Oleh: Rara Kamiliya*
Sistem pendidikan di dunia umumnya mengacu pada standar negara-negara barat, mulai dari kurikulum, metode pembelajaran, waktu, infrastruktur sekolah dan sebagainya. Begitu pula, sekolah-sekolah unggulan atau sekolah dengan rating terbaik di dunia didominasi oleh negara-negara barat. Pendidikan sebagai sebuah proses pengembangan intelektual dan bakat masyarakat merupakan satu hal yang mendapat perhatian besar oleh seluruh masyarakat global. Tanpa pendidikan, dunia tidak akan mencapai era revolusi industri pada pertengahan abad ke-19 hingga sampai di era globalisasi seperti saat ini. Munculnya teknologi yang memberikan kemudahan-kemudahan bagi pekerjaan manusia adalah produk pola pikir yang maju. Apalagi, pola pikir yang seperti ini dicetuskan oleh ilmuwan-ilmuwan barat sehingga sistem pendidikan yang demikian banyak disepakati dan diterapkan hampir di seluruh dunia, termasuk di negara-negara Islam.
Sebelum kemunculan peradaban barat, Islam lebih dulu mengalami golden age dari abad ke-7 hingga ke-13 masehi. Pada saat itu, dunia Islam menjadi mercusuar peradaban dunia sebab banyak ilmuwan-ilmuwan sains berasal dari dunia Islam. Semangat pengembangan keilmuwan ini didasarkan oleh motivasi Islam sendiri, khususnya beberapa firman Allah SWT dalam Al-Quran dan sunnah nabi. Namun, kemunduran Islam dalam tenggat waktu yang cukup lama menyadarkan umat muslim bahwa untuk mencapai kemajuan pendidikan tidak cukup dengan semangat para ilmuwan untuk belajar, mengobservasi, menulis dan mengajar, tetapi juga membutuhkan dukungan dari penguasa dan stabilitas ekonomi negara yang sulit didapat kembali setelah masa kemunduran dunia Islam.
Di samping itu, banyak pakar sejarah menyatakan bahwa sebenarnya peradaban barat terjadi atas kontribusi ilmuwan muslim. Seyyed Hossein Nasr memaparkan bahwa sains Islam memiliki pengaruh besar di barat pada rentang abad ke-11 sampai 13, dimana pada saat itu karya-karya besar ilmuwan sains Islam diterjemahkan ke bahasa latin di negara Spanyol, Sisilia, dan Italia. Apa yang diwarisi orang-orang barat dari sains Islam bukan sekedar ‘menyalin’ pengetahuan tetapi ada proses transformasi. Umar A.M. Kasule, seorang pemikir Muslim kontemporer berpendapat bahwa orang Barat membekali dirinya dengan proses transformasi keilmuan, yakni dikembangkan dengan metode eksperimen, observasi, dan pendekatan rasional sehingga terjadilah revolusi sains di abad ke-16 hingga 17. Proses terpenting dari transformasi keilmuan ini adalah institusionalisasi, yakni Orang Eropa membuat lembaga resmi atau yang dikenal sebagai universitas untuk membina, meneliti, dan menyebarkan ilmu secara sistematis. Hal ini tidak ditemukan dalam dunia Islam yang hanya mengandalkan madrasah dan halaqah dimana masih menerapkan sistem hafalan dan metode ceramah dari guru sehingga pelajar kurang dilibatkan dalam analisis ilmu.
- Iklan -
Westernisasi Berkedok Modernisasi: Sebuah Invasi
Zaman modern membawa modernisasi di segala bidang. Modernisasi adalah sebuah proses pembaruan sesuatu dari tradisional menuju sesuatu yang baru dan lebih maju. Modernisasi kerap merujuk dan dikaitkan pada sistem barat, sebab Teknologi yang menjadi indikator sebuah kemajuan muncul di negara-negara barat sehingga dalam proses modernisasi masyarakat global berkiblat pada sistematika dunia barat. Dalam bidang pendidikan Islam, modernisasi menciptakan integrasi keilmuan religi dengan ilmu-ilmu non-religi, khususnya sains dan teknologi. Ilmu keIslaman tidak lagi diterima secara dogmatis, apa adanya dan tanpa proses pengujian. Ilmu-ilmu modern cenderung mengutamakan analisis, logika dan eksplorasi bukti sehingga para ilmuwan dan pelajar muslim modern merevolusi ilmu keIslaman menjadi sebuah ilmu yang logis, dapat diuji dan terbuka.
Seiring berkembangnya zaman, modernisasi seakan-seakan bergeser pada westernisasi. Kedua kata ini memiliki makna hampir sama sebab penerapannya berjalan berdampingan. Modernisasi adalah proses pembaruan dengan merujuk pada nilai-nilai barat sebagai acuan. Namun westernisasi adalah proses pembaratan yang cenderung menggeser nilai-nilai lokal. Transformasi ke arah westernisasi ini sebenarnya merupakan risiko modernisasi yang tidak dapat dipahami secara dalam sehingga penerapannya tidak sebagaimana mestinya.
Dalam pendidikan, Westernisasi memisahkan nilai-nilai keagamaan dengan ilmu murni yang seringkali dikenal dengan sekularisme. Berdasarkan fenomena ini, mayoritas ahli sosiologi meyakini sebuah gagasan bahwa semakin modern suatu masyarakat, maka cenderung semakin sekuler. Negara yang melakukan modernisasi, maka pada saat yang sama juga akan mengalami proses sekulerisasi. Hal ini juga terbukti hingga zaman ini pun lembaga pendidikan atau universitas terbaik yang diminati seluruh kalangan umat beragama, termasuk umat muslim adalah universitas-universitas yang berdiri di negara-negara barat dengan sistem pendidikan yang pada umumnya sekuler. Demikian pula sekolah-sekolah di berbagai negara termasuk negara dengan mayoritas penduduk Islam mulai menerapkan pendidikan sekuler.
Ketika cara berpikir atau paradigma ilmu keislaman digantikan oleh paradigma ilmu non-keislaman atau barat murni, maka sebenarnya dunia pendidikan Islam telah diinvasi oleh pendidikan barat. Pemikiran sebagai sebuah sarana memahami dunia dan mencari kebenaran yang murni dipengaruhi barat tidak selamanya baik dan bahkan membahayakan dinamika umat muslim. Sebab, tidak semua pemikiran barat yang menurut para ilmuwan dan pelajar itu logis dan solutif bisa dianggap baik dan benar menurut ajaran Islam. Intelektual adalah pondasi yang mencerminkan tingkah laku manusia. Jika umat Islam telah diinvasi secara intelektual, maka tingkah laku mereka juga akan jauh dari ajaran Islam yang benar. Jika rata-rata umat muslim terfokus pada ilmu barat murni tanpa diintegrasikan dengan ajaran agama, maka peradaban Islam sulit mengalami kemajuan dan pada akhirnya Islam hanya sekedar keyakinan tertulis, bukan keyakinan dari hati dan pola pikir.
Ada beberapa alasan mengapa sulit bagi umat Islam untuk kembali ke peradaban yang maju. Pertama, globalisasi dipenuhi dengan persaingan dalam berbagai aspek di antara negara-negara maju, seperti Inggris, Amerika, Cina, dan Korea. Sementara negara-negara Islam masih belum sepenuhnya terintegrasi karena adanya perbedaan sekte dalam Islam yang menyebabkan konflik bersenjata antara sesama negara Islam. Kedua, kurangnya kreativitas di kalangan cendekiawan dan pelajar Muslim, yang cenderung mengadopsi ajaran-ajaran Barat tanpa modifikasi. Faktor ketiga adalah faktor yang dianggap benar namun sebenarnya paling rentan menyebabkan keterbelakangan, yaitu fanatisme agama. Nilai-nilai Barat dianggap sebagai penjajahan terhadap nilai-nilai transendental yang menjadi tujuan utama Islam. Dalam konteks argumen agama, alasan ini bisa dibenarkan. Namun, jika dikaitkan dengan masa kini, pemikiran ini sangat terbelakang.
Tidak menutup kemungkinan, Islam mungkin akan sulit meraih masa kejayaan di aspek pendidikan secara menyeluruh, sebab tidak mudah untuk menyatukan kembali seluruh umat Islam di dunia. Hal terpenting untuk dapat hidup dengan mudah di suatu tempat atau zaman adalah beradaptasi. Adaptasi pemikiran menjadi sebuah urgen sebab pemikiran adalah pondasi utama kehidupan manusia yang mengeluarkan manusia dari stagnansi.
*Nama pena dari R. Ayu Kamiliya Zahra, mahasiswi Hubungan Internasional UIN Sunan Ampel Surabaya yang aktif dalam PMII dan penelitian jurnal. Silaturahmi Instragram; @raykza_



