Oleh Sri Rohati, S.Pd
Jalan Lempang Towaf
Pertama kali towaf aku merasa seperti ingin berlari agar cepat selesai. Juga masih takut tertinggal teman -teman. Jadi ketika ada celah untuk melangkah aku segera maju merangsek , begitu berkali kali . Kadang berada di bawah ketiak orang Sudan, kadang disenggol pantat ibu ibu India yang tinggi besar. Aku terus memaksa untuk segera mengejar ketertinggalan dengan lebih sering melihat langkah teman -teman sambil membaca doa yang kuingat sepotong sepotong.
Hari itu aku ingin towaf dengan cara yang berbeda dengan kemarin. Maka kususun towafku dengan serius. Kumelangkah sewajarnya , tak terburu – buru. Bila ada hambatan aku hanya berdoa, la haulaa Walaa quwwata illa bilaah. Lalu, ajaib, …jalan terbuka. Celah celah di depanku terbuka tanpa aku mendesaknya. Kanan kiri juga berada dalam jarak yang yang nyaman.
- Iklan -
Makin lama aku merasakan bahwa towafku ini bukanlah aku yang melakukannya, hanya diikut sertakan dalam gerak yang tak henti henti. Aku mengecil menjadi setitik air yang ikut mengalir bersama gelombang lautan towaf. Larut di dalamnya , tanpa kelelahan dan waktu seperti lenyap.Tiba tiba saja sudah tujuh putaran selesai. Tiba tiba doa doa yang berseliweran di kepala keluar semua, doa pengharapan dengan penuh cinta. Doa yang bukan untuk mengingtakan Allah pada kebutuhanku , tapi untuk mempersembahkan cinta padaNya.
Benarlah kalau towaf adalah gambaran hidup sehari hari. Kita jalani saja, tak perlu tergesa. Janganlah menyikut teman, janganlah menyenggol kanan kiri. Sesekali kita tersenggol janganlah mudah marah.
Bila kita sadar bahwa kekuatan yang kita punya dalah kekuatan yang dipinjamkan ped akita maka ketika kita maka kita tak mudah pongah. Pun tak mudah putus asa ketika terjerembab dalam kemalangan, sebab begitu mudah bagiNya untuk menolong.
KATARSIS DI JUMRAH AQOBAH
Hari terakhir melempar jumrah adalah hari yang cukup berat karena tenaga sudah digunakan untuk perjalanan hari sebelumnya . Baru mulai keluar komplek tenda Mina tampak jamaah menyemut berderet begitu panjang. Akibatnya di titik inilah kami harus memutar sehingga jarak makin jauh. Aku bersama teman teman rombongan masih tetap terkumpul dalam satu titik satu titik sampai di sini, tapi begitu berjalan beberapa ratus langkah kamipun mulai terpisah pisah. Aku akhirnya mengawal dua orang ibu ibu sepuh yang membautku malu mengeluh.
Kakiku terasa makin berat mendekati jamarat yang ketiga ( aqabah). Rasanya seperti telah berjalan ribuan kilo. Seperti berjalan bertahun tahun, sepanjang usia dalam kehidupanku hingga sampai di tempat ini pada detik ini. Entah mengapa hatiku tiba-tiba tercekat rasa haru.
Aku merasa bahwa aku sudah berjalan sangat jauh untuk mencariMu. “Sekian puluh tahun , di setiap nafasku aku selalu rindu untuk menemuiMu. Di mana Engkau ? “ teriak hatiku . Saat itu kakiku berjalan ke Jamarot, namun aku merasa berjalan ke dalam palung hatiku. Palung di dasar samudra yang tak seorangpun datang ke sana, tak seorang pun mengetahuinya. Hanya Allah yang mengetahui tumpukan beban rasa di palung itu. Ada kemarahan terhadap semua kejadian yang tak kusukai. Ada rasa pedih kala kehilangan apapun yang telah lama melekat di hati. Ada kebimbangan kala menghadapi berbagai persoalan hidup seorang diri. Ada kecemburuan melihat keberuntungan orang orang yang kujumpa, entah teman atau saudara. Kadang kala ada gundukkan rasa jumawa kala mendengar pujian di telinga.
Di sana, semua rasa kugali, lalu kutumpahkan ke permukaan jiwa. Lalu kuserahkan semua rasa padaNya. Kala aku berkesempatan melemparkan kerikil tujuh, kulempar pula sekian banyak rasa itu. Aku sadar bahwa semua ini sejatinya membebaniku. Semua rasa yang aku bawa ini, yang tersimpan dalam palung hati terdalam, harus aku serahkan padaMu.
Dengarkan suara hatiku. Biarkan aku bercerita panjang lebar tentang seribu rasa yang kurasa, dari masa kanak kanak hingga aku menua dan sampai di Jamarat ini. Bukankah Kau yang memberikan rasa? Maka ijinkanlah aku pulangkan beban rasa ini padaMu. Lemparkanlah semua rasa yang terasa berat ini dari hatiku. Kau tentu tahu hambaMu ini tak berdaya menanggung semuanya. Biarkanlah ruhku bebas dari segala rasa. Inna lilaahi wa Inna ilaihi roojiuun. Semua dariMu dan akan berpulang kepadaMu jua. Seperti seorang yang dianugerahi sebuah titipan maka titipan ini aku kembalikan padaMu.
ANTI MI INSTAN
Aku paling tidak suka makan makanan yang banyak pengawet seperti mi instan. Sudah banyak pengawet, bikin haus pula karena full micin. Menjelang keberangkatan haji , dimana banyak teman bilang bahwa mi instan akan sangat berguna di Saudi aku masih menjauhi makanan yang satu ini. Maka, sudah pasti aku tak membawa mi instan satupun dalam koperku.
Sampai di Mekah dalam beberapa minggu aku baik baik saja dengan si mi instan yang aromanya kerap berseliweran di hidungku. Maklum banyak teman yang kerap membuat hidangan ala anak kos ini.Mereka kerap menyeduh mi gelas dengan air panas yang tersedia di hotel saat jatah makanan dari hotel tidak sesuai selera. Aku masih baik baik saja, rutin menikmati makan dari hotel dan kalau kurang sesuai lauknya aku makan sedikit lalu membeli buah pir hijau kesukaanku yang banyak dijual di toko toko.
Tapi rupanya Allah tak pernah lupa dengan ikrarku di tanah air, “ tak ingin makan mi instan di Saudi.” Malam itu, kala tubuh sepulang dari masjidil haram aku membuka jatah makanan. Di sana tertera batas waktu konsumsi, yang ternyata telah melewati batas . Padahal aku lapar. Maka aku minta dua bungkus mi gelas dari teman sekamar. Kuseduh, hhmm masya Allah mengapa rasanya jadi enak banget ya. Aku bahkan habis dua bungkus sekaligus, hehe.
Dalam hati, aku berjanji , tak akan makan lagi, ” Ini khilaf, tak sengaja, darurat…,” Esok paginya entah mengapa aku ingin membeli mi instan kala berbelanja di toko. Aku tiba tiba saja menyelipkan mi isnstan dalam belanjaanku. Dan malamnya aku buat mi lagi. Ya Allah, sungguh kau tak lupa pada kesombonganku pada mi ini. Aku jadi ingat perilaku Rosulullooh, beliau tak pernah mencela makanan meski tak menyukainya.
( Seperti dituturkan seorang jamaah haji tahun 2023)
-Penulis adalah guru MTs Ma’arif NU Kemalang Klaten, yang gemar membaca dan menulis. Buku solonya adalah Awet Muda Bersama Siswa dan Kumpulan Puisi Pelukis Langit. Antologinya diantaranya adalah Kisah Inspiratif Refleksi Diri, Kumcer Ada Cinta Diantara Kita, Merajut ispirasi di Masa pandemi, Cerita Kita dan Impian Ke baitullah. Penulis bisa dijumpai di emailnya : erohiyati@gmail.com