BAHASA KORAN
Tubuh ini menjadi kata-kata
Dalam tiap lembarnya
Merintih dan terpenjara
Siapa yang mampu membaca luka?
Kaliankah? Tidak!
Tubuh ini hanyalah intermezzo di stang kemudi alphard kalian
Terkadang menyumpal di selipan jok mobil bagian belakang
Terkadang lusuh, berminyak bekas bungkus gorengan
Tubuh ini ingin bercerita–dan didengar
Di setiap lembar-demi lembar
Tanpa harus berkoar-koar di jalanan
Menelan kegelisahan demi kegelisahan
Kami hanya meneriakkannya dalam bahasa koran
Tentang kemiskinan, kejahatan, kematian, kesewenang-wenangan, pemerkosaan, penindasan
Semua tentang kalian!
2025
- Iklan -
DOA YANG SANGAT PENTING
Hati ini telah runtuh
Tulang-tulang ini telah hancur luluh
Ludah hanya bisa kami telan dengan kekosongan
Tak ada lagi air mata di sudut mata ini
Kering kerontang dihisap hidup yang jauh dari ekspektasi
Reformasi hanya meninggalkan bekas-bekas kenangan di lampu-lampu remang
Semua masih sama–gelap!
Namun keyakinan ini masih dijaga Tuhan dengan cahaya bulan dan matahari
Dengan kesakralan mimpi
Hidup belum selesai
Dan kereta keberangkatan masih menunggu setiap hari
Betapa kami terdidik menjadi seorang pejuang
Meski punggung kami berulang kali tertikam
Selamat malam Tu(h)an, kami selalu berdoa, agar tak ada amarah tersulut menjadi pijar api–revolusi
Karena dada ini teramat rapuh melihat tangis anak-anak kami
Hari ini ataupun esok nanti
2025
TINGGAL AKU
Aku ambil album foto di salah satu rak di ruang tamu
Foto-foto bisu mengkilas balik waktu
Meraba jalan yang telah lekat terukir
Namun lamunan memudar di lembar terakhir
Ketika sebuah kehilangan berbisik pelan
Oh Tuhan jangan aku
Kau tinggalkan!
Semua telah pergi
Satu per satu
Tinggal
Aku
2025
KITA
Kita racun yang selalu disucikan Tuhan
dengan firman kematian
Selalu berganti topeng
dari bopeng-bopeng kehidupan
Ingin berada pada shaf depan
Ketika jumpa Tuhan
Namun sayap-sayap patah
sebelum terbang ke sidratul muntaha
Menjadi ular yang melata
Mencoba mengurapi diri dengan doa
2025
PHK
Mulut ini bersuara karena kegelisahan. Tercekik duri-duri yang Tuan lempar ke jalanan. Jalan ini masih samar di mata kami. Ketika tangis anak kecil seakan menjadi yatim, merengek ditikam segala yang tak sampai. Kedua orang tuanya sibuk bertikai. Hanya tinggal seorang nenek yang mendekap dia dengan kecemasan. Ketika televisi mengabarkan gas elpiji tiba-tiba hilang dari peredaran. Dan sebuah pabrik yang diguncang badai PHK besar-besaran sebelum lebaran. Sedangkan bendera merah putih masih setia berkibar di antara suara bising kemelaratan.
Lihatlah Tu(h)an, jidat ini memahat beberapa garis marka jalan. Terlalu berat sesuatu yang perlu kami pikirkan. Berjalan sebelah kiri, lurus atau belok kanan. Malam menjadi semakin gigil, mendekap tubuh kami dengan keringat yang deras mengalir. Kecemasan demi kecemasan membisikkan kegamangan hingga menuju ke hilir. Kami tak ingin bergelut dengan dosa, mengobarkan mata teduh semerah api yang nyala. Bukankah lewat tangan Tu(h)an pisau bisa bermata dua. Namun Tuan selalu menikam kami dengan perih, sampai anak yang belum sempat kami lahirkan ikut nestapa. Sedangkan Tuhan selalu menunggu kami dengan doa yang berlambarkan air mata. Betapa kesabaran ini kami lapangkan seluas dan sedalam samudera. Barangkali yang kami dapat hanyalah ladang pahala. Karena kami tahu kesejahteraan di bibir Tuan hanyalah pemanis kata-kata. Di antara gempuran kabar PHK!
2025
Ngadi Nugroho,Lahir di Semarang, 28 Juni, Beberapa karyanya masuk dalam buku antologi bersama, koran lokal/nasional/manca, jurnal, majalah.