Oleh: Fathorrozi
Kerapkali kami jumpai seorang murid baru sudah duduk santai bersama teman-temannya di kelas. Padahal, kami selaku guru tidak tahu kapan dia mulai masuk ke madrasah. Saat kami tanya kepada teman-temannya usai pulang madrasah, mereka menjawab bahwa murid baru itu hanya sebatas ikut belajar sementara. Dia dalam tahap percobaan. Walinya menyuruh dia masuk untuk uji coba. Jika betah dan senang belajar di madrasah kami, maka walinya akan memasrahkan kepada kami. Dan seumpama tidak kerasan sebab proses pembelajaran kurang menyenangkan atau teman-temannya tidak selevel bagi si anak, maka murid itu akan hilang tanpa pamit.
Fenomena ini sering terjadi, tidak hanya di madrasah kami. Bahkan, di beberapa pesantren juga mengalami hal yang demikian. Wali murid seolah tidak mau diribetkan dengan perihal pendaftaran dan administrasi. Jika dianalogikan dengan sebuah pernikahan, hal ini sama dengan seorang laki-laki datang ke pihak perempuan, tiba-tiba mengajaknya bercinta, jika hamil maka pernikahan akan dilanjutkan, tapi jika si perempuan tidak mengandung maka pernikahan dibatalkan.
Lebih miris lagi, sesuai dengan apa yang kami alami, saat murid baru itu berulah di dalam kelas, lantas kami sanksi secara wajar, lalu walinya justru datang ke madrasah dengan menggandeng pengacara untuk menginterogasi sang guru. Dia tidak terima anaknya disanksi sebab kenakalannya, sementara dia datang ke madrasah tanpa izin, apalagi memasrahkan anaknya.
- Iklan -
Berkaitan dengan kejadian yang kurang elok ini, alangkah baiknya kita simak kisah Khalifah Harun ar-Rasyid ketika memasrahkan sang putra pada gurunya, sebagaimana dikutip dari kitab Badai’ as-Silk fi Thaba’i al-Mulk juz II karya Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Ashbahi al-Andalusi.
Salah satu parenting terbaik dicontohkan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid ketika memasrahkan putranya, Al- Ma’mun, kepada gurunya yang bernama Khalaf al-Ahmar. Pesan indah khalifah ke-5 Daulah Abbasiyah tersebut berbunyi:
“Wahai Ahmar, sesungguhnya Amirul Mukminin telah memasrahkan sang buah hati tercintanya kepadamu. Maka, terimalah putraku ini dengan tangan terbuka. Ia harus patuh kepadamu. Sebagaimana Amirul Mukminin telah memberikan kepercayaan kepadamu, maka ajari ia al-Qur’an. Buka wawasannya dengan kisah-kisah dan peristiwa masa lalu. Riwayatkan kepadanya puisi-puisi. Ajari ia sunnah. Beri ia pemahaman yang baik dalam beretorika. Jangan biarkan ia tertawa kecuali di waktu-waktu tertentu. Ajari ia takzim kepada para sesepuh Bani Hasyim ketika datang menemuinya, dan menghormati Dewan Komandan ketika datang ke majelisnya.”
“Jangan lewatkan waktu bersamamu tanpa pendidikan dan kedisiplinan baginya, asal jangan sampai membuatnya tertekan sehingga berdampak buruk bagi hati dan pikirannya. Jangan pula terlalu memanjakannya sehingga ia akan menghabiskan waktunya untuk santai. Cukup perlakukan ia dengan sewajarnya. Jika ia mengabaikanmu, maka kau harus menindaknya dengan tegas.”
Begitu pun seharusnya adab murid kepada guru. Jika disanksi oleh guru sebab tidak mengerjakan tugas, atau membuat keributan di dalam kelas, atau membully teman, dan sebagainya, dia harus menerima dan menjalani sanksi dengan penuh penyesalan. Bukan justru main lapor, bertindak semau sendiri, atau bermain hakim sendiri.
Sekelas putra sang khalifah, Al-Ma’mun mau menerima (legowo) ketika mendapat hukuman dari gurunya, Abu Muhammad al-Yazidi. Pada suatu ketika, Abu Muhammad al-Yazidi mendatangi istana Khalifah Harun ar-Rasyid untuk mengajar Al-Ma’mun. Kemudian, dia meminta pembantu istana untuk mengabarkan kepada Al-Ma’mun perihal kedatangan dan perannya sebagai guru. Tetapi, ternyata Al-Ma’mun tak kunjung datang. Abu Muhammad al-Yazidi kembali meminta pembantu lain untuk menyampaikan pesan yang sama kepada Al-Ma’mun. Tetapi, Al-Ma’mun tidak juga tampak batang hidungnya.
Setelah lama menunggu, akhirnya Al-Ma’mun datang juga. Abu Muhammad al-Yazidi langsung memberi sedikit pelajaran dengan memukul Al-Ma’mun hingga ia pun menangis. Lalu, tiba-tiba, datanglah Menteri Ja’far bin Yahya al-Barmaki hendak menemui Al-Ma’mun. Mengetahui bahwa di luar ada Ja’far bin Yahya al-Barmaki, Al-Ma’mun langsung mengambil sapu tangan dan mengusap air matanya. Dia rapikan lagi duduknya di atas kasur, seolah tidak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Abu Muhammad al-Yazidi diliputi rasa waswas. Dia pun beranjak dari majelis dengan rasa takut jika tindakannya kepada Al-Ma’mun tadi diadukan kepada Menteri Ja’far bin Yahya al-Barmaki. Namun, ternyata tidak.
Setelah Ja’far bin Yahya al-Barmaki pergi dari hadapannya, Abu Muhammad al-Yazidi mengatakan kepada Al-Ma’mun bahwa tadi dia sangat takut. Dia khawatir Al-Ma’mun akan melaporkan kepada Menteri Ja’far atas tindakan Abu Muhammad al-Yazidi selaku guru yang telah memukulnya.
Al-Ma’mun justru menimpali, “Wahai Abu Muhammad, kalau aku memang mau mengadukan tindakanmu, tentu tak perlu lewat Menteri Ja’far, melainkan langsung saja aku laporkan pada ayahku, Harun ar-Rasyid. Tetapi, tidak mungkin aku melakukannya karena aku masih punya adab.”
Lebih lanjut, Al-Ma’mun menghapus kekhawatiran sang guru dengan berkata, “Wahai Abu Muhammad, lakukanlah apa yang seharusnya kau lakukan. Semoga Allah senantiasa menjagamu. Sungguh apa yang kau bayangkan itu tak akan pernah terjadi, bahkan jika kau memukulku hingga 100 kali.” (*)
*) Fathorrozi, guru MTs Nurul Qarnain Baletbaru Sukowono Jember.