*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Pendahuluan
Keanekaragaman budaya di Indonesia yang meliputi berbagai etnis, suku, tradisi, adat istiadat, seni dan berbagai kearifan local menjadi kekayaan yang harus disyukuri, dikelola, dilestrarikan dan dikembangkan sebagai modal menegakkan marwah negara dan bangsa. Budaya merupakan aset dan kekayaan yang ternilai bagi bangsa Indonesia.
- Iklan -
Unsur-unsur budaya meliputi bahasa, tatanan sosial, mata pencarian, pengetahuan, kesenian, teknologi dan sistem religi. Semua unsur kebudayaan tersebut menjadi pedoman, pendorong, sumber nilai dan moral, bahkan kontrol atas segala sikap, tingkah laku dan tindakan warga masyarakat dalam mengatur berbagai pranata sosial (Nurudin, 2003:75).
Asal-Usul Masyarakat Samin, Perkembangan dan Persebarannya.
Keberadaan masyarakat Samin di dusun Jepang Desa Margomulyo Kabupaten Bojonegoro tak bisa dipisahkan dari sejarah perjalanan hidup dan perjuangan Samin Surosentika. Samin Surosentika hidup dari tahun 1859 sampai 1914 tercatat dalam sejarah memiliki sumbangsih yang cukup besar bagi bangsanya. Selama 17 tahun perjuangannya (1890-1907) tidak hanya menghimpun kekuatan yang besar, tetapi juga ajaran-ajaran filosofinya tersebar ke berbagai daerah lainnya seperti Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwoddi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain (Hutomo, 1996:38).
Samin Surosentika memiliki nama asli yaitu Raden Kohar, lahir pada tahun 1859 di desa Ploso, Kedirin sebelah utara Randublatung, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Nama Raden Kohar berganti menjadi Samin, nama yang mengandung napas kerakyatan, yang juga memiliki makna sami-sami amin. Setelah beliau menjadi guru kebatinan namanya berubah menjadi Samin Surosentika. Para siswa dan pengikutnya menyebut Ki (Kiai) Samin Surosentika (Hutomo, 1996: 13-14).
Semenjak kecil Samin Surosentika dijejali pandangan-pandangan figuratif wayang yang mengagungkan tapabrata, sikap adiluhung, gemar berprihatin, keselarasan, suka mengalah untuk meraih kemenangan akhir, dan mencintai keadilan. Realitas sosial yang dihadapinya adalah rakyat yang terjajah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Realitas itu menyebabkan timbulnya kesadaran untuk melakukan perlawanan terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan kolonial Belanda. Jenis perlawanan yang dipilih Samin Surosentika adalah “perlawanan pasif”. Pengikut-pengikutnya diberi ajaran menganai hak dan kewajibannya sebagai pribumi pemilik sah dan tuan rumah bumi Nusantara.
Saat berumur 31 tahun, di sekitar tahun 1890, Samin Surosentika mulai menyebarluaskan ajarannya. Para pengikutnya orang-orang satu desa. Dengan laku tapabrata, ia memperoleh wahyu kitab Kalimasada. Sejak itu, pengikutnya semakin bertambah dan tidak terbatas dari desanya sendiri, tetapi juga berasal dari desa-desa lain. Samin Surosentika diangkat sebagai raja oleh pendukungnya bergelar Suryangalam (cahaya alam semesta). Dia juga menunjuk Kamituwa Bapangan sebagai patih dan senapati dengan gelar Suryangalaga yang berarti ‘cahaya medan laga’ atau ‘pahlawan yang selalu jaya’ (Sudikan, 1989:56).
Pengikut Samin Surosentiko dari tahun ke tahun semakin banyak. Pada bulan Januari 1903 pengikut Samin (saminists) berjumlah 772 orang yang tersebar di desa-desa Blora selatan, Bojonegoro, Ngawi, dan Grobogan. Kemudian di tahun 1906 pengikut Samin menyebar di wilayah Rembang. Penyebaran ajaran Samin di wilayah Rembang ini dilakukan oleh menantu laki-laki Samin, yakni Surokidin dan Karsiyah (Benda & Castles, 1959:211).
Satu tahun berikutnya, di 1907 pengikut Samin berkembang menjadi sekitar 3.000 orang. Pada 1 Maret 1907, sejumlah orang Samin mempersiapkan hajatan slametan salah satu keluarga di Kedungtuban, Blora. Slametan kerabat tersebut dianggap dan dicurigai pemerintah kolonial Belanda sebagai mengadakan persiapan untuk makar atau melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, maka terjadilah penangkapan. Saat penangkapan tersebut Samin Surosentika tidak berada di tempat karena sedang berada di Rembang. Samin Surosentika kemudian ditangkap dan dinterogasi bersama delapan pengikutnya, dan diasingkan ke Sawahlunto, Sumatera. Beliau meninggal di pengasingan dalam status tahanan pada tahun 1914.
Sepeninggal Samin Surosentika di pengasingan, muncul tokoh-tokoh baru yang melanjutkan ajaran dan perjuangannya, di antaranya: Wongsorejo, Engkrek Surohidin, dan Karsiyah (Pangeran Sendhang Jamur). Wongsorejo pengikut Samin yang setia pada tahun 1908 menghasut masyarakat Jiwan, Madiun untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah colonial Belanda. Surohidin menantu Samin Surosentiko menyebarkan ajaran Samin di Grobogan, Purwodadi. Karsiyah (Pangeran Sendhang Jamur) pengikut Samin Surosentika menyebarkan ajaran Samin di Kajen, Pati (Hutomo, 1996:14-15; Munfangati, dkk. 2004: 28).
Sepeninggal Samin Surosentika, Saminisme terpecah menjadi empat varian, yakni: (1) Samin Lugu, (2) Samin Sangkak, (3) Samin Jombloito, dan (4) Samin Kasimpar (Sastroatmodjo, 2003: 20). Samin Lugu adalah orang-orang Samin yang bersikap sabar dan tidak pernah gentar sedikit pun, tidak pernah mendendam, dan tidak suka membalas dendam terhadap siapa yang menyakitinya meskipun itu lawan. Segala sesuatunya dihadapi dengan tenang, sabar. Keyakinan mereka adalah hokum karma, beci ketitik ala ketara (siapa yang berbuat baik/benar atau jelek/jahat, pasti akan berakibat yang selaras dengan perbuatannya. Samin Lugu adalah Samin “murni” penuh dengan tepa slira. Samin Lugu juga disebut Jomblo-Ito, artinya lahirnya bodoh dan tidak mengerti, tapi batin hatinya suci dan murni laksana emas.
Samin Sangkak adalah Samin pemberani. Apabila mendapat serangan lawannya, ia akan menangkis untuk melindungi diri. Menghadapi Samin Sangkak lebih sulit daripada Samin Lugu. Samin Sangkak tidak mengedepankan rasa tepa slira. Mereka mudah menaruh curipa pada orang yang belum mereka kenal, suka membantah dengan banyak alasan yang kurang masuk nalar dengan maksud untuk melawan atau menghindari lawan. Untuk menghadapi Samin Sangkak perlu mendapatkan kepercayaan mereka, sekali mereka percaya, kepercayaan itu jangan dilanggar. Apalagi memberikan janji, harus ditepati atau paling tidak disertai dengan bukti-bukti yang nyata. Baik orang Samin Lugu maupun Samin Sangkak mempunyai perasaan budi yang halus. Mereka tidak suka bohong (ngapusi) dan mengutamakan kejujuran.
Ajaran Filosofi Samin Surosentiko
Ajaran Samin Surosentika secara umum meliputi: (1) ajaran religiositas (kebatinan) Jawa, (2) ajaran filosofi atau pandangan hidup, (3) ajaran etika sosial atau nilai-nilai dalam bermasyarakat, (4) ajaran estetis (estetika) Jawa, (5) ajaran politik, dan (6) ajaran tentang kesemestaan (lingkungan hidup; ekologi; berkaitan dengan gejala alam, fisik, flora dan fauna).
Rosyid (2008: 170-173) menunjukkan ajaran Samin Surosentika yang berupa prinsip dasar beretika berupa pantangan-pantangan untuk tidak : (1) drengki, (2) srei, (3) panasten, (4) dawen, (5) kemeren , (6) nyiya marang sapada, (7) bejok reyot iku dulure, (8) waton meningsa tur gelem dindhaku sedulur; pantangan dasar dalam berinteraksi sosial meliputi (1) bedok, (2) colong, (3) pethil, (4) jumput, (5) nemu wae ora kena; ajaran dalam berprinsip diri yang meliputi (1) kudu weruh tek-e dhewe, (2) lugu, (3) mligi, dan (4) rukun; prinsip hidup yang terpilah dalam tiga hal yakni (1) prinsip dalam menyikapi hidup, (b) prinsip dasar pantangan hidup, dan (3) prinsip hidup dalam berinteraksi sosial (Rosyid, 2010: 63).
Ajaran-ajaran Samin Surosentika yang utama disampaikan secara sesorah (lisan; dari mulut ke telinga) pengikutnya, di rumah atau di tanah lapang, tetapi ada juga yang disampaikan secara tertulis. Ada kemungkinan sahabat, siswa dan pengikutnya menyalin ajaran-ajaran Ki Samin Surosentika. Pada tahun 1975, Hutomo (1996: 19-20) memperoleh salinan buku-buku (manuskrip) peninggalan Ki Samin Surosentika di Desa Tapelan, Kecamatan Ngraho, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Salinan manuskrip yang ditulis dengan aksara Jawa, berukuran folio tersebut diperoleh dari seorang Samin bernama Samsuri (yang pada saat itu berusia 70 tahun). Buku (manuskrip) tersebut dikenal dengan nama Serat Jamuskalimasada atau layang Jamuskalimasada. Para pengikut Ki Samin Surosentika percaya bahwa buku (manuskrip) tersebut berasal dari Prabu Puntadewa di negeri Ngamarta. Serat Jamuskalimasada tersebut terdiri atas lima buku (manuskrip), yakni: (1) Serat Punjer Kawitan, (2) Serat Pikukuh Kasajaten, (3) Serat Uri-Uri Pambudi, (4) Serat Jati Sawit, dan (5) Serat Lampahing Urip.
Dalam salah satu naskah manuskrip tersebut, yaitu Serat Punjer Kawitan berisi silsilah keluarga pokok atau utama, mengenai silsilah adipati-adipati di Jawa Timur dari garis raja-raja Jawa dan wali-wali terkenal di Pulau Jawa. Dalam manuskrip itu pula, terungkap riwayat Samin Surosentika yang waktu kecil bernama Raden Kohar, yang merupakan seorang pangeran dan bangswan yang menyamar di kalangan rakyat jelata di padesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan pemerintah kolonial Belanda melalui penyadaran hak dan kewajibannya sebagai rakyat.
Ajaran Etis Samin Surosentiko
Selain ajaran kebatinan dan filosofis, samin juga memiliki ajaran etis atau etika. Etika secara etimologis berasal dari bahasa Yunani yakni ekthos yang bermakna sifat, watak, kebiasaan, dan ethikos yang bermakna adab, susila, dan perbuatan baik (Bagus, 2000:217). Adapun secara terminologi etika didefinisikan sebagai ilmu tentang kebaikan dan keburukan. Etika identik dengan kata moral, berasal dari kata latin mos dan bentuk jamaknya mores yang memiliki arti cara hidup atau adat (Ruslan, 2001:31). Sedangkan KBBI merumuskan etika sebagai segala hal yang menyangkut baik dan buruk, terkait hak dan juga kewajiban moral atau ahlak (2008: 383).
Dalam filsafat, etika dianggap seperti hal yang berkaitan dengan kebiasaan manusia. Etika bisa dipilah dalam tiga kelompok yakni kajian tentang hal-hal yang bersifat baik dan kewajiban tentang moral, kumpulan dari sejumlah nilai yang dikembangkan dengan akhlak, dan tentang suatu nilai yang mengatur salah dan benar serta diikuti masyarakat Idi, 2015:87). Etika berisikan tentang penilaian dan prisip moral yang dijadikan sebagai pedoman berperilaku. Etika mencakup dua bentuk, yaitu etika individu dan etika sosial.
Etika dalam masyarakat Samin diajarkan dari generasi ke generasi. Ajaran etika masyarakat Samin misalnya (1) “Kudu weruh tek-e dhewe” (Harus memahami barang yang dimilikinya dan tidak memanfaatkan milik orang lai); (2) “Lugu” bila mengadakan transaksi atau perjanjian dengan pihak lin, jika sanggup menyatakan “ya”, jika tidak sanggup atau ragu mengatakan “tidak”, (3) “Mligi”,taat pada aturan berupa prinsip beretika dan berinteraksi; dan (4) “Rukun,” dengan isteri, anak, orang tuanya, tetangga, dan dengan siapa saja. Ajaran ini menumbuhkan rasa solidaritas terhadap siapa yang dijumpai (Rosyid, 2010: 66).
Prinsip rukun, harmoni/selaras, dan slamet menjadi landasan masyarakat dalam berinteraksi sosial, bermasyarakat, dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Kerukunan yang terjadi pada masyarakat Samin karena semua unsure prinsip tersebut dengan hubungan simetris antara diri dan lingkungannya, yakni: (1) “Ora seneng digunggung,” (Tidak suka dipuji), (2) “Ora serik diala,” (tidak sakit hati apabila disalahkan orang); (3) “Wong urip iku kudu bener (orang hidup harus berperilaku lurus), (4) “Rukun marang sapada-pada kanthi laku sing ati-ati” (rukun kepada sesama dengan perilaku dan sikap berhati-hati); (5) “Eling”,(sadar); (6) “Waspada,” (waspada); (7) “Sabar”, (8) “Semeleh”(berserah diri kepada Yang MahaKuasa); dan (9) “Seneng ati,” (gembira, senang hati) (Rosyid, 2010: 67).
Saat berinteraksi sosial, orang Samin juga memiliki etika berbentuk pantangan-pantangan sosial. Pantangan-pantangan sosial itu yakni (1) aja drengki (jangan memfitnah), (2) Aja srei (jangan serakah), (3) Aja panesten (jangan mudah tersinggung atau membenci sesame), (4) Aja dahwen (menuduh tanpa bukti), (5) Aja kemeren (jangan iri hati atau keinginan memiliki barang liyan dengan jalan yang tidak benar, dan (6) Aja nyiya marang sapadha (jangan berbuat nista atau memandang rendah terhadap sesama).
Prinsip-prinsip beretika orang Samin tersebut secara lengkap di sebut 20 Angger-angger Pratikel (20 pantangan berperilaku), yakni : (1) drengki (dengki), (2) srei/kemeren (iri hati), (3) panasten (gampang marah, mudah tersinggung atau membenci sesame), (4) colong (mencuri), (5) pethil, (6) jumput (mengambil sedikit tanpa izin), (7) nemu (menemukan benda milik orang lain), (8) dagang (berdagang), (9) kulak (kulakan), (10) blantik (calo atau makelar), (11) mbakul (berjualan), (12) nganakna duit (menbungakan uang atau rentenir), (13) mbujuk (berbohong), (14) apus (bersiasat), (15) akal (trik), (16) krenah (nasihat buruk), (17) ngrampungi pernah (tidak berbalas budi), (18) dahwen (mendakwa tanpa bukti), (19) nyia-nyia marang sapadha (berbuat nista sesame penghuni alam, dan (20) bedog (menuduh).
Semua ajaran nilai-nilai etika orang Samin tersebut di atas berpegang teguh pada prinsip ikhlas, nrima, dan tidak ingin merugikan orang lain.
Penutup
Kearifan ocal sangat efektif dalam membangun karakter-karakter mulia. Budaya ocal dapat menjadi system pengendalian diri dalam mengontrol perilaku sehingga dapat mencegah berbagai krisis nilai. Budaya local dan kearifannya sebenarnya sudah melekat pada nilai-nilai dalam masyarakat tradisional dan menginternal dalam diri individu–individu masyarakat tradisional. Untuk itu upaya merevitalisasi, mereposisi, mengaktualisasi, dan mereaktualisasi berbagai bentuk budaya local dan kearifannya yang terdapat dalam berbagai etnik seperti Suku Samin, Suku Osing, Suku Tengger, dan suku-suku lain di Indonesia perlu dilakukan tidak hanya sebagai bentuk pelestarian saja, tetapi juga dapat dijadikan sebagai sarana membangun masyarakat Indonesia yang berkarakter.
*) Penulis adalah sastrawan, guru dan pemerhati budaya yang tinggal di Ngawi



