Oleh Risen Dhawuh Abdullah
John Perry pernah menulis artikel jurnal berjudul “The Problem of the Essential Indexical” pada tahun 1979. Artikel tersebut dilandasi dari peristiwa yang dialaminya ketika berbelanja di sebuah supermarket. Saat berbelanja ia melihat gula yang berceceran di lantai. Perry dengan panggilan hati, mengikuti jejak gula tersebut dan berkeyakinan bahwa orang yang kantong gulanya bocor adalah orang yang mengotori supermarket itu.
Hingga jejak bocoran gula membawa Perry ke tempat di mana ia pertama kali mengetahui ada gula yang berceceran, ia tidak menemukan orang dengan kantong gula yang bocor. Keyakinannya menjadi berubah, bahwa kantong gulanya-lah yang bocor. Dan memang pada kenyataannya benar.
- Iklan -
Dari fenomena tersebut, Perry mempermasalahkan dua keyakinan yang berbeda. Keyakinan pertama adalah orang yang kantong gulanya bocor adalah orang yang mengotori supermarket itu. Artinya indeksikal yang disebut “orang” dalam keyakinannya dapat digantikan oleh siapa pun, selama itu orang. Bahkan Perry sendiri. Keyakinan kedua adalah saya-lah yang mengotori supermarket tersebut. Indeksikal “saya” tentunya merujuk pada Perry sendiri. Namun, menurut Perry, kedua keyakinan tersebut berbeda.
Keyakinan pertama “dapat” merujuk pada Perry. Keyakinan kedua “jelas” merujuk pada Perry. Apa yang membedakannya apabila keyakinan pertama memang benar-benar merujuk pada Perry? Perbedaannya terletak pada awal keyakinan, indeksikal “orang” dapat diganti oleh siapa pun, memposisikan subjek yang mempunyai keyakinan itu sebagai pengamat dari orang lain. Sementara keyakinan kedua merujuk pada diri atau orang yang mempunyai bahwa saya-lah yang mengotori supermarket itu. Indeksikal “saya” dalam hal ini tidak dapat diganti oleh siapa pun. Hanya Perry sendiri-lah yang patut yakin. Apabila orang lain yang mengucapkan “saya-lah yang mengotori supermarket ini”, berarti “saya” bukan Perry.
Dari fenomena ini dapat diambil kesimpulan, ada wilayah-wilayah tertentu yang hanya diketahui oleh subjek, hal ini berkaitan dengan pengetahuan. Ketika seseorang mengalami putus cinta, katakanlah orang itu A. kemudian ia curhat kepada orang B, dan si B mengatakan bahwa dirinya dapat mengerti apa yang dirasakan si A. Sejatinya si B tidak pernah tahu “persis” perasaan si A.
Seorang pengarang ketika menulis sebuah karya sastra, sejatinya ia sedang mengandaikan sebuah dunia yang ideal, di mana subjek-subjek bergerak mengalami berbagai peristiwa. Andaian pengarang tersebut berada pada wilayah yang disebut sebagai “dunia mungkin” atau possible world. Sastra disebut sebagai dunia yang mungkin karena eksistensinya berada pada ambang antara ada dan tidak. Tidak dapat benar-benar dipastikan, sekalipun sastra tidak dapat berangkat dari ruang yang kosong. Secara indeksikal, dunia mungkin yang diandaikan pengarang berbeda dengan dunia nyata atau actual world.
Konsep tersebut sedikit abstrak. Maka untuk memudahkan pemahaman perlu diberikan contoh. Di dunia nyata Polanco merupakan mahasiswa di sebuah kampus di Yogyakarta. Sosoknya menginspirasi seorang pengarang untuk menulis novel tentang kehidupannya di kampus. Dalam novel karyanya tidak ada yang diubah—katakanlah pengarang sudah melakukan riset dan wawancara dengan Polanco. Dengan kata lain persis sebagaimana yang ada di dunia nyata. Teks yang dihasilkan oleh pengarang tersebut memproyeksikan sebuah dunia imajinatif atau dunia fiksi. Pemaknaan memang dapat di titikberatkan pada dunia nyata.
Pertanyaannya adalah bagaimana bagi mereka (pembaca) yang tidak tahu mengenai sosok Polanco? Di sinilah, sastra meskipun berangkat dari kenyataan, secara ontologis ia tidak pernah benar-benar merujuk pada kenyataan itu sendiri. Polanco yang ada di dunia fiksi dengan Polanco yang ada di dunia nyata, berbeda. Secara indeksikal, keduanya berbeda. Kita tidak akan pernah dapat mengunjungi Polanco yang ada di dunia fiksi atau dunia mungkin.
Sastra sebagai dunia yang mungkin, memungkinkan hal-hal yang tidak mungkin terjadi di dalam kenyataan, terjadi di dalam dunia mungkin. Kembali pada peristiwa yang dialami Perry, terkait indeksikal saya. Di dunia nyata kita tidak pernah bisa memastikan pengetahuan “saya”-nya orang lain. Apalagi mengetahui isi pikiran di luar entitas selain manusia, hewan misalnya. Kita tidak akan pernah tahu apa yang sesungguhnya dirasakan dan diketahui hewan terkait kehidupan dunia ini. Kita tidak mungkin menjadi manusia lain, kita tidak mungkin menjadi hewan untuk tahu pengetahuan indeksikal “saya”. Sastra hadir memungkinkan akan hal itu, meski kehadirannya hanya berujung pada “kemungkinan” itu sendiri.
Cerpen “Serenade Seekor Anjing” karya Indra Tranggono yang termaktub dalam kumpulan cerpen Menebang Pohon Silsilah menjadi salah satu contoh yang baik terkait indeksikal “saya”, entitas selain manusia dimungkinkan. Cerpen tersebut menceritakan narator sekaligus tokoh utama seekor anjing. Dikisahkan pada suatu malam, anjing tersebut mendapati pencuri di rumah tuannya. Anjing tersebut pada awalnya membenci pencuri yang bersembunyi, tapi kemudian berubah saat ia mendapati pencuri itu ternyata sedang dilanda masalah. Alhasil, si anjing mempersilakan pencuri tersebut mencuri di rumah tuannya, hingga tindakannya diketahui oleh orang-orang. Pencuri ditembak dan si anjing marah. Namun, si tuan pemilik anjing, menganggap kalau anjing itu sedang bangga berhasil mencegah maling pergi sehingga mudah untuk dibinasakan.
Dari cerpen tersebut, pembaca seolah-olah menjadi “aku” anjing saat ia melakukan pembacaan. Meski sejatinya, “aku” dalam cerita tersebut bukan “aku” pembaca. Namun, lewat sastra pemindahan “aku” beserta pengetahuannya menjadi sangat dimungkinkan. Pembaca “aku” dapat mengetahui perasaan anjing begitu dalam. Bahwa ternyata anjing tidak bodoh, dapat memberikan keputusan untuk tidak memakan daging yang penuh racun, hingga mempunyai rasa iba terhadap pencuri. Tapi ingat! Semua itu hanya berada di wilayah “dunia mungkin”.
Apa yang dimungkinkan tentunya anjing yang dapat mempunyai pengetahuan sebagaimana manusia dengan diceritakan dari sudut pandang “aku”, yang mana hal itu mustahil diketahui dalam dunia nyata. Teks yang dituliskan oleh Indra Tranggono memproyeksikan dunia fiksi, dunia di mana entitas-entitas yang dikonstruksi berjalan seolah-olah seperti dunia nyata. Kita tidak dapat mendatangi anjing yang diproyeksikan oleh teks cerpen. Sebab keberadaannya berada di dalam possible world.
Bantul, 2024
Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, UGM angkatan 2023. Alumnus Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat IG @risendhawuhabdullah.