Oleh Ali Achmadi
Pendidikan di Indonesia di era Merdeka Belajar, mengalami transformasi besar-besaran di bawah arahan Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Program ini membawa gagasan baru: memberikan keleluasaan lebih bagi sekolah untuk merancang kurikulum sesuai kebutuhan, mendorong pengembangan kompetensi siswa, dan memanfaatkan teknologi digital dalam proses belajar. Bagi sekolah umum, pendekatan ini disambut sebagai angin segar, tetapi bagi madrasah, program ini justru memunculkan sejumlah dilema yang rumit.
Madrasah, sebagai lembaga pendidikan Islam, memiliki karakteristik yang unik. Identitas madrasah sangat melekat dengan pengajaran agama, sehingga kurikulum mereka lebih padat dalam materi keagamaan dibandingkan sekolah umum. Di satu sisi, fleksibilitas kurikulum Merdeka Belajar membuka peluang untuk berinovasi. Namun, di sisi lain, kebebasan ini justru membuat madrasah harus mempertimbangkan keseimbangan antara pendidikan agama dan mata pelajaran umum. Apakah mereka bisa benar-benar menerapkan Merdeka Belajar tanpa mengorbankan esensi pendidikan agama yang menjadi identitas madrasah?
- Iklan -
Kendala dan Dilema Madrasah dalam Penerapan Merdeka Belajar
Merdeka Belajar mendorong siswa untuk tidak hanya menguasai teori, tetapi juga keterampilan praktis, soft skills, dan pembelajaran berbasis proyek. Di sini, madrasah menghadapi kendala besar. Tidak semua madrasah, terutama di daerah pedesaan, memiliki sumber daya yang cukup untuk mendukung model pembelajaran seperti ini. Banyak dari mereka kekurangan fasilitas, belum terhubung dengan teknologi digital yang memadai, dan bahkan tidak memiliki akses internet yang stabil. Dalam hal ini, madrasah tertinggal jauh dibandingkan dengan sekolah umum yang memiliki infrastruktur lebih baik.
Tidak hanya itu, Merdeka Belajar menuntut perubahan dalam sistem penilaian siswa. Sebelumnya, siswa madrasah lebih banyak dinilai berdasarkan tes tertulis dan hafalan. Tetapi dalam kebijakan baru ini, penilaian diarahkan untuk lebih holistik, meliputi keterampilan berpikir kritis, kolaborasi, dan kreativitas. Sementara sekolah umum sudah mulai menyesuaikan diri dengan sistem penilaian ini, madrasah menghadapi kesulitan karena guru-guru mereka mungkin belum terbiasa dengan metode evaluasi tersebut, atau tidak mendapatkan pelatihan yang cukup.
Dilema lainnya muncul dari masalah regulasi. Madrasah berada di bawah Kementerian Agama, sedangkan Merdeka Belajar dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan. Akibatnya, madrasah sering kali harus menavigasi arahan dari dua kementerian yang memiliki fokus dan kebijakan berbeda. Ketika sekolah umum dapat langsung menerapkan program Merdeka Belajar, madrasah harus menunggu arahan yang sesuai dari Kementerian Agama, yang bisa membuat implementasi kebijakan ini menjadi lebih lambat atau bahkan tertunda.
Lebih jauh lagi, madrasah juga menghadapi tantangan dalam mendukung kemajuan pendidikan inklusif yang diusung Merdeka Belajar. Sebagian besar madrasah, terutama yang berada di daerah terpencil, tidak memiliki fasilitas yang memadai untuk mendukung siswa dengan kebutuhan khusus. Pada saat yang sama, komunitas madrasah sering kali cenderung konservatif dan kurang terbuka terhadap pendekatan-pendekatan baru dalam pendidikan. Dilema ini menimbulkan hambatan dalam penerapan konsep inklusivitas dan partisipasi orang tua yang menjadi salah satu pilar Merdeka Belajar.
Di sisi lain, ada tantangan terkait dengan citra madrasah di masyarakat. Meskipun Merdeka Belajar bertujuan untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara menyeluruh, madrasah sering kali masih dipandang sebelah mata dibandingkan sekolah umum. Persepsi ini membuat dukungan bagi madrasah untuk menerapkan kebijakan-kebijakan baru sering kali kurang maksimal.
Merdeka Belajar juga mengajak siswa untuk lebih mandiri dalam proses belajar, sedangkan metode pengajaran di madrasah pada umumnya masih terstruktur secara tradisional, di mana peran guru sangat dominan. Tantangan ini memerlukan adaptasi baik dari guru maupun siswa untuk beralih ke pendekatan yang lebih mandiri, di mana siswa diajak lebih proaktif dalam proses belajar mereka.
Keberlanjutan Program Merdeka Belajar
Keberlanjutan program Merdeka Belajar di tengah pergantian pemerintahan menjadi salah satu tantangan tersendiri. Setiap kebijakan pendidikan, apalagi yang berskala besar seperti ini, sering kali terpengaruh oleh arah dan visi dari pemimpin baru, karena masing-masing memiliki prioritas, pandangan, dan pendekatan yang bisa berbeda.
Satu sisi, Merdeka Belajar adalah program yang didasari oleh kebutuhan nyata di lapangan dan memiliki dukungan dari banyak kalangan, mulai dari guru, siswa, hingga para praktisi pendidikan. Berbagai elemen seperti kurikulum berbasis kompetensi, Asesmen Kompetensi Minimum, dan Kampus Merdeka telah mulai diterapkan di seluruh Indonesia dan memberikan hasil positif, terutama dalam hal fleksibilitas belajar, relevansi pendidikan dengan dunia kerja, serta pengembangan kompetensi esensial siswa.
Jika pemimpin baru bisa melihat adanya bukti empiris dan dampak positif yang nyata di lapangan, ada kemungkinan besar bahwa inti dari Merdeka Belajar akan tetap dipertahankan. Dalam hal ini, pemerintahan berikutnya mungkin saja akan memberikan sentuhan baru, memperluas cakupan, atau melakukan modifikasi pada implementasi, tapi arah kebijakannya bisa tetap sejalan dengan prinsip dasar Merdeka Belajar.
Disisi yang lain, apabila pandangan masyarakat yang merasa keberatan dengan Merdeka Belajar diterima oleh pemimpin baru, maka pemerintah mungkin akan menyusun ulang strategi agar kurikulum ini lebih sesuai dengan kondisi di lapangan, khususnya bagi sekolah-sekolah di pedesaan yang masih menghadapi banyak keterbatasan.
Langkah pertama yang bisa dilakukan adalah mengevaluasi secara menyeluruh pelaksanaan Merdeka Belajar di daerah-daerah terpencil. Pemerintah baru kemungkinan akan menurunkan tim khusus untuk mengunjungi sekolah-sekolah pedesaan dan bertemu langsung dengan guru serta kepala sekolah guna memahami tantangan yang mereka hadapi. Dengan evaluasi ini, pemerintah akan mendapatkan gambaran konkret tentang kendala teknologi, keterbatasan akses internet, serta kurangnya perangkat komputer yang dialami sekolah-sekolah di daerah tersebut.
Setelah evaluasi, pemerintah mungkin akan memutuskan untuk menerapkan Merdeka Belajar secara bertahap dan adaptif. Dalam hal ini, sekolah-sekolah di pedesaan tidak diharuskan langsung menerapkan kurikulum penuh yang mengandalkan teknologi atau metode pembelajaran berbasis proyek. Sebaliknya, pemerintah bisa memberikan prioritas pada penguatan kemampuan dasar seperti literasi dan numerasi, yang kemudian akan dikembangkan secara bertahap sesuai dengan kemampuan infrastruktur di daerah tersebut.
Selain itu, pemerintah juga dapat melakukan upaya untuk memfokuskan investasi guna memperkuat infrastruktur pendidikan di daerah-daerah terpencil. Jaringan internet, penyediaan perangkat komputer, serta perbaikan fasilitas sekolah yang belum memadai akan menjadi prioritas pemerintah, terutama di wilayah pedesaan yang selama ini tertinggal dalam hal teknologi pendidikan. Dengan peningkatan fasilitas ini, sekolah-sekolah di pedesaan akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mengimplementasikan Merdeka Belajar tanpa terbebani oleh keterbatasan sarana dan prasarana.
Untuk mendukung guru-guru di daerah terpencil, pemerintah bisa menyediakan pelatihan khusus yang intensif. Guru-guru ini akan dibekali dengan kemampuan mengajar yang lebih fleksibel, metode berbasis proyek yang praktis, dan strategi untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan siswa di daerah mereka. Melalui pelatihan berkelanjutan, pemerintah dapat memastikan bahwa para guru merasa lebih siap dan percaya diri dalam menjalankan kurikulum ini.
Di sisi lain, pemerintah juga bisa menyesuaikan metode penilaian agar lebih relevan bagi siswa di pedesaan. Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang selama ini berbasis digital, bisa dimodifikasi atau digantikan dengan asesmen alternatif yang tidak memerlukan teknologi canggih. Penyesuaian ini penting agar siswa di daerah yang kurang memiliki fasilitas tidak merasa terbebani atau dirugikan dalam pencapaian standar nasional yang sama.
Pemerintah juga dapat mempertimbangkan untuk menyediakan dana khusus yang lebih besar bagi sekolah-sekolah di daerah pedesaan. Dana ini bisa dialokasikan untuk kebutuhan dasar seperti sarana dan prasarana, bahan belajar, serta biaya pelatihan guru. Skema pembiayaan yang lebih berkeadilan ini akan memungkinkan sekolah-sekolah di pedesaan untuk berkembang dan menyesuaikan diri dengan tuntutan kurikulum tanpa merasa terbebani.
Pada akhirnya, melalui evaluasi yang menyeluruh, penerapan bertahap, peningkatan fasilitas, pelatihan guru, penyesuaian asesmen, dukungan dana, dan dialog aktif, pemerintah baru diharapkan dapat menciptakan kurikulum Merdeka Belajar yang lebih inklusif dan adil bagi seluruh anak Indonesia. Dengan cara ini, Merdeka Belajar tidak hanya menguntungkan sekolah-sekolah di perkotaan, tetapi juga memberikan kesempatan yang setara bagi siswa di pedesaan untuk mengenyam pendidikan yang berkualitas. Jika upaya-upaya ini bisa dilakukan pemerintah, maka keresahan masyarakat akan isu seringnya pergantian kurikulum tidak perlu terjadi. Sehingga tidak ada kesan yang selama ini berkembang di masyarakat bahwa ganti mentri ganti kurikulum. Kalau ini yang terjadi yang menjadi korban adalah lembaga-lembaga pendidikan, terutama adalah anak-anak bangsa yang sedang mengenyam pendidikan.
Selain itu, ada juga faktor stabilitas kebijakan yang bisa dicapai melalui undang-undang. Jika prinsip-prinsip Merdeka Belajar dijadikan bagian dari peraturan yang memiliki kekuatan hukum, ini akan memastikan bahwa program tidak mudah dihentikan begitu saja dan diganti dengan kurikulum baru ketika terjadi pergantian pemerintahan.
Pada akhirnya, kita semua berharap langkah bijaksana dari pemerintah dalam kaitannya penerapan kurikulum dalam dunia pendidkan kita. Kurikulum Merdeka Belajar memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui fleksibilitas dan pengembangan keterampilan siswa, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kesiapan infrastruktur dan dukungan yang merata. Agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan, pemerintah perlu menerapkan kebijakan ini secara bertahap dan menyesuaikan penerapan dengan kondisi di berbagai daerah, khususnya yang memiliki keterbatasan fasilitas, dari pada sekedar bongkar pasang atau gonta ganti kurikulum.
–Ali Achmadi, Kabid Humas Yayasan Ar Raudloh Pakis-Tayu