Oleh Hamidulloh Ibda
Saat mengunduh beberapa video untuk stok di kendaraan, ada satu video yang menarik. Meski anak-anak saya kurang suka, namun selalu saya putar di mobil saat berkendara. Video itu adalah Macapat Pangkur yang di dalamnya terdapat istilah “gonyak-ganyuk nglelingsemi”. Saya membaca beberapa artikel. Lalu saya membuat status di WhatsApp bocah kok gonyak-ganyuk nglelingsemi. Lantaran banyak yang japri tanya “maksude apa, Mas?” akhirnya saya buatlah tulisan ini.
Di dalam Serat Wedhatama karya sastra yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV pada abad ke-19, Macapat Pangkur menarik dikaji karena terdapat istilah gonyak-ganyuk nglelingsemi (Almarie, 2018). Serat Wedhatama seharusnya menjadi alat untuk pembangunan karakter generasi muda (Retnowati, 2023), bukan sebaliknya. Dalam budaya Jawa, “Gonyak-ganyuk nglelingsemi” secara harfiah berarti bertingkah tidak pantas sehingga membuat suasana menjadi tidak nyaman atau bahkan memalukan. Ungkapan ini mengingatkan kita semua, baik pelajar, mahasiswa, guru maupun dosen agar selalu menjaga sikap, tutur kata, dan perilaku, terutama dalam lingkungan pendidikan dan dalam forum-forum resmi.
Makna Filosofis Gonyak-Ganyuk Nglelingsemi
- Iklan -
Secara harfiah, “gonyak-ganyuk” dapat diartikan sebagai tingkah laku yang kurang tertib, cenderung ceroboh, atau bahkan kekanak-kanakan. Sementara itu, “nglelingsemi” memiliki arti memalukan atau membuat malu. Jika digabungkan, ungkapan ini mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga sopan santun dan etika dalam setiap pertemuan atau forum resmi, agar tidak melakukan tindakan yang dapat mempermalukan diri sendiri maupun lembaga yang kita wakili.
Ungkapan ini memiliki relevansi yang mendalam bagi dunia pendidikan, baik bagi pelajar maupun guru. Pertemuan di lingkungan sekolah atau madrasah, seperti rapat, seminar, lokakarya, atau bahkan kegiatan belajar mengajar di kelas, adalah ruang di mana citra diri dan citra lembaga dipertaruhkan. Ungkapan ini tidak sekadar menyentil tentang sopan santun biasa. Ia membawa pesan mendalam tentang pentingnya kesadaran diri, pengendalian emosi, serta etika dalam berbicara dan bertindak. Dalam pertemuan, baik rapat, kegiatan pembelajaran, diskusi, maupun acara resmi, sikap gonyak-ganyuk (sembrono, tidak tahu tempat) akan membuat orang lain merasa tidak nyaman dan menurunkan martabat pelaku itu sendiri.
Ungkapan “Gonyak-ganyuk nglelingsemi” berasal dari kearifan lokal masyarakat Jawa, yang secara harfiah menggambarkan perilaku seseorang yang bersikap tidak pada tempatnya, sembrono, asal bicara atau bertindak, sehingga membuat suasana menjadi tidak nyaman, malu, bahkan mencoreng kehormatan diri sendiri dan orang lain.
Secara filosofis, ungkapan ini mengandung nilai-nilai mendalam tentang pentingnya kesadaran diri, keluhuran budi pekerti, dan kepatutan sosial. Dalam pandangan Jawa, manusia hidup tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga harus menjaga harmoni dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, setiap tindakan harus dilandasi dengan rasa hormat, sopan santun, dan tahu waktu serta tempat.
Pesan untuk Pelajar dan Guru
Di era sekarang, banyak pelajar yang tanpa sadar menunjukkan perilaku kurang sopan, seperti berbicara saat guru atau orang lain sedang menyampaikan pendapat, bercanda berlebihan atau tertawa terbahak-bahak di forum resmi, bermain HP saat pertemuan berlangsung, bahkan menggunakan bahasa kasar atau tidak pantas di depan umum.
Perilaku-perilaku ini bisa jadi dianggap biasa oleh sebagian, tapi sebenarnya melanggar nilai kesopanan dan bisa menyakiti perasaan orang lain. Sebaliknya, pelajar yang santun akan menjadi pribadi yang disegani, dipercaya, dan lebih mudah diterima dalam lingkungan sosial maupun profesional.
Sebagai bagian dari komunitas pendidikan, pelajar memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik diri sendiri dan sekolah/madrasah. Sikap dan perilaku yang gonyak-ganyuk dalam pertemuan dapat merusak citra tersebut. Selain contoh di atas, sebenarnya banyak contoh tindakan yang perlu dihindari. Pertama, berbicara tanpa izin dan tidak sopan. Menginterupsi pembicaraan orang lain dengan nada tinggi atau menggunakan bahasa yang tidak pantas menunjukkan kurangnya rasa hormat.
Kedua, bersikap tidak fokus dan mengganggu. Bermain gadget atau HP, mengobrol sendiri, atau melakukan tindakan lain yang mengganggu jalannya pertemuan mencerminkan ketidakseriusan dan kurangnya etika. Ketiga, berpakaian tidak sesuai. Mengenakan pakaian yang tidak rapi atau tidak sesuai dengan ketentuan acara dapat dianggap sebagai bentuk ketidakpedulian dan kurang menghargai forum.
Keempat, bertanya atau memberikan komentar yang tidak relevan, orak pas dan orak pantes. Mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan yang tidak berhubungan dengan topik pembahasan dapat mengesankan kurangnya pemahaman atau bahkan niat untuk mengacaukan pertemuan. Kelima, bersikap acuh tak acuh atau meremehkan. Menunjukkan ekspresi wajah yang tidak sopan, bersikap malas-malasan, atau meremehkan pendapat orang lain adalah perilaku yang sangat tidak terpuji.
Dengan menghindari perilaku “gonyak-ganyuk”, pelajar tidak hanya menjaga kehormatan diri sendiri tetapi juga turut berkontribusi pada terciptanya suasana pertemuan yang kondusif dan produktif. Sikap yang sopan dan santun akan mencerminkan kedewasaan dan kualitas diri seorang pelajar.
Selain bagi siswa, guru juga harus menjadi contoh dan harus mengingat pesan dari adagium ini. Sebab, guru bukan hanya pendidik, tetapi juga teladan. Maka, seorang guru harus menjadi contoh dalam berbicara dan bersikap santun di hadapan siswa dan kolega. Sikap gonyak-ganyuk pada guru bisa berupa menyela pembicaraan orang lain tanpa permisi, bersikap merendahkan dalam diskusi, mengabaikan pendapat peserta rapat, bergurau berlebihan dalam acara resmi hingga mengganggu suasana.
Guru, sebagai pendidik dan panutan, memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam menjaga etika dan profesionalisme dalam setiap pertemuan. Perilaku “gonyak-ganyuk” dari seorang guru dapat memberikan dampak negatif yang lebih luas, tidak hanya pada citra diri tetapi juga pada citra lembaga dan bahkan dapat mempengaruhi persepsi siswa terhadap nilai-nilai kesopanan. Selain contoh di atas, beberapa contoh tindakan yang perlu dihindari oleh guru juga melimpah. Pertama, terlambat atau tidak hadir tanpa alasan yang jelas. Tindakan ini menunjukkan kurangnya disiplin dan rasa tanggung jawab.
Kedua, berbicara dengan nada merendahkan atau tidak profesional. Guru menggunakan bahasa yang kasar, sarkastis, atau merendahkan peserta lain dalam forum adalah tindakan yang sangat tidak pantas. Ketiga, bersikap dominan dan tidak memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara. Pertemuan yang sehat adalah ruang dialog yang setara. Guru perlu memastikan semua peserta memiliki kesempatan untuk menyampaikan pendapat.
Keempat, tidak mendengarkan dengan baik atau mengabaikan pendapat. Guru seharusnya menjadi pendengar yang baik dan menghargai setiap kontribusi dari peserta lain. Kelima, menggunakan forum resmi untuk kepentingan pribadi atau menyebarkan informasi yang tidak benar. Tindakan ini menyalahgunakan wewenang dan merusak integritas forum.
Guru yang mampu menunjukkan sikap santun, menghargai, dan profesional dalam setiap pertemuan akan menjadi teladan yang baik bagi siswa. Hal ini akan membantu menciptakan budaya sekolah/madrasah yang menjunjung tinggi etika dan saling menghormati. Ketika guru mampu menjaga etika, maka nilai-nilai itu secara tidak langsung akan ditiru oleh siswa. Guru yang tenang, sopan, dan menghargai orang lain akan menciptakan suasana belajar yang kondusif dan penuh hormat.
Tepa Selira dan Tata Krama
Melawan sikap gonyak-ganyuk adalah dengan menanamkan nilai-nilai tepa selira (tenggang rasa), andhap asar (rendah hati), dan tata krama. Sekolah dan madrasah perlu terus memperkuat pendidikan karakter bisa melalui sejumlah hal. Pertama, pembiasaan harian yang baik, seperti memberi salam, izin saat berbicara, dan bersikap sopan dalam diskusi. Kedua, penguatan nilai budaya lokal dalam kegiatan ekstrakurikuler dan pembelajaran P5, Profil Lulusan dengan Berdimensi 8, karakter Aswaja Annahdliyah, atau muatan lokal. Ketiga, keteladanan guru dan tenaga kependidikan.
Menghindari perilaku gonyak-ganyuk nglelingsemi adalah investasi jangka panjang dalam membangun citra diri dan lembaga pendidikan yang positif. Baik pelajar maupun guru memiliki peran penting dalam menciptakan budaya santun dalam setiap pertemuan. Dengan saling mengingatkan, memberikan contoh yang baik, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, kita dapat menciptakan lingkungan belajar dan bekerja yang harmonis dan bermartabat. Ingatlah, setiap tindakan dan perkataan kita dalam forum resmi mencerminkan kualitas diri dan lembaga yang kita wakili. Mari bersama-sama menjaga kehormatan diri dan lembaga agar tidak ada lagi “gonyak-ganyuk nglelingsemi” yang memalukan.
Ungkapan gonyak-ganyuk nglelingsemi seharusnya menjadi peringatan lembut bagi kita semua bahwa kesopanan bukan soal gaya, tapi soal nilai hidup. Pelajar yang santun akan lebih mudah diterima dalam lingkungan sosial. Guru yang santun akan lebih mudah dihormati dan dikenang. Mari kita jadikan sekolah dan madrasah sebagai ruang pembentukan karakter yang menjunjung tinggi etika, adab, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Lalu, apakah kita masih gonyak-ganyuk nglelingsemi?
-Dr. Hamidulloh Ibda, Wakil Rektor Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) Temanggung, Ketua FKPT Jawa Tengah