Oleh Hamidulloh Ibda
Saya itu kadang geli. Geli kenapa? Ya, geli ketika melihat, membaca, bahkan mengedit teks. Ketika melihat bokong truk yang ejaannya salah saya geli. Begitu juga saat membaca artikel, opini, atau berita yang ejaannya ngawur atau ketika mengedit teks berita atau artikel di Maarifnujateng.or.id.
Mbok ya sinau, dicek, atau minimal diketik di Google gitu lo. Misal, ada kawan dosen melakukan seminar hasil riset, dengan dicetak besar tertulis “Desiminasi Hasil Game ……..”. Ini bikin ngakak, tapi juga saya merasa malu. Meski bukan berlatar belakang bahasa, tapi setidaknya mbok dicek. Maska ya “desiminasi”, yang benar kan “diseminasi” bukan “desiminasi”. Dicetak guede banget padahal lo.
Maksud saya, diseminas itu dalam Bahasa Inggris dari kata dissemination. Dalam KBBI V (2025), diseminasi berarti “penyemaian benih, bibit, dan sebagainya” dan “penyebarluasan ide, gagasan, dan sebagainya”. Dalam konteks ini, diseminasi hasil riset dosen ya berarti penyebarluasan ide, gagasan, tentang hasil riset dosen berbasis ilmiah yang bisa dimanfaatkan dan berdampak pada kehidupan yang luas.
- Iklan -
Ini baru soal diseminasi. Sebenarnya, masih banyak kasus lain yang membuat geli jika saya ceritakan. Memang benar, di tengah derasnya arus informasi digital dan maraknya budaya tulis instan di media sosial, salah ketik (typo), kekeliruan ejaan, hingga pelanggaran kaidah bahasa seolah menjadi hal lumrah. Mulai dari meme, flyer, berita, hingga dokumen ilmiah seperti artikel, makalah, skripsi, tesis, bahkan disertasi, masih sering kita jumpai kesalahan dalam penulisan yang mencolok. Ironisnya, sebagian dari kita tampak belum beriman dan bertakwa pada Ejaan Bahasa Indonesia (EYD) versi V yang dikelola secara resmi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui situs https://ejaan.kemdikbud.go.id dan https://kbbi.kemdikbud.go.id.
Masalah ejaan bukan sekadar teknis tata tulis. Ejaan adalah cerminan sikap literasi. Ketika seseorang abai terhadap ejaan, sesungguhnya ia sedang mengabaikan ketertiban berbahasa, logika berpikir, dan bahkan nilai-nilai komunikasi yang baik dan benar. Ejaan tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian integral dari kompetensi kebahasaan seseorang. Dalam konteks akademik, misalnya, kesalahan ejaan dapat menurunkan kualitas ilmiah suatu tulisan dan memengaruhi kredibilitas penulisnya.
Beberapa Kesalahan Ejaan
Selain kata “desiminasi” di atas, sebenarnya banyak kata yang sering saya jumpai sering salah ejaannya. Dalam kehidupan sehari-hari, masih banyak dijumpai penulisan kata-kata dalam bahasa Indonesia yang keliru, baik di media sosial, dokumen resmi, maupun karya ilmiah. Kesalahan ini sering kali terjadi karena pengaruh pengucapan, serapan bahasa asing, atau kebiasaan lama yang belum diperbarui sesuai dengan pedoman terbaru. Misalnya, “sekedar” harusnya “sekadar”, “silahkan” harusnya “silakan”. Apa lagi? Masih uakeh buanget. Kata “ijasah” sering ditulis demikian, padahal bentuk yang benar adalah “ijazah”. Demikian pula dengan “analisa”, yang sebenarnya adalah bentuk tidak baku dari “analisis”.
Kesalahan lain yang lazim ditemukan antara lain penggunaan “resiko” alih-alih “risiko”, “aktifitas” yang seharusnya “aktivitas”, serta “kwalitas” yang benar ditulis sebagai “kualitas”. Dalam ranah keagamaan maupun sosial, kata “nasehat” sering muncul, padahal menurut ejaan yang benar adalah “nasihat”. Begitu juga dengan penulisan “apotik”, yang sebenarnya adalah “apotek”.
Contoh lainnya, kata “cengkeh” yang secara ejaan lebih tepat ditulis sebagai “cengkih”. Kata “hutang” pun sering muncul dalam penulisan informal, meskipun bentuk baku yang diakui adalah “utang”. Bahkan kata “azas”, yang masih sering digunakan dalam konteks hukum atau filsafat, sebenarnya harus ditulis “asas”.
Beberapa kata-kata yang salah di atas hanyalah sebagian kecil dari kekeliruan ejaan yang sering terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman terhadap ejaan yang benar masih perlu ditingkatkan. Belajar ejaan bukan hanya soal teknis, tetapi juga soal kepatuhan terhadap sistem bahasa dan bentuk tanggung jawab dalam berkomunikasi secara tertulis. Lainnya apa? Goleki dewe!
Ejaan: Sistem dan Kesepakatan
Ejaan merupakan sistem lambang bunyi bahasa dalam bentuk tulisan yang berfungsi untuk menuntun penulis dalam menyampaikan pesan secara jelas dan tepat. Dalam teori linguistik, ejaan adalah bagian dari aspek ortografi, yaitu cara penulisan yang mencakup huruf, tanda baca, pemisahan dan penyambungan kata, serta penulisan unsur serapan. Ejaan disusun berdasarkan kesepakatan nasional dan diperbarui sesuai perkembangan bahasa dan kebutuhan komunikasi (Hula, 2020).
Ejaan adalah seperangkat aturan yang mengatur cara penulisan kata dalam suatu bahasa, mencakup penggunaan huruf, tanda baca, kapitalisasi, dan pemisahan kata. Namun, lebih dari sekadar kaidah teknis, ejaan merupakan kesepakatan sosial yang menjadi fondasi komunikasi tertulis yang jelas dan mudah dipahami. Tanpa ejaan yang disepakati bersama, tulisan akan menjadi semrawut dan sulit dimengerti.
Setiap bahasa memiliki sistem ejaan yang unik. Ada yang bersifat fonologis, seperti dalam bahasa Spanyol dan Italia, yang penulisannya mencerminkan pelafalan. Ada pula yang morfologis, seperti dalam bahasa Inggris, yang mempertahankan bentuk kata dasar meski pengucapannya berubah. Bahkan ada sistem ejaan yang historis atau tradisional, yang tetap mempertahankan bentuk kuno meskipun pelafalannya telah berubah. Bahasa Indonesia sendiri lebih cenderung fonologis, terutama setelah diberlakukannya Ejaan yang Disempurnakan (EYD), berganti Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) dan kini berganti menjadi EYD lagi, meskipun masih menyisakan beberapa pengecualian.
Di Indonesia, kesepakatan tentang ejaan diatur oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Lembaga ini tidak hanya menyusun kaidah ejaan, tetapi juga menyosialisasikan dan memperbaruinya sesuai perkembangan zaman. Melalui situs resmi seperti ejaan.kemdikbud.go.id, masyarakat dapat mengakses pedoman terbaru agar penulisan tetap sesuai standar.
Sayangnya, dalam praktik sehari-hari, kesalahan ejaan masih sering terjadi di berbagai media, baik dalam dokumen ilmiah seperti makalah, skripsi, dan tesis, maupun di media sosial, meme, flyer, dan berita daring. Banyak dari kita tampaknya belum “beriman dan bertakwa” secara konsisten pada aturan ejaan yang telah disepakati.
Belajar ejaan bukan sekadar kemampuan teknis, melainkan wujud literasi bahasa yang menunjukkan ketelitian, kepedulian, dan penghormatan terhadap komunikasi yang efektif. Ketika kita menulis dengan ejaan yang benar, kita tidak hanya menyampaikan pesan dengan jelas, tetapi juga menjaga kualitas, kredibilitas, dan martabat bahasa kita sendiri. Maka, menjadi melek ejaan adalah langkah penting menuju masyarakat yang literat, kritis, dan beradab secara bahasa.
EYD V atau Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan versi kelima telah mengakomodasi dinamika kebahasaan kontemporer, termasuk penulisan unsur asing, pemakaian huruf kapital, dan penggunaan tanda baca yang lebih sistematis. Namun, sejauh mana masyarakat mengenal dan mengaplikasikannya?
Dampak Kesalahan Ejaan
Seringkali kita menyepelekan kekeliruan dalam ejaan dengan alasan “yang penting maksudnya bisa dimengerti.” Padahal, dalam ranah akademik dan profesional, satu kesalahan bisa menimbulkan kesalahpahaman, bahkan berdampak pada penilaian kualitas suatu karya. Seorang mahasiswa yang menulis “disetasi” alih-alih “disertasi”, atau menulis “kosep” untuk “konsep”, bukan hanya keliru secara ejaan, tetapi juga menunjukkan kurangnya ketelitian dan tanggung jawab dalam menyusun karya ilmiah.
Di ranah media sosial, kekeliruan ejaan pada meme atau flyer dapat memperlemah pesan, mengundang ejekan, dan membuat informasi yang seharusnya serius menjadi bahan candaan. Kesalahan seperti ini berpotensi mengaburkan makna, memicu hoaks, dan menurunkan tingkat literasi masyarakat.
Belajar ejaan bukan sekadar tugas pelajar atau penulis profesional. Hal ini adalah bagian dari upaya meningkatkan kualitas literasi bangsa. Melek ejaan berarti melek terhadap struktur bahasa, peka terhadap makna, dan sadar akan tanggung jawab dalam berkomunikasi. Kecakapan ejaan adalah fondasi literasi kritis yakni kemampuan membaca dan menulis secara sadar, logis, dan bertanggung jawab.
Untuk itu, penting bagi setiap warga negara, khususnya pendidik, pelajar, penulis, dan jurnalis, untuk menjadikan EYD V sebagai rujukan utama dalam menulis. Situs ejaan.kemdikbud.go.id telah menyediakan fitur pengecekan ejaan secara daring, yang bisa diakses kapan saja. Keterampilan ini tidak hanya membantu dalam menghindari kesalahan, tetapi juga memperkuat etos literasi yang presisi dan terstandar.
Bahasa adalah jati diri bangsa, dan ejaan adalah pintu gerbang menuju pemahaman bahasa yang tertib dan bermartabat. Ketika kita belajar dan menghargai ejaan, kita sedang menegakkan martabat bahasa Indonesia itu sendiri. Maka, marilah kita tidak sekadar membaca dan menulis, tetapi juga beriman dan bertakwa pada EYD V, sebagai wujud cinta pada bahasa Indonesia yang baik, benar, dan indah.
Apa Solusinya?
Saya menyebut, inti dari solusinya adalah gelem sinau dan rajin mengecek. Namun, untuk mengatasi kesalahan ejaan yang masih marak terjadi di berbagai media, diperlukan solusi konkret yang dapat diterapkan secara luas dan berkelanjutan. Saya menawarkan sembilan solusi yang dapat membantu meningkatkan kepatuhan terhadap ejaan bahasa Indonesia yang benar, baik, dan indah.
Pertama, penguatan pendidikan bahasa sejak dini. Pengenalan ejaan yang benar harus dimulai sejak jenjang pendidikan dasar. Guru perlu menekankan pentingnya kaidah ejaan dalam kegiatan membaca dan menulis sehari-hari. Pembelajaran bahasa tidak hanya fokus pada isi, tetapi juga pada bentuk dan struktur bahasa yang benar. Salah ejaan memang tidak sebesar dosa koruptor, namun akan menjadikan terbiasa dan mbededek jika diteruskan.
Kedua, pelatihan untuk guru dan dose. Para pendidik perlu dibekali pemahaman mutakhir mengenai EYD V melalui pelatihan rutin. Dengan begitu, mereka dapat menjadi contoh dan rujukan yang terpercaya bagi siswa dan mahasiswa dalam penggunaan ejaan yang tepat.
Ketiga, sosialisasi EYD V secara masif. Badan Bahasa dan institusi pendidikan perlu menggencarkan sosialisasi EYD versi terbaru (EYD V), baik melalui seminar, media sosial, kampanye daring, maupun penyediaan materi pembelajaran yang mudah diakses oleh masyarakat luas.Keempat, pemanfaatan teknologi pemeriksa ejaan. Masyarakat perlu didorong untuk menggunakan alat bantu seperti situs https://ejaan.kemdikbud.go.id dan https://kbbi.kemdikbud.go.id, atau aplikasi pemeriksa ejaan yang terintegrasi dalam perangkat lunak penulisan. Ini akan membantu mengurangi kesalahan secara langsung saat mengetik.
Kelima, kampanye melek bahasa di media sosial termasuk di bokong truk. Hehehe. Media sosial sebagai ruang publik yang besar bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan kesadaran bahasa. Kampanye ringan seperti “#TahuEjaan” atau “#BakuItuBaik” bisa menarik minat generasi muda untuk lebih peduli terhadap penulisan yang benar.
Keenam, penguatan peran editor dan redaktur. Di dunia penerbitan dan jurnalistik, peran editor sangat penting dalam memastikan kebenaran ejaan. Setiap lembaga seharusnya memiliki standar editorial yang mengacu pada EYD V, serta melakukan pelatihan penyunting secara berkala.
Ketujuh, penyuntingan dan koreksi mandiri. Setiap penulis, baik pelajar maupun profesional, perlu membiasakan diri untuk melakukan penyuntingan atau revisi terhadap tulisannya. Membaca ulang sebelum mengirim atau mempublikasikan naskah dapat mencegah kekeliruan ejaan yang memalukan. Gunakan AI juga bisa, saya sendiri membolehkannya kok. Silakan! Asal sesuai aturan dan pedoman yang bisa dipertanggungjawabkan.
Kedelapan, penyediaan kamus dan pedoman yang mudah diakses. Pemerintah dan penerbit perlu memastikan ketersediaan kamus, pedoman ejaan, dan buku bahasa Indonesia dalam versi cetak maupun digital yang dapat diakses gratis dan digunakan oleh siapa saja.
Kesembilan, pemberian apresiasi terhadap penulisan yang baku. Ini jarang, tapi nek ada uapik tenan. Lembaga pendidikan atau media dapat memberikan penghargaan atau pengakuan bagi karya tulis yang konsisten menggunakan ejaan yang benar. Ini akan menumbuhkan semangat dan kebanggaan dalam berbahasa yang baik dan benar.
Dengan menerapkan berbagai solusi ini secara terpadu, diharapkan kesadaran berbahasa masyarakat Indonesia semakin meningkat. Ejaan bukan hanya masalah teknis, tetapi juga cerminan sikap literasi dan tanggung jawab dalam menjaga mutu komunikasi tulis. Lalu, bagaimana menurut Anda?
-Dr. Hamidulloh Ibda, M.Pd., penulis adalah dosen Institut Islam Nahdlatul Ulama Temanggung, editor buku, reviewer pada 32 Jurnal Internasional terindeks Scopus.