Oleh S. Prasetyo Utomo
SEBAGIAN cerpen Indonesia mutakhir dicipta sastrawan dengan latar Lebaran. Alienasi menjadi warna yang dominan dalam cerpen-cerpen dengan latar Lebaran. Terdapat beberapa cerpen berlatar Lebaran didokumentasikan dalam buku-buku antologi sastra. Setidaknya kita dapat menemukan tujuh cerpen yang ditulis sastrawan Indonesia mutakhir berlatar Lebaran, seperti karya Umar Kayam, A.A. Navis, Gus tf. Sakai, dan Raudal Tanjung Banua.
Dengan latar Lebaran, Umar Kayam menulis empat cerpen “Ke Solo, ke Njati” (Penerbit Buku Kompas, 1992), “Ziarah Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 1995), “Lebaran Ini Saya Harus Pulang” (Penerbit Buku Kompas, 2000), dan “Lebaran di Karet, di Karet” (Penerbit Buku Kompas, 2001). A.A. Navis mencipta cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 1999). Gus tf. Sakai menulis cerpen “Gambar Bertulisan Kereta Lebaran” (Penerbit Buku Kompas, 2002). Raudal Tanjung Banua menyingkap latar Lebaran dalam cerpen “Bambu-Bambu Menghilir” (Penerbit Buku Kompas, 2020).
Alienasi yang tercipta pada tujuh cerpen ini merujuk pada upaya menyingkap keterasingan manusia dalam sistem kekerabatan, kepemilikan harta, dan tatanan sosial kehidupan modern. Dengan kekuatan struktur narasi masing-masing sastrawan, ketujuh cerpen itu menghadirkan teks untuk mencapai estetika. Alienasi diekspresikan cerpenis, disusun kembali dalam benak pembaca, sesuai dengan tingkat pemahaman dan penafsiran mereka. Dalam esai ini alienasi dimaknai sebagai suatu keadaan terasing dari diri sendiri, sosial, dan kultural. Keadaan keterasingan ini dialami manusia secara tidak sadar.
- Iklan -
***
KITA mengenal Umar Kayam sebagai sastrawan yang piawai mengangkat kisah-kisah bergelimang konflik politik ke dalam teks sastra yang memikat seperti Bawuk. Ia sangat mahir merangkai struktur narasi, dengan menghidupkan karakter tokoh, menyusun dialog, dan mengemas konflik. Dalam empat cerpen berlatar Lebaran yang ditulisnya, ia menghidupkan tokoh-tokoh yang mengalami alienasi sebagai luka sosial dan kultural.
Cerpen “Ke Solo ke Njati” mengangkat kisah seorang asisten rumah tangga yang urung pulang ke kampung halaman saat Lebaran, karena gagal memperoleh bus. Cerpen “Ziarah Lebaran” mengisahkan alenasi seorang duda muda yang memiliki anak lelaki, tak bisa berkumpul dalam satu keluarga dengan anak lelakinya itu, karena diasuh ibu mertua. Cerpen “Lebaran Ini, Saya Harus Pulang” mengisahkan asisten rumah tangga yang ingin kembali pulang ke desanya, yang kini mulai rusuh dan melarat, menandakan alienasi sosial, karena desanya mulai dikuasai kaum tengkulak. Cerpen “Lebaran di Karet, di Karet” menarikan seorang lelaki tua yang ditinggal mati istrinya, dan merasakan alienasi saat Lebaran, karena anak-anaknya berada di luar negeri, tak seorang pun yang pulang. Membaca empat cerpen Lebaran itu, kita dihadapkan pada persoalan-persoalan sosio-kultural yang merusak harmoni kehidupan keluarga.
Begitu juga dengan A.A. Navis yang hadir dengan cerpen “Tamu yang Datang di Hari Lebaran”, mengemas tema alienasi yang menikam kehidupan tokohnya. Seorang suami bekas gubernur dan istrinya yang kesepian di hari Lebaran tak didatangi anak-anak dan cucunya. Pada hari Lebaran itu tamu yang datang justru malaikat maut yang mencabut nyawa istri bekas gubernur, dalam kesepian dan harapan-harapan indah bertemu anak cucu. Alienasi telah mencipta kekeroposan eksistensi dalam keluarga, ketika orang tua tidak lagi dianggap sebagai pusat otoritas nilai, norma, dan kebajikan. Ketika kekuasaan lepas dari tangan, orang tua dijauhi anak-cucu keturunannya.
Cerpen Gus tf. Sakai, “Gambar Bertulisan Kereta Lebaran”, mengangkat alienasi seorang gadis kecil yang tak memiliki kampung halaman kakek neneknya. Ia tinggal bersama ibunya di gubuk kecil sebuah kota, tanpa ayah. Gadis kecil itu merindukan bisa pulang ke kampung halaman ibunya. Akan tetapi, sampai ia meninggal terlindas kereta api, tak pernah mencapai kampung halaman ibunya. Gus tf Sakai menarasikan alienasi yang pedih, ketika manusia modern mulai terputus dengan asal-usul, kampung halaman, dan leluhur yang menurunkannya.
Gus tf. Sakai menyajikan cerpen dengan alienasi yang dihadapi tokoh-tokohnya, dan leluhur hanyalah ilusi yang tak diketahui dengan pasti. Ia menghadirkan tokoh yang mengalami alienasi sosial dan kultural, yang tak terlacak, dan terputus dari masa lalunya. Manusia hidup dengan diri mereka sendiri, dan kehilangan romantisme masa silam yang menghadirkan leluhur dengan segenap nilai, norma, dan tatanan kehidupan yang melingkupinya. Alienasi menyebabkan tokoh tidak mempunyai makna hidup dan kehilangan norma bagi diri sendiri.
Kehadiran Raudal Tanjung Banua dengan cerpen “Bambu-Bambu Menghilir” terasa lebih lembut mengantarkan pembaca pada alienasi tokoh. Ia mengalirkan napas eksotisme dalam cerpennya, dengan kesadaran menghadirkan kearifan lokal. Saat menjelang Lebaran, tokoh Serel terlibat perkelahian dengan Darel. Serel menggerakkan parang hingga Darel tersabet parangnya. Serel melarikan diri ke seberang pulau. Akan tetapi, Serel bertemu kembali dengan Darel, yang ternyata tak terluka parah, segera sembuh. Mereka saling memaafkan.
Terasa benar bahwa Raudal Tanjung Banua mengalirkan narasi mengenai alienasi seorang tokoh yang berujung pada keterasingan pada kampung halaman. Ia mencipta struktur narasi yang memberikan kesadaran bahwa betapa rentan masyarakat kita tersulut konflik, yang mengantarkan seseorang teralienasi dari tanah leluhurnya. Tokoh Surel harus melakukan pelarian setelah mengalami konflik dengan Darel, dan ia merantau, tak pernah kembali pulang ke kampung halamannya. Alienasi yang dialami Surel lebih terarah pada kondisi tidak memiliki kekuasaan dan kehilangan makna hidup.
***
TUJUH cerpen yang mengangkat tema Lebaran dalam perkembangan sastra Indonesia mutakhir ini memberi arah akan realitas alienasi yang dialami manusia modern. Obsesi pada tokoh-tokoh yang terasing menjadi pilihan daya cipta Umar Kayam, A.A. Navis, Gus tf. Sakai, dan Raudal Tanjung Banua. Mereka menghadirkan tokoh-tokoh manusia yang terpinggirkan, tersisihkan, dan kesepian.
Cerpen yang mereka tulis memberi kesadaran akan kehidupan manusia modern yang kian terasing dari keturunan dan leluhurnya. Mereka mencipta narasi fiksi tentang manusia-manusia yang mengalami alienasi karena kepapaan duniawi, pergeseran gaya hidup, kepentingan individu, dan konflik sosial. Kesadaran fiksional telah menghadirkan cerpenis untuk mencipta kompleksitas makna sebagaimana yang ditulis Gus tf. Sakai dan A. A. Navis. Membaca cerpen dua sastrawan ini, pembaca tidak hanya dihadapkan pada narasi alienasi, tetapi juga spiritualitas, oreintasi filosofis, dan kompleksitas karakter manusia.
***
*) S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.