Oleh Hamidulloh Ibda
Kita tentu ingat adagium, pameo, quotes, atau falsafah “kosong itu berisi, berisi itu kosong.” Falsafah paradoks filosofis ini sangat terkenal dalam tradisi filsafat Timur, khususnya Taoisme dan Buddhisme Zen.
Inilah alasan saya menulis judul tulisan ini dengan meminjam istilah “bangku kosong”. Sedikit murid, satu murid bahkan tidak ada murid alias zero (kosong). Ya, itulah gambaran Sekolah Dasar (SD) beberapa tahun terakhir utamanya tahun 2025 ini. Fenomena ini cukup mengkhawatirkan, karena di berbagai daerah di Indonesia SD kekurangan murid baru. Pemandangan bangku-bangku kosong di kelas satu, jumlah rombongan belajar yang menyusut, bahkan ada sekolah yang terancam tutup karena tidak mendapatkan cukup siswa, kini bukan lagi hal yang aneh. Apa sebenarnya yang menyebabkan fenomena ini dan bagaimana dampaknya bagi pendidikan di Indonesia?
Jika dirinci, saya mendapatkan sejumlah data. Di Kabupaten Temanggung, misalnya, sebanyak 105 dari 406 sekolah dasar negeri kekurangan murid baru di tahun ajaran 2025/2026. Data Dinas Pendidikan, Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Temanggung menyebut di tahun ajaran 2025-2026 ini, SD Negeri Butuh Kecamatan Temanggung mendapat 1 murid baru, SDN Pengilon Bulu Temanggung 2 murid baru (rri.co.id, 22/7/2025). Di tempat lain juga demikian, seperti SDN Kauman Solo 1 murid baru (Radarsolo.jawapos.com, 14/7/2025), di Kudus yaitu SDN 5 Jurang Gebog 1 murid baru, SDN 1 Wates Undaan 1 murid baru, dan SDN 2 Gamong Kaliwungu 1 murid baru (Antaranews.com, 14/7/2025).
- Iklan -
Di Kabupaten Mojokerto, sebanyak 159 SDN mengalami kekurangan jumlah murid baru dalam pelaksanaan Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) tahun ajaran 2025/2026 ini. Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto menyebut SDN Dilem Kecamatan Gondang tidak mendapatkan murid baru alias nol (Kabarmojokerto.co.id, 10/7/2025). Bahkan, SD swasta yaitu SD Kanisius Bandung I, Padukuhan Nogosari I, Kalurahan Bandung, Playen, Gunungkidul, DI Yogyakarta juga tidak mendapatkan murid baru kelas 1 pada tahun ajaran 2025/2026 ini (Kompas.com, 14/7/2025). Artinya, fenomena “bangku kosong” tidak hanya di sd negeri namun juga sd swasta. Aduh, ada apa ini?
Akar Permasalahan
Fenomena SD kekurangan murid baru tidaklah tunggal, melainkan dipengaruhi oleh kombinasi berbagai faktor yang kompleks. Saya menyimpulkan terdapat sejumlah faktor dominan. Pertama, persaingan antarsekolah. Di area perkotaan bahkan juga pedesaan, menjamurnya sekolah-sekolah swasta dengan tawaran fasilitas dan kurikulum unggulan, program ekstrakurikuler, prestasi, dan bangunan keren menjadi magnet tersendiri bagi orang tua. Sekolah negeri, terutama yang fasilitasnya kurang memadai atau lokasinya tidak strategis, seringkali kalah bersaing. Selain itu, kebijakan zonasi juga bisa menjadi faktor, di mana sekolah yang berada di “zona sepi” akan kesulitan mendapatkan murid.
Prinsip inilah saya maknai sebagai “pendidikan adalah bisnis” dan “bisnis adalah pendidikan”. Faktanya demikian. Pergeseran pendidikan sebagai lembaga “nirlaba” menjadi “waralaba” dan “laba” menjadi riil adanya. Benar kan? Ya, kira-kira begitu. Dahlan Iskan (2012) juga pernah menyebut bahwa bisnis yang paling menjanjikan adalah bisnis pendidikan. Hehe
Kedua, kualitas dan fasilitas sekolah. Orang tua semakin selektif dalam memilih sekolah untuk anak-anak mereka. Sekolah yang terlihat kumuh, tidak terawat, minim fasilitas penunjang (perpustakaan, laboratorium komputer, area bermain), atau memiliki reputasi buruk dalam kualitas pengajaran, cenderung ditinggalkan.
Ketiga, perubahan preferensi orang tua. Beberapa orang tua kini mempertimbangkan opsi pendidikan selain SD formal, seperti homeschooling, kuttab, pesantren, atau pendidikan berbasis komunitas, meskipun jumlahnya masih relatif kecil. Ada pula preferensi untuk menyekolahkan anak ke jenjang yang lebih religius, seperti Madrasah Ibtidaiyah (MI), Sekolah Dasar Islam (SDI), MI/SD terintegrasi pesantren, yang mungkin dianggap lebih relevan dengan nilai-nilai keluarga tertentu dan dianggap paling berkarakter dan mendapatkan akhirat.
Keempat, perpindahan penduduk dan urbanisasi. Migrasi dari desa ke kota atau dari satu kota ke kota lain seringkali menyebabkan ketidakseimbangan demografi di daerah asal. Daerah-daerah pedesaan atau pinggiran kota yang ditinggalkan penduduknya otomatis akan kehilangan calon murid, sementara di perkotaan padat penduduk, jumlah murid mungkin tetap tinggi atau bahkan melebihi kapasitas. Namun, faktor ini bagi saya kurang begitu dominan dan menjadi utama.
Apa Dampaknya?
Fenomena kekurangan murid baru ini membawa dampak serius bagi ekosistem pendidikan di Indonesia. Pertama, ancaman merger atau penutupan sekolah. Bahaya, Bos. Jika jumlah murid terus menurun hingga di bawah ambang batas yang ditentukan, pemerintah daerah mungkin akan melakukan merger (penggabungan) atau bahkan menutup sekolah-sekolah tersebut. Meskipun tujuannya efisiensi, hal ini bisa menimbulkan gejolak di masyarakat, terutama bagi orang tua dan guru.
Kedua, dampak pada kesejahteraan guru. Ini juga riil. Istri saya sebagai Kepala SDN saja sering bercerita, banyak guru agama dan PJOK harus mengajar di beberapa SD karena untuk memenuhi jam pelajaran sebagai syarat terpenuhinya sertifikasi guru. Guru di sekolah yang kekurangan murid bisa menghadapi kekhawatiran akan penugasan ulang, pengurangan jam mengajar, atau bahkan kehilangan pekerjaan, terutama bagi guru honorer.
Ketiga, kualitas pembelajaran. Meskipun kelas kecil bisa berarti perhatian guru yang lebih intensif, kekurangan murid juga dapat mengurangi dinamika sosial di kelas. Aktivitas kelompok, pertukaran ide, dan keberagaman perspektif mungkin tidak semarak di kelas dengan jumlah siswa yang memadai. Kata teman, la murid kok mung 1, 2, mending bukak les-lesan (murid ketika hanya 1, 2, maka mending membuka les bimbel).
Keempat, infrastruktur mangkrak dan kacaunya pendanaan. Gedung sekolah yang dibangun dengan kapasitas besar namun hanya diisi oleh segelintir murid akan menjadi aset yang tidak termanfaatkan optimal, bahkan bisa terbengkalai. SD dengan jumlah murid yang sangat sedikit tetap memerlukan guru, tendik, dan biaya operasional, apalagi hanya mengandalkan dana BOS. Hal ini berarti anggaran pendidikan menjadi kurang efisien karena sumber daya yang ada tidak termanfaatkan secara optimal. Belum lagi dampak adanya Sekolah Rakyat lo, ya! Hehe
Apa Solusinya?
Menghadapi fenomena ini, diperlukan strategi yang komprehensif dan terkoordinasi dari berbagai pihak. Pertama, pemerintah daerah dalam hal ini Pemkab dan Pemkot perlu melakukan analisis data demografi lokal. Maksudnya, mereka perlu melakukan pemetaan yang akurat mengenai tren angka kelahiran dan perpindahan penduduk di wilayah masing-masing untuk memproyeksikan kebutuhan sekolah di masa depan. Angka Partisipasi Kasar.APK (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM) juga perlu dikaji menurut saya.
Kedua, perencanaan pembangunan sekolah yang matang. Pembangunan sekolah baru harus didasarkan pada analisis kebutuhan riil dan proyeksi demografi, bukan hanya asumsi. Ketiga, peningkatan kualitas dan fasilitas sekolah negeri bahkan juga swasta. Investasi pada peningkatan fasilitas, sarana prasarana, dan kualitas pengajaran di sekolah negeri adalah kunci untuk menarik kembali minat orang tua. Program-program inovatif dan guru-guru berkualitas menjadi daya tarik utama.
Keempat, optimalisasi penataan dan penggabungan sekolah. Proses merger atau penutupan sekolah harus dilakukan dengan perencanaan yang cermat, sosialisasi yang baik kepada masyarakat, dan jaminan penempatan guru dan siswa di sekolah baru. Kelima, pengembangan program bernas, kreatif, inovatif. Sekolah dapat menawarkan program ekstrakurikuler yang beragam, pendekatan pembelajaran yang kreatif, adanya daycare, atau bahkan program boarding sederhana untuk menarik murid dari daerah yang lebih jauh.
Keenam, memperkuat peran komunitas melalui Komite Sekolah, Dewan Pendidikan, kalau swasta berarti Yayasan/Badan Pelaksana, dan lainnya. Keterlibatan LP. Ma’arif NU, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Muhammadiyah, Jaringan Sekolah Islam Terpadu (JSIT), Jaringan Sekolah Alam Nusantara (JSAN), dan komunitas lain perlu juga untuk menghidupkan sekolah di bawahnya. Intinya, pelibatan masyarakat dan komite sekolah dalam pengembangan dan promosi sekolah dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan daya tarik. Ketujuh, perlunya mata kuliah dan pelatihan mahasiswa Prodi PGMI/PGSD tentang SPMB maupun PPDBM. Hal ini perlu disiapkan agar lulusan PGMI/PGSD memiliki keterampilan dalam mengelola proses penerimaan murid/peserta didik baru.
Fenomena SD kekurangan murid baru adalah tantangan yang harus dihadapi dengan serius. Hal ini bukan sekadar tentang angka di bangku sekolah, tetapi juga tentang masa depan pendidikan dan generasi penerus bangsa. Dengan pemahaman yang mendalam dan tindakan strategis, kita bisa memastikan bahwa setiap anak mendapatkan akses terhadap pendidikan berkualitas di lingkungan belajar yang optimal.
Mendapat murid banyak atau sedikit, bukan menjadi satu-satunya indikator SD itu berkualitas atau tidak. Tapi yang jelas, hal itu adalah bukti kepercayaan masyarakat dalam menitipkan anak-anak mereka belajar di SD tersebut.
Fenomena SD kekurangan murid baru sebenarnya bisa dikaji perspektif teori demografi, teori pilihan rasional (rational choice theory), teori modal sosial (social capital theory), maupun teori ekologi sosial. Tapi, saya pikir ini terlalu ndakik-ndakik. Nantikan saja tulisan saya berikutnya! Atau apakah ada perspektif lain?
-Hamidulloh Ibda, dosen Prodi PGMI, dan Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung.



