Oleh Dwi Scativana Isnaeni
Ada satu pesan yang seolah menyeberangi waktu: agama dan budaya bukanlah dua dunia yang berlawanan, melainkan dua kekuatan yang saling merawat.
Dua tahun lalu, Wakil Menteri Agama Saiful Rahmat Dasuki mengucapkannya dalam forum internasional. Hari ini, gema kalimat itu terasa kembali, bukan di ruang seminar, melainkan di ruang kelas—melalui gagasan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC).
Pendidikan, bila hanya berurusan dengan angka dan ujian, mudah kehilangan maknanya. Kita bisa melahirkan generasi yang cerdas menghitung, tetapi gagap merasakan. KBC lahir untuk mengisi kekosongan itu—mengingatkan bahwa sekolah adalah tempat membentuk manusia, bukan hanya mengasah otak.
Dirancang melalui lima revisi sejak Januari 2025, melibatkan guru, kepala madrasah, akademisi, tokoh adat, pemuka agama, bahkan pakar internasional dari Australian National University, KBC mengusung satu premis sederhana namun mendalam: di mana ada cinta, di situ ada kehidupan. Cinta, dalam konteks ini, bukan sekadar perasaan manis, tapi kesediaan untuk memahami, menghargai, dan merawat—manusia, lingkungan, dan warisan budaya.
- Iklan -
Per Mei 2025, dua belas madrasah di berbagai provinsi menjadi percontohan KBC. Bukan hanya menjadi tempat belajar, tapi laboratorium nilai: guru memulai pelajaran dengan apersepsi yang membangkitkan empati, mengaitkan materi dengan kisah nyata, lalu menutupnya dengan refleksi. Di sini, rapor bukan sekadar angka, tapi juga catatan perjalanan hati.
Surat Edaran Menteri Agama Nomor 10 Tahun 2025 menegaskan agar semua lini—Kanwil, madrasah, perguruan tinggi keagamaan—menjadikan cinta sebagai atmosfer, bukan tempelan program. Cinta yang hidup di lorong-lorong sekolah, di percakapan guru-siswa, dan dalam sikap terhadap lingkungan.
Namun, cinta yang tidak berpijak akan mudah hanyut. KBC mengingatkan kita untuk memelihara akar—tradisi dan kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang. Dalam bahasa Subak di Bali, cinta berarti menjaga air dan ladang demi kelangsungan komunitas. Dalam praktik Sasi di Maluku, cinta berarti memberi laut waktu untuk beristirahat. Dalam gotong royong di desa, cinta berarti mengulurkan tangan sebelum diminta.
Sayangnya, tidak semua memandang tradisi dengan ramah. Sebagian melihatnya sebagai beban masa lalu, bahkan dianggap bertentangan dengan agama. KBC memilih jalan lain: menjembatani, bukan menghapus. Mengajak dialog antara kitab suci dan hikmah nenek moyang, agar keduanya saling menguatkan, bukan saling meniadakan.
Lalu, bagaimana mengukur cinta? Di sinilah KBC memilih jalur reflektif. Nilai akhir bukan hanya hasil ujian, tapi juga seberapa sering siswa menyapa lebih dulu, berani meminta maaf, atau ikut menjaga taman sekolah. Cinta hadir bukan di lembar soal, tapi di kebiasaan sehari-hari yang mungkin tampak kecil, namun membentuk wajah bangsa.
Tidak sedikit yang sinis: romantis sekali, tapi dunia nyata kejam. Ada pula yang khawatir cinta dijadikan jargon kosong, atau bahkan alat seragam ideologi. Kekhawatiran ini sah adanya. Tetapi mungkin, justru karena dunia keras, kita butuh ruang yang menegaskan bahwa kelembutan bukan kelemahan. Bahwa mendidik hati sama pentingnya dengan mendidik kepala.
Jika pendidikan hanyalah lomba menuju masa depan, kita bisa tersesat. KBC mengajak kita menengok ke belakang, melihat akar, lalu melangkah lagi dengan lebih manusiawi. Ia mengingatkan bahwa modernitas tanpa budaya ibarat pohon tanpa tanah; tumbuh cepat, tapi mudah tumbang.
Di tengah derasnya arus globalisasi, KBC adalah ajakan untuk pulang—pulang ke nilai yang membuat kita manusia, pulang ke tradisi yang membuat kita Indonesia. Karena pada akhirnya, cinta bukan hanya tema kurikulum. Ia adalah fondasi peradaban.
–Dwi Scativana Isnaeni adalah Ahli Madya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan dan Sarjana Pendidikan Seni Pertunjukan. Penulis merupakan seorang pendidik dan penulis yang aktif mengangkat tema-tema keislaman, isu-isu pendidikan, seni dan budaya masyarakat serta kajian ilmiah.



