Oleh Sri Rohati
Sudah beberapa kali saya menjadi pendamping siswa lomba penulisan biografi Kiai lokal yang diadakan oleh LP Maa’rif Klaten setiap tahun . Bahkan sempat menjadi juri tingkat Kabupaten , meski hanya sekali. Pada waktu rapat persiapan dalam kepanitiaan saya paling akhir mendapatkan atribut juri lomba yang berupa tanda pengenal ,petunjuk teknis, kertas penjurian dan lainnya. Itupun harus ada dialog unik sebelumnya. Saya maju ke meja panitia yang bertugas menyerahkan atribut .
“ Ibu juri lomba apa ? “ tanyanya.
“ Penulisan Biografi Kiai Lokal, Pak.”
- Iklan -
“Penulisan kaligrafi ? “ sambil menelengkan kepala beliau mengkonfirmasi jawaban saya.” Sudah diambil oleh jurinya itu Bu. “
“ Penulisan Biografi Kiai Lokal, Pak,” Saya ulangi jawaban yang sama
“Ooo…penulisan biografi ya…” Ia lalu mencari data di petunjuk teknis lomba. Kemudian mencari berkas untuk lomba ini. Beberapa kali ia bicara dengan teman panitia di sebelahnya. Steleh menunggu beberap saat barulah atribut ketemu.
Apa yang saya alami menggambarkan betapa dunia tulis menulis kurang akrab di kalangan madrasah. Baik itu di kalangan guru maupun siswa, bahkan juga mungkin di jajaran pengurus LP Ma’arif sendiri. Kalah pamor dengan seni kaligrafi , seni membaca puisi , pidato atau karaoke lagu religuis. Padahal di petunjuk teknis lomba yang dikeluarkan oleh propinsi jelas jelas penulisan biografi Kiai Lokal tercantum, walau ditaruh di paling belakang.
Sekarang kita amati di madrasah atau sekolah. Di sana ekstra kurikuler jurnalistik juga belum dikenal oleh para siswa . Ekstra yang mewadahi tulis menulis ini hampir tidak pernah ada di madrasah madrasah yang saya temui. Kalau pun ada hanya satu atau dua dari puluhan madrasah dari tingkat MI, MTs dan MA. Tanpa wadah ini maka kegiatan tulis menulis di kalangan siswa tidak akan bisa berlansung . Akibatnya ketrampilan menulsi di madarash menjadi rendah . Bahkan untuk membuat tulisan sederhana seperti menulis laporan reportase siswa masih kalang kabut. Apalagi untuk membuat cerita pendek, puisi ataupun artikel , banyak yang belum mencoba.
Tradisi keilmuan di kalangan ulama tak bisa lepas dari menulis. Beribu ribu kitab yang kita baca hari ini mungkin tidak akan bisa kita nikmati jika para ulama tidak bekerja keras menuliskannya. Satu contoh Imam Ghazali, seorang ulama sekaligus ahli filsafat yang hidup pada tahun 1058 Masehi di Thus ( sekarang Iran) telah menulis sekitar 69 kitab selama hidupnya. Salah satu karyanya Ihya’ Ulumuddin menjadi bahan rujukan oleh para penulis dan dijadikan sumber belajar dalam kajian kajian keilmuan. Ulama tanah air seperti Gus Mus sangat produktif menulis esai , puisi, cerpen dan karya non sastra seperti Sajak sajak Cinta, Ohoi, Melihat diri sendiri dan lainnya. Kita juga tidak asing dengan salah satu karya karya Gus Dur yang rajin menulis kolom di surat kabar kemudian dibukan dalam sebuah buku dengan judul Tuhan Tidak perlu Dibela. Begiu juga dengan Emha Ainun Najib, bukunya sudah cetak ulang berkali kali sejak diterbitkan berpuluh tahun yang lalu, kini generasi muda masih bisa menikmati pemikirannya yang begitu cerdas, terbuka dan unik . Misal dalam Tuhan pun berpuasa, Markesot bertutut dan Slilit Sang Kiai.
Keinginan untuk menulis tidak datang tiba tiba, namun efek baik dari kegiatan membaca. Baik itu membaca buku ataupun membaca kejadian sehari hari di dunai nyata ataupun di dunia maya . Jadis seorang penulis adalah pengamat yang teliti pada awalnya. Kemudian ia merangkai apa yang ia pindai dari luar inderanya , dirangkum dalam otaknya lalu dikeluarkan dalam rangakaian kalimat. Jadilah sebuah tulisan. Ibarat sebuah teko yang berisi penuh air teh maka ketika dituang akan keluar air tehnya. Bila teko itu hanya berisi setengahnya saja maka yang keluar hanya sedikit. Namun bila airnya penuh teko akan menuangkan lebih banyak air. Sebaliknya teko yang kosong tak akan bisa memberikan air sama sekali. Dengan memahami ibarat tersebut kita tahu bahwa kegiatan menulis harus diawali dengan membaca banyak informasi. Atau dapat kita katakana bahwa katakan minimnya budaya menulis itu karena memang tidak ada yang bisa ditulis, alias budaya baca yang rendah
Sayang sekali, padahal di jaman ini sangat terbuka lebar kesempatan untuk membaca dan menulis. Buku dalam bentuk ebook mudah diperoleh dengan harga murah , malahan banyak yang gratis. Perpustakaan online pun dapat terjangkau dari pelosok kampung asal masih ada sinyal dan pulsa. Kesempatan menulis sudah difasilitasi dengan berbagai aplikasi seperti canva, google doc, note dan lagi, sehingga kegiatan menulis menjadi mudah dan menarik. Bahkan di aplikasi canva yang menyediakan pilihan template untuk membuat buku lengkap dengan pilihan sampulnya.
Bila sudah begitu ,berarti tinggal motivasi yang perlu kita nyalakan. Di madrasah motivasi ini gurulah yang bertugas. Tetapi tentu guru harus punya motivasi terlebih dahulu sebelum memotivasi siswanya. Bagaimana motivasi menulis itu timbul jika kita tidak begitu paham apa manfaat dari kegiatan menulis. Marilah kita tengok apa saja manfaat dari kegiatan menulis :
Menulis mencegah pikun
Diantara gangguan kesehatan pada orang tua, sakit pikun adalah hal yang cukup membuta hidup tersiksa. Pikun terjadi karena matinya sel sel syaraf di otak sehingga otak mengecil. Kita tahu bahwa sel otak sejalan dengan bertmbahnya usia tidak bisa bertambah banyak, malah justeru berkurang.Kabar baiknya meskipun tidak bisa bertambah banyak namun jaringan antar otak bisa bertambah dengan melakukan banyak kegiatan di masa tua, misal dengan menulis. Jadi dengan menulis setiap hari otak akan terlatih merangkai kalimat yang mengakibatkan informasi dari satu sel otak akan tersambung ke sel yang lain.
Mengikat ilmu.
Iklatlah ilmu dengan menulis sebab ilmu itu seperti binatang ternak, jika kita menuliskannya ia akan jinak dan mudah kita kendalikan. Betapapun banyak ilmu yang kita peroleh namun kalau kita tak menuliskannya maka ia akan lari lagi dari kepala. Sudah saya kemukan di paragraph awal bahwa kita menikmati ilmu sekarang karean itu itu ditulis di kitab pada jaman dahulu, melintas waktu berabad abad.
Sayang sekali kalau saat ini misalnya kita adalah seorang pakar di bidang keilmuan tertentu tetapi taka da minat untuk menuliskan ilmu yang kia miliki. Nanti setelah tiada ilmu itu tak akan lagi dimanfaatkan orang sebab mereka tak bisa mengakses ilmu tersebut. Apa yang ditulis ulama dahulu kita nikmati hari ini, apa yang kita tulis hari ini tentu akan dinikmati oleh generasi mendatang. Seperti tabungan pengetahuan dan menjadi amal yang pahalanya mengalir.
Menulislah agar tetap eskis.
Setiap hari jutaan orang membuat status di media sosial, seperti WhatsApp, Facebook, Instagram dan lainnya. Apa tujuannya ? Tak lain biar tetap eksis secara pribadi ataupun eksis dalam dunia bisnis , organisasi atau bidang layanan di pemerintahan. Contoh mudah, memiliki Web menjadi wajib untuk sebuah madrasah. Landing page sangat perlu untuk memperlancar sebuah bisnis
Ternyata kita “dipaksa” oleh jaman untuk menulis juga. Meski dunia buku cetak meredup karena desakan media visual namun di media visualpun masih memerlukan jasa dari dunia tulis menulis. Contoh kecil untuk membuat caption pada sebuah gambar pun kita masih menggunakan jasa tulisan. Apalagi untuk sebuah web , setiap saat membutuhkan tulisan tulisan yang berupa artikel, opini ataupun puisi seperti dalam web milik LP Maa’rif ini, Belum lagi blog pribadi yang begitu melimpah di mesin pencarian Google. Ini bukti bahwa untuk bisa tetap eksis di era ini kita harus punya ketrampilan untuk menulis.
Katarsis
Sekitar tahun 2014 saya mengikuti sebuah pelatihan yang bertema pelepasan diri dari berbagai masalah dengan cara menulis. Tentor memberikan tuga tugas yang harus dikerjakan oleh para peserta yang berisi curhatan dari masalah yang sedang dihadapi. Boleh masalah sendiri atau masalah teman yang sedang dicurhatan pada peserta. Mula mula kita memaparkan masalah dalam susunan yang masih kasar. Berisi permasalahan , sebab dan jalan keluar yang mungkin bisa kita tempuh.
Bagian yang paling berefek katarsis ( pelepasan) adalah ketika menuliskan detil masalah dan perasaan saat itu. Peserta dianjurkan memilih diksi yang menyentuh perasaan, seperti : petapa pedihnya, betapa rindunya, rasanya seperti gelap , hatiku tercabik cabik , dan lainnya yang memotret suasana hati paling dalam. Nah, saat itulah pelepasan emosi negatif berlangsung. Usai menulis hati lebih lega, terbebas dari rasa tertekan. Semakin banyak kita menguras emosi negative dengan cara menulsikannya maka rasa tertekan semakin berkurang dan ahirnya lenyap dari hati kita.
-Sri Rohati, guru di MTs Ma’arif NU Kemalang Klaten.