Oleh Dian Marta Wijayanti
Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) RI secara resmi mengubah mekanisme Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) menjadi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) mulai tahun 2025. Perubahan ini diklaim sebagai upaya untuk memperbaiki sistem penerimaan siswa agar lebih adil dan merata. Namun, perubahan ini menimbulkan pertanyaan kritis: apakah SPMB benar-benar membawa perubahan substansial, atau hanya sekadar penggantian nama tanpa perubahan mendasar?
Kemendikdasmen ingin memastikan bahwa setiap anak mendapatkan kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan berkualitas, tanpa ada diskriminasi berbasis wilayah atau ekonomi. Perubahan ini diklaim sebagai bagian dari reformasi sistem pendidikan guna meningkatkan transparansi dan pemerataan akses pendidikan. Namun, apakah perubahan ini benar-benar sebuah terobosan, atau sekadar pergantian istilah tanpa esensi?
Kemendikdasmen menyatakan bahwa perubahan dari PPDB ke SPMB bertujuan untuk menyempurnakan sistem penerimaan peserta didik yang selama ini dinilai masih memiliki banyak celah. Sejumlah permasalahan dalam PPDB, seperti ketimpangan akses akibat sistem zonasi, praktik jual beli kursi, serta kurangnya pemerataan kualitas pendidikan, menjadi alasan utama kebijakan ini.
- Iklan -
Apa yang Berbeda?
Beberapa aspek yang membedakan SPMB dengan PPDB. Pertama, jalur penerimaan murid baru itu ada empat, yaitu jalur domisili, jalur afirmasi, jalur mutasi, dan jalur prestasi. Kedua, perubahan skema zonasi. Jika pada PPDB sistem zonasi membatasi akses sekolah berdasarkan jarak rumah siswa, dalam SPMB pendekatan zonasi diklaim lebih fleksibel dengan mempertimbangkan aspek lain seperti prestasi akademik dan kondisi sosial-ekonomi. Ketiga, peningkatan penggunaan teknologi. SPMB akan mengadopsi sistem digital yang lebih terintegrasi guna meminimalisir kecurangan dan meningkatkan transparansi.
Keempat, porsi seleksi berbasis prestasi diperbesar. Dalam PPDB, kuota prestasi hanya sebagian kecil dibandingkan jalur zonasi. SPMB berusaha menyeimbangkan antara pemerataan akses dan apresiasi terhadap siswa berprestasi. Pemerintah merencanakan pula regulasi lebih ketat terkait manipulasi data, calo pendidikan, dan pelanggaran lainnya dalam proses penerimaan siswa baru.
Kritik dan Masukan
Meskipun perubahan ini tampak menjanjikan, banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya. Beberapa kritik dan masukan yang muncul perlu disampaikan dalam tulisan ini. Pertama, apakah perubahan ini hanya sebatas nama? Jika perubahan kebijakan tidak dibarengi dengan perbaikan sistem yang signifikan, maka SPMB hanya akan menjadi label baru dari PPDB dengan permasalahan yang sama.
Kedua, bagaimana implementasi di daerah terpencil? Sistem digitalisasi yang diusung SPMB bisa menjadi tantangan bagi daerah yang masih memiliki keterbatasan infrastruktur teknologi. Ketiga, apakah pemerataan kualitas pendidikan sudah tercapai? Salah satu akar masalah dari ketimpangan pendidikan adalah perbedaan kualitas antar sekolah. Tanpa adanya peningkatan mutu pendidikan secara menyeluruh, perubahan sistem penerimaan siswa baru tidak akan berdampak besar.
Keempat, bagaimana definisi “domisili” akan diterapkan? Apakah ini akan benar-benar mengatasi masalah ketidakadilan zonasi, atau justru menciptakan masalah baru? Kelima, bagaimana kriteria prestasi akan dinilai? Apakah ini akan rentan terhadap manipulasi atau ketidakadilan? Keenam, apakah infrastruktur dan sumber daya manusia di sekolah-sekolah sudah siap untuk menerapkan sistem baru ini? Misalnya, di beberapa SD di Kota Semarang saya amati juga belum siap seratus persen. Ketujuh, Bagaimana transparansi dan pengawasan akan dijamin dalam setiap tahap proses SPMB?
Perubahan sistem penerimaan siswa adalah langkah penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, perubahan ini harus diikuti dengan implementasi yang cermat dan pengawasan yang ketat. Masyarakat perlu mengawal proses SPMB ini agar benar-benar membawa perubahan positif dan bukan sekadar penggantian nama. Pemerintah juga harus terbuka terhadap kritik dan masukan dari berbagai pihak untuk memastikan sistem ini berjalan dengan adil dan transparan.
Kritik dan masukan dalam bentuk pertanyaan maupun pernyataan di atas harus dijawab dan dicari solusinya. Perubahan PPDB menjadi SPMB jangan sampai menjadi langkah yang ambisius, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi di lapangan. Jika hanya sebatas pergantian istilah tanpa perubahan mendasar dalam sistem pendidikan, maka kebijakan ini hanya akan menjadi reformasi semu. Pemerintah perlu memastikan bahwa prinsip transparansi, keadilan, dan peningkatan kualitas pendidikan benar-benar menjadi inti dari kebijakan ini, bukan sekadar slogan politik.
Masyarakat pun perlu berperan aktif dalam mengawasi pelaksanaan SPMB agar perubahan ini tidak sekadar menjadi kosmetik kebijakan yang tidak menyentuh akar permasalahan pendidikan di Indonesia.
Jika diterapkan dengan serius, sebenarnya SPMB memiliki potensi untuk memperbaiki sistem penerimaan siswa, tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada implementasi yang tepat dan pengawasan yang efektif. Kita berharap perubahan ini bukan hanya sekadar ganti nama, tetapi benar-benar membawa perubahan substansial bagi pendidikan Indonesia.
-Penulis adalah Kepala SDN Gajahmungkur 03 Kota Semarang, Juara I Kepala Sekolah Berprestasi Kota Semarang (2023), Penulis dan Sastrawan Terpilih Lembaga Pendidikan Ma’arif NU PWNU Jawa Tengah (2023), Juara II Kepala Sekolah Inovatif dan Berdedikasi PGRI Kota Semarang (2024). Saat ini menempuh studi S3 Manajemen Kependidikan Pascasarjana UNNES.