Oleh: Fajar Pujianto
Siang yang memanas di Pati, Rabu, 13 Agustus 2025, menyisakan lebih dari sekadar kericuhan. Dari polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) hingga 250%, yang kemudian dibatalkan, lalu menjalar ke kecewaan atas keputusan-keputusan sebelumnya yang merugikan banyak pihak, sampai memunculkan gelombang demonstasi menuntut Bupati mundur. Dari sana, kita bisa melihat bagaimana kebijakan publik, komunikasi politik, dan daya hidup masyarakat saling berkelindan. Di saat Bupati mengumpulkan Forkompinda agar terjadi kesefahaman ataupun kebijakan lain, NU juga turut andil dalam mengambil sikap. PCNU Pati bahkan mengeluarkan maklumat agar Bupati meminta maaf secara terbuka dan mengajak semua pihak menjaga kondusivitas. Tentu, bukan sekadar gestur seremonial, ini menjadi cermin khidmah sosial yang menyejukkan, menegaskan batas, sekaligus mengingatkan etika berdemokrasi.
Reaksi yang dilakukan leh warga Pati akibat kenaikan PBB-P2 terjadi karena waktu, ekonomi warga yang baru tumbuh, dan cara komunikasi publik dari Bupati yang dianggap menjadi profokasi rakyat. Masyarakat di media sosial menyebutnya dengan kata ‘arogan’, walaupun sudah meminta maaf dan urung menaikannya, tapi bara api warga karus meningkat. Di momen itulah nalar kebangsaan dan kearifan lokal diuji, maka nilai-nilai ke-NU-an menjadi barometer yang relevan. NU Pati bergerak meredakan ketegangan, bukan menambah prahara. Hal tersebut bisa menjadi ujud konkret dari tawasuth, tawazun, tasamuh, dan i’tidal yang kerap dikutip dari mimbar NU.
Maka, dalam hal ini sebagai warga NU, kita perlu belajar dari kabupaten tersebut dengan beberapa hal:
- Iklan -
Pertama, kebijakan publik perlu membaca realitas, bukan sekadar angka.
Kenaikan PBB-P2 di Pati mungkin punya asional tektokratis; kebutuhan pendapatan daerah, penesuaian nilai objek pajak, dan seterusnya. Tapi, dalam fikih al-waqi’ yang diajarkan dalam NU mengajarkan kita supaya kebijakan tersebut menyentuh realitas, bukan berhenti pada angka yang tersaji dalam tabel. Mungkin dampak terhadap pelaku UMKM, petani, guru honorer, tenaga kesehatan yang dipecat sepihak, kurang didengarkan, dan juga daya beli masyarakat belum diperhatikan, jadi serasa warga ditinggalkan dalam pengambilan kebijakan.
Kedua, krisis komunikasi.
Di media sosial tersebar luas potongan video yang menantang warga untuk berdemo hingga 5.000 orang. Walaupun hal tersebuat sudah ditampik oleh yang bersangkutan, akan tetapi kemarahan warga terlanjur memuncak. PCNU Pati secara terang-terangan meminta Bupati supaya menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. Dalam manajemen krisis, permintaan maaf yang jelas, tepat waktu, dan bertanggungjawab adalah langkah kunci untuk memulihkan kepercayaan. Di sini, NU bertindak sebagai ‘penjaga etik pubik’, mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah, bukan sekadar kewenangan politis.
Ketiga, aksi warga itu sah, tapia adab publik harus dijaga.
Demokrasi merupakan hak konstitusinal, namun NU mengajarkan bahwa adab adalah pagar. Ketika emosi memuncak, mudah bagi aksi damai berubah menjadi panggung provokasi. Maka, dialog, audiensi, dan forum warga harus terbuka luas agar terjaga keselamatan jiwa dan harta.
Keempat, organisasi NU menjembatani, bukan memihak.
Maklumat PCNU Pati adalah contoh bagaimana jam’iyah menjadi jembatan penyeimbang gelombang, bukan menambah ombak. Keberpihakan NU tertuju kepada kemaslahatan umum bukan kepada figur. Dalam hal ini, berarti NU berani menegur pihak penguasa ketika keliru, sekaligus menenangkan warga supaya tidak terjerumus ke dalam kerusakan yang lebih besar.
Kelima, media sosial menjadi pusat informasi sekaligus medan amarah
Polemik di Pati memperlihatan betapa cepatnya isu meledak di media sosial, terlebih di Tiktok. Tidak sedikit warga yang mengabarkan saban hari sebelum tanggal 13, dari donasi berdatangan hingga aksi yang mencekam. Terlihat dalam komentar, tidak sedikit warga yang meluapkan kekecewaannya, bahkan challenge turun ke jalan pun mempercepat eskalasi. Dalam hal ini, warga NU harus mahir menahan jempol, memeriksa konteks, dan tidak mengubah ruang dakwah menjadi fitnah.
Setelah kejadian ini viral di berbagai platform dan menjadi konsumsi publik, mulai dari kalangan buruh, pendidik, akademisi, hingga pelajar, lalu muncul pertanyaan penting: siapa yang paling bisa kita didik agar peristiwa serupa tidak tidak terulang? jawabannya adalah kaum pelajar. Lebih khusus lagi, para pelajar di lingkungan Ma’arif.
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk mendidik pelajar Ma’arif agar kelak mampu menjadi pemimpin yang amanah? Jawabannya adalah dengan memerkuat literasi. Literasi bukan sekadar membaca dan menulis, tetapi juga memahami nilai, menumbuhkan karakter, dan membangun kesadaran kritis. Lantas, apa yang bisa dipelajari melalui literasi? Berikut uraiannya.
Pertama, literasi keuangan.
Literasi keuangan bukan sekadar belajar mengelola kas masuk dan keluar. Para pelajar di lingkungan LP Ma’arif mungkin bisa dibekali dengan materi tentang apa itu PBB-P2, bagaimana cara penilaian NJOP, bagaimana mengajukan keringanan, bagaimana menyampaikan keberatan yang sah. Selain itu, orang tua juga perlu diberi sosialisasi, mungkin saat pertemuan dengan orang tua, bukan hanya pengajian dan laporan keuangan ataupun laporan dari pihak sekolah kepada wali murid, tapi juga ada edukasi kepada orang tua dari Bapenda atau Lembaga lain yang berwenang.
Kedua, literasi budaya dan kewargaan.
Selain dalam organisasi siswa, para siswa sebaiknya juga perlu diadakan pelatihan guna melatih etika bermusyawarah, debat dengan sopan, penyusunan petisi, dan simulasi audiensi dengan Pemda, serta cara penyampaiannya yang tepat kepada halayak.
Ketiga, literasi digital.
Dalam kurikulum Profil Pelajar Pancasila di lingkungan Ma’arif dapat diperkaya dengan adab bermedia sosial, fiqih muamalah digital, dan etos digital. Para siswa diajarkan untuk memahami mengapa adab bukan sekadar sopan santun personal, melainkan jembatan sosial yang menjaga keselamatan Bersama.
Dari Pati, kita belajar bahwa republik ini bertahan karena absennya konflik, melainkan karena hadirnya penengah yang beradab. NU beserta keluarga besarnya memiliki modal sisa untuk merawat bangsa ini. Maklumat PCNU Pati adalah salah satu contohnya, dengan mengakui luka warga, menegur pimpinan dengan takzim, dan mengajak semua pihak kembali ke meja musyawarah. Tidak hanya sebagai dokumen, tapi bisa dihidupkan melalui ruang kelas dan halaman sekolah yang bernaung di Ma’arif, media sosial, ataupun di majlis taklim. Dari sana, literasi keuangan, digital, dan budaya dan kewargaan akan menemukan nafasnya, bukan sebagai ajang lempar botol atau gebrak meja,malainkan sebagai seni untuk saing menjaga.
Penulis Fajar Pujianto. Pernah mengabdi di MI Ma’arif NU 2 Langgongsari Kecamatan Cilongok, Banyumas. Sekarang menjadi staf UPT Perpustakaan UNU Purwokerto.



