekat, melainkan jembatan untuk saling mengenal. Kehangatan masyarakat, sajian kuliner tomyam di Restoran Bunga, serta keramahan pengelola sekolah menjadi pengalaman yang sulit terlupakan.
Penutup: Tiga Mata Uang, Satu Kenangan
Perjalanan ini bukan sekadar lintasan administratif, melainkan pembelajaran hidup. Singapura mengajarkan disiplin, Malaysia menanamkan pentingnya kolaborasi, dan Thailand memperlihatkan nilai toleransi dalam keberagaman.
Ada pula pengalaman sederhana namun berkesan: bertransaksi dengan tiga mata uang berbeda. Dolar Singapura terasa begitu “mahal”, Ringgit Malaysia lebih ramah di kantong, sementara Baht Thailand menipu dengan angka besar namun bernilai kecil. Dari sekadar membeli cokelat hingga gantungan kunci, pengalaman itu menambah warna perjalanan kami.
Bagi INISNU Temanggung, Pancadharma Internasional adalah bukti nyata bahwa internasionalisasi bukan hanya mimpi. Ia adalah langkah konkret membawa Islam Ahlussunnah wal Jamaah ke panggung dunia.
Jejak ini memang sudah berlalu, tetapi gaungnya akan terus terdengar. Siapa tahu, tahun depan kita menjejakkan kaki ke Jepang? Bagaimana, siap ikut plesiran akademik berikutnya?



