Oleh: Syamsul Bahri
Memilih dimana kita lahir adalah salah satu hal yang kita tidak bisa pilih atau menolaknya. Karena itu kita harus menjalani hidup dengan segala keterpaksaan atau kenikmatan yang kita miliki. Maka dari itu, nasib melamar kepada orang-orang yang tak pernah terlantun dalam doa sepertiga malamnya. Mereka yang menolak pemberian nasib dari Tuhan Nya. Ia akan sengsara dan dunia sebagai neraka pertamanya.
Membaca buku ini, membuat suatu pandangan baru terhadap identitas keislaman yang aku bawa dari masa buaian hingga saat ini. begitu pun dengan Jawa yang dimana aku lahir dan besar bersamanya. Aku tidak mengenal islam yang radikal. Aku tidak mengenal jawa yang modern. Aku tidak mengenal keduanya jika aku tak merantau ke luar daerah. Semuanya gamblang secara terang-terangan. Dan pada saat itu, aku kembali pada islam, jawa yang menurut versiku sendiri.
Buku ini adalah kumpulan esai yang dikumpulkan menjadi satu, dan Saya, Jawa dan Islam menjadi judul buku ini. Menurut saya, judul itu secara tidak langsung mengikat tema-tema yang ada di buku ini. Pergulatan identitas yang tak ada habisnya. Mencari dengan berbagai metode untuk menemukan jati diri yang menurut versinya sudah sampai pada puncak kesempurnaan,
- Iklan -
Pemaparan pengetahuan tentang serat yang diterjemahkan di buku ini, membuat buku ini terasa tebal akan makna dan pembaca hanya perlu megalokasikan dirinya pada setiap verse yang ada pada buku ini. Terdapat beberapa cara di buku ini untuk menemukan jati dirinya. Hal tersebut bertujuan untuk menjadi “Wong” yang menurut serat itu definisikan.
Dewasa ini, aku sendiri mengartikan jadi “Wong” itu masih mengikuti definisi pada orangtua jaman sekarang. Padahal definisinya sungguh berbeda. Bedanya antara materi dan non materi. Di jaman sekarang, orang yang sudah dianggap berhasil, sukses, punya rumah, mobi, banyak anak dan kehidupan mapan itu sudah dianggap menjadi “Wong”. Namun, arti yang sebenarnya tidak seperti itu. Di buku ini, penulis menjelaskannya secara implisit dan perlu perenngan untuk bisa mengartikan setiap katanya. Maka dari itu, perlu dikaji ulang untuk mengartikan kata “Wong” dari budaya jawa ini. kenapa termasuk dalam budaya? Karena itu masuk dalam kebiasaan setiap orang yang menjalaninya di setiap orang yang memgang teguh budaya jawa.
Saya begitu tertarik dengan pemaparan politik bahasa yang dijlentrehkan oleh penulis. Tidak hanya itu, ia juga sedikit berbicara tentang definisi perempuan bahwa “Dadi Wong Wadon” itu harus memiliki penampilan yang pantas, berpikiran terbuka atau tidak fanatik, dan mengenyam pendidikan tinggi. Lalu, pertanyaan yang berkelindan itu datang, Apakah bisa menjadi perempuan tanpa ada poin-poin tersebut?
Menurut saya, bisa saja tapi ia akan mendapat intimidasi dan selalu di deskriditkan di tengah masyaraktnya. Ia akan merasakan ketidakadilan dan kecaman selama ia tak berpegang teguh pada poin-poin tersebut. Apakah ketika seorang perempuan akan selamat jika berpegang teguh pada poin-poin tersebut?
Menurut saya lagi. Belum tentu selamat tapi paling tidak ia akan mengetahui posisi dirinya di tengah-tengah masyarakat. Ia akan menuntut keadilan karena eksistensi dirinya terusik. Ia tahu hak asasi manusia itu ada dan ia sangat paham bahwa kekerasan dalam bentuk apapun itu tidak baik dan perlu ditegakan keadilannya.
Sebenarnya, masih banyak lagi perihal buku ini yang masih aku ingin sampaikan. Yang jelas buku ini perlu dibaca dan bila perlu dibaca berulang kali sebab perlu banyak perenungan untuk bisa menggali makna dalam setiap serat yang ada di buku ini.
Judul Buku : Saya, Jawa, dan Islam
Penulis : Irfan Afifi
Cetakan : Pertama, 2019
Tebal : X+222 halaman
Penerbit : Tanda Baca
ISBN : 978-623-90624-1-5
Syamsul Bahri, lahir di Subang dan sekarang tinggal di Yogyakarta. .