Oleh Taufiq, S.Pd.I, Alh
Pertanyaan “apakah guru beban bagi negara?” sering muncul, baik secara langsung maupun tersirat, setiap kali wacana soal anggaran pendidikan kembali mencuat ke permukaan. Tidak sedikit suara sumbang yang mempertanyakan kenapa negara harus mengalokasikan dana begitu besar hanya untuk menggaji guru, memberi tunjangan, serta membiayai berbagai program peningkatan kompetensi. Namun, benarkah guru merupakan beban yang memberatkan negara? Atau justru negara yang sering kali gagal melihat guru sebagai investasi jangka panjang bagi peradaban?
Tulisan ini mencoba mengupas secara lebih dalam perdebatan tersebut, dari perspektif sejarah, kebijakan anggaran, distribusi guru, hingga peran strategis mereka dalam membangun bangsa.
Sejarah Panjang Guru dalam Pembangunan Bangsa
- Iklan -
Jika kita menengok sejarah, guru di Indonesia tidak sekadar berperan sebagai pengajar di kelas. Pada masa kolonial, guru-guru pribumi yang mengajar di sekolah rakyat berperan penting dalam membangkitkan kesadaran nasional. Ki Hajar Dewantara, misalnya, menggunakan pendidikan sebagai alat perjuangan melawan kolonialisme. Sekolah Taman Siswa yang didirikannya menjadi ruang pembebasan bagi anak-anak bangsa untuk berpikir kritis, berani, dan mencintai tanah air.
Setelah kemerdekaan, peran guru semakin sentral. Mereka berada di garis depan dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Guru bukan hanya mendidik dalam arti akademis, tetapi juga menanamkan nilai moral, membentuk identitas nasional, dan menyiapkan generasi penerus yang akan mengisi pembangunan. Dengan kata lain, guru bukan sekadar “tenaga kerja negara” yang dibayar untuk mengajar, melainkan aktor utama dalam proses nation-building.
Anggaran Pendidikan: Beban atau Investasi?
Salah satu alasan mengapa guru kadang dianggap beban adalah persoalan anggaran. Konstitusi mengamanatkan bahwa sekurang-kurangnya 20% dari APBN dialokasikan untuk pendidikan. Dari porsi itu, lebih dari separuhnya memang digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Angka tersebut terlihat sangat besar jika hanya dilihat sebagai “biaya.”
Namun, cara pandang semacam itu sebenarnya keliru. Mengeluarkan dana untuk membiayai guru seharusnya dipandang sebagai investasi sumber daya manusia. Negara-negara maju seperti Finlandia, Korea Selatan, atau Singapura tidak pernah menganggap anggaran untuk guru sebagai pemborosan. Sebaliknya, mereka menjadikan guru sebagai prioritas utama, memberikan pelatihan berkelanjutan, serta memastikan kesejahteraan guru agar fokus mendidik generasi masa depan.
Jika kita menuntut kualitas pendidikan yang tinggi tanpa mau membiayai guru dengan layak, itu ibarat membangun rumah megah dengan pondasi rapuh. Guru yang tidak sejahtera dan tidak dihargai mustahil bisa sepenuhnya mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk mendidik.
Masalah Bukan Jumlah Guru, Melainkan Distribusi
Sering kali muncul argumen bahwa jumlah guru di Indonesia terlalu banyak sehingga membebani anggaran. Namun, data menunjukkan masalah utama bukanlah jumlah, melainkan distribusi.
Di kota-kota besar, jumlah guru relatif berlimpah. Bahkan, ada sekolah negeri di perkotaan yang memiliki guru lebih dari cukup, hingga beberapa di antaranya “menganggur” karena kekurangan jam mengajar. Sebaliknya, di daerah terpencil, perbatasan, dan kepulauan, masih banyak sekolah yang kekurangan guru. Tidak jarang satu guru harus mengajar berbagai mata pelajaran sekaligus, bahkan mengajar lintas jenjang kelas.
Kondisi ini menunjukkan bahwa negara belum mampu mengatur distribusi guru secara adil dan merata. Akibatnya, seolah-olah jumlah guru terlalu banyak, padahal di lapangan masih ada ribuan sekolah yang kekurangan tenaga pengajar. Jika distribusi bisa diatur lebih baik, maka anggaran yang besar untuk guru tidak akan tampak sia-sia, karena setiap rupiah benar-benar berkontribusi pada pemerataan akses pendidikan.
Guru sebagai Aset Pembangunan Jangka Panjang
Menilai guru sebagai beban jelas bertentangan dengan logika pembangunan. Dalam teori ekonomi modern, pendidikan disebut sebagai human capital investment, yaitu investasi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar lebih produktif.
Bayangkan sebuah negara yang berhemat pada pendidikan dan enggan membayar guru dengan layak. Akibatnya, kualitas pendidikan rendah, anak-anak tumbuh tanpa keterampilan memadai, dan daya saing bangsa menurun. Pada akhirnya, negara itu akan kehilangan lebih banyak potensi ekonomi di masa depan. Dengan kata lain, berhemat pada guru sama saja dengan membayar mahal harga keterbelakangan di masa depan.
Sebaliknya, negara yang berani mengeluarkan anggaran besar untuk guru sedang menanam benih masa depan. Guru yang berkualitas akan melahirkan generasi yang cerdas, inovatif, dan produktif. Generasi inilah yang kelak mampu membawa bangsa keluar dari jebakan kemiskinan dan ketertinggalan.
Kualitas Guru: PR yang Belum Tuntas
Meski guru bukan beban, bukan berarti semua persoalan pendidikan beres. Kritik terhadap kualitas sebagian guru memang valid. Tidak bisa dipungkiri masih ada guru yang kurang menguasai materi, tidak terlatih menggunakan teknologi, atau terjebak dalam metode mengajar konvensional. Hal ini sering dijadikan alasan untuk menuding bahwa anggaran besar untuk guru tidak sebanding dengan hasilnya.
Namun, menyalahkan guru semata jelas tidak adil. Guru sering kali menjadi korban dari sistem pendidikan yang tidak konsisten. Program sertifikasi, misalnya, diharapkan meningkatkan profesionalisme guru, tetapi dalam praktiknya lebih sering dipandang hanya sebagai syarat administratif untuk mendapatkan tunjangan. Begitu pula dengan pelatihan yang kadang hanya formalitas tanpa benar-benar meningkatkan kompetensi.
Artinya, persoalan kualitas guru tidak bisa diselesaikan dengan retorika bahwa guru beban bagi negara. Justru negara harus lebih serius mendesain sistem pembinaan, pelatihan, dan evaluasi guru agar mereka bisa berkembang seiring dengan tantangan zaman.
Perspektif Sosial: Guru dan Martabat Bangsa
Ada dimensi lain yang sering terabaikan ketika guru dipandang hanya sebagai angka dalam anggaran, yaitu martabat bangsa. Guru adalah sosok yang membentuk karakter anak-anak sejak dini. Mereka mengajarkan bukan hanya membaca, menulis, dan berhitung, tetapi juga nilai kejujuran, disiplin, empati, dan tanggung jawab.
Jika guru diperlakukan sebagai beban, maka pesan moral yang tersampaikan kepada masyarakat adalah bahwa pendidikan tidak penting. Bayangkan bagaimana perasaan seorang guru di pelosok negeri yang harus berjalan kaki berjam-jam, mengajar di sekolah reyot, tetapi kemudian mendengar dirinya disebut “beban negara.” Itu bukan hanya melukai profesi guru, tetapi juga merendahkan martabat bangsa yang berdiri di atas jasa mereka.
Siapa Sebenarnya Beban Negara?
Pertanyaan retoris perlu diajukan: jika bukan guru, siapa sebenarnya beban bagi negara?
Apakah guru yang setiap hari berhadapan dengan murid, membimbing mereka dengan sabar meski fasilitas minim, yang menjadi beban? Ataukah birokrasi yang berbelit, kebijakan yang tidak konsisten, dan korupsi anggaran yang sesungguhnya menguras sumber daya negara tanpa memberi manfaat nyata?
Ketika ada pejabat yang korupsi miliaran hingga triliunan rupiah, jarang sekali muncul label “beban negara.” Tetapi ketika guru menerima gaji atau tunjangan yang sah, justru profesi ini dipertanyakan keberadaannya. Inilah ironi cara pandang kita terhadap pendidikan.
Menuju Paradigma Baru: Guru sebagai Mitra Negara
Sudah saatnya kita mengubah paradigma. Guru bukanlah beban, melainkan mitra strategis negara dalam membangun peradaban. Untuk itu, ada beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan.
Pertama, peningkatan kesejahteraan guru harus dipastikan berjalan adil. Bukan berarti semua guru harus mendapat gaji fantastis, tetapi setidaknya cukup untuk hidup layak. Guru yang sejahtera akan lebih fokus pada tugas mengajar, tanpa terbebani masalah ekonomi.
Selain itu, distribusi guru juga perlu diatur secara merata. Negara harus berani membuat kebijakan afirmatif untuk mendistribusikan guru ke daerah terpencil dengan insentif khusus, sehingga kesenjangan kualitas pendidikan antarwilayah dapat diperkecil.
Upaya lain yang tidak kalah penting adalah pengembangan profesionalisme berkelanjutan. Pelatihan guru harus benar-benar berorientasi pada peningkatan kompetensi nyata, bukan sekadar formalitas administratif. Dengan demikian, guru dapat terus beradaptasi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan siswa.
Terakhir, penghargaan terhadap martabat guru harus diperkuat. Guru perlu diakui secara sosial sebagai profesi mulia, sebagaimana dokter atau insinyur. Pengakuan ini tidak hanya diwujudkan melalui gaji atau tunjangan, tetapi juga melalui penghormatan yang melekat dalam budaya bangsa.
Penutup: Guru Bukan Beban, Melainkan Cahaya
Jika ada yang masih menganggap guru sebagai beban negara, mungkin mereka lupa pada guru pertama yang mengajarkan mereka membaca, menulis, atau berhitung. Mereka lupa bahwa tanpa guru, tak ada dokter, insinyur, pejabat, bahkan presiden. Guru adalah mata air pengetahuan yang mengalirkan kehidupan bagi bangsa.
Oleh karena itu, menyebut guru sebagai beban sama saja dengan menyebut akar pohon sebagai beban bagi buahnya. Pohon hanya bisa berbuah karena akarnya kokoh. Demikian pula bangsa ini hanya bisa maju jika gurunya dihargai.
Maka, jawaban yang paling tepat terhadap pertanyaan “apakah guru beban bagi negara?” adalah: tidak. Guru bukan beban. Guru adalah investasi, aset, dan cahaya yang menerangi masa depan bangsa.
-Taufiq, S.Pd.I, Alh, guru MA Andalusia Wonosobo



