Oleh Agus Wedi
Tak kurang-kurang bahan untuk membahas tentang Gus Dur. Dia bisa disorot dari berbagai bidang: keagamaan, kebudayaan, politik, ekonomi, gender, tasawuf, dan leluconnya. Mungkin benar bahwa tidak ada yang bisa memahami Gus Dur kecuali Gus Dur sendiri.
Saya sendiri memahami Gus Dur dari berbagai tulisannya di koran, majalah, buku dan pidatonya. Sudah barang pasti semua ini telah dilahap habis oleh pengagumnya. Di hari Haul Gus Dur ke-15, ini saya kembali berpikiran Gus Dur, karena berbagai kasus.
Di antaranya: lewat kasus Ahmadiyah di Kuningan yang dijegal pemerintah Kuningan, yang mana Gus Dur dulu sangat membela keberadaannya. Lewat kasus Miftah Maulana yang berceloteh “sembarangan” pada penjual es teh dan pada komedian Yati Pesek yang dibercandai istilah pekerja seks dan susu kadaluwarsa, padahal Gus Dur ketika berkelakar sangat santun dan berilmu demi menjaga kewarasan pribadi dan kolektif. Dan lewat lagu-lagu dangdut untuk Gus Dur.
- Iklan -
Jika Mohamad Sobary dulu mengatakan bahwa Gus Dur bak pemerintahan, yang sisi hidupnya memiliki arti “news”, sekarang Gus Dur-lah “news” itu sendiri. Semasa hidup, pernyataan-pernyataannya selalu dinanti oleh semua orang terhadap persoalan apa saja. Ketika wafat, Gus Dur tetap menjadi peneguh dan pencarian jawaban atas semua hal yang terjadi pada diri bangsa dan negara Indonesia.
Situasi Indonesia hari ini sangat gamblang. Maka, ketika persoalan terus tumbuh, seorang kawan nyeletuk, “mari berdangdut saja bersama Gus Dur. Pernyataan kawan itu tentu tidak akan menyakiti perasaan saya dan termasuk para pembaca. Sebab kita bisa mendengarkan lagu “Gus Dur Pendekar Rakyat”, ciptaan Dalang Poer, asal Ngawi, Jawa Timur.
Lagu “Gus Dur Pendekar Rakyat”, pernah dinyanyikan oleh Eny Sagita di acara Haul Gus Dur 2019, di Ciganjur. Kini, pada 14 Oktober 2024, kembali dirilis dan diviralkan oleh pedangdut Shinta Arsinta, asal Kediri, Jawa Timur. Lagu ini berkisah tentang penjatuhan Gus Dur dari kursi kepresidenan karena konspirasi jahat dari kelompok reformis palsu dengan menuduh Gus Dur terjerat berbagai kasus padahal tidak terbukti.
Kita dengarkan lagu ini: Ora ono rong taun nggonmu dadi presiden/ Dipekso mudun parlemen/ Jarene kasus ngono, jarene kasus ngene/ Neng raono nyatane. (Belum sampai dua tahun dirimu menjadi Presiden/ Dipaksa mundur oleh parlemen/ Katanya ada kasus itu, katanya ada kasus ini/ tapi tidak ada buktinya).
Bait di atas sangat jelas. Bait itu menjelaskan kekejaman yang terjadi pada Gus Dur. Memang Gus Dur dinaikkan sebagai Presiden di masa transisi Reformasi (1999-2001) oleh kelompok reformis dan sebagian sisa kekuatan politik Orde Baru. Tapi dia juga diturunkan sepihak oleh aktor-aktor politik Orde Baru itu dengan tuduhan-tuduhan kasus tanpa bukti.
Gus Dur pernah dituduh korupsi, misalnya dalam skandal Buloggate maupun Bruneigate yang muncul pada tahun 2000. Gus Dur pernah juga difitnah memangku seorang perempuan bernama Aryani dengan selebaran foto yang diviralkan. Gus Dur pernah dituduh mengangkangi undang-undang. Lagi-lagi semua itu tidak terbukti. Gus Dur malah merespons bahwa dia tidak melakukan korupsi dan tak mengenal Aryani. Di kasus terakhir bahkan dia bekelakar: “Kalau mau tuduh saya memangku cewek, jangan tanggung-tanggung, tuduh saya dengan cewek yang paling cantik di Indonesia”.
Kita beralih ke bait lain: Dadi lawan politik orde baru/ Dadi korban ambisi reformis palsu// Nadyan cacat netramu nanging ngerti batinmu/ Ngendi kucing ngendi asu/ LSM opo partai, ormas opo mung RT/ Sing penting tumindake. (Jadi lawan politik orda baru/ jadi korban ambisi reformis palsu// Meski cacat penglihatanmu tapi mengerti batinmu/ mana kucing mana anjing/ LSM apa partai, ormas apa RT/ Yang penting perilakunya).
Tiga babak tuduhan moralis itu dilewatkan secara sempurna oleh Gus Dur. Namun lagi-lagi dia menjadi korban ambisi palsu reformasi. Gus Dur terus dilewatkan pada lubang konflik, yakni kasus dualisme Kapolri yang akhirnya menjadi dasar DPR-MPR melakukan Sidang Istimewa pada 23 Juli 2001.
Di masa itu, masyarakat terbelah menjadi dua kubu, yang pro dan kontra Gus Dur. Keduanya sama-sama mendatangi Istana Kepresidenan di Jakarta. Masyarakat yang pro, mendatangi Jakarta dengan tujuan melakukan doa bersama. Sedangkan kelompok yang kontra mendesak supaya DPR/MPR segera mencopot Gus Dur.
Akhirnya, Sidang Istimewa MPR yang dipimpin Amien Rais itu memutuskan mencopot Gus Dur dari jabatannya sebagai presiden, tanpa melalui mekanisme hukum atau proses pengadilan. Mereka berdalih dengan alasan melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), walaupun tak pernah terbukti sampai saat ini.
Gus Dur keluar dari Istana Presiden menggunakan kaos berkerah silver dan celana pendek untuk menemui para pendukungnya. Pakaian tersebut sama sekali tidak ingin melecehkan istana presiden seperti yang dilontarkan musuh politiknya. Dengan sikap hormat dan rendah hati, Gus Dur dari istana mampu meredam massanya sehingga tidak terjadi kerusuhan.
Meski mata tak melihat, tapi mata batin Gus Dur mampu mencerna mana kebaikan dan kebatilan, mana kemaslahatan dan kemafsadatan, mana kucing mana anjing, mana LSM, partai, ormas dan RT. Bagi dia, tidak ada yang lebih tinggi dari kemanusiaan. Jabatan hanyalah titipan. Saat dilengserkan, Gus Dur meminta ulama, kiai, dan santri di lingkungan NU untuk tidak pergi berunjuk rasa dan membuat kegaduhan di Jakarta. Justru sebaliknya, Gus Dur meminta mereka untuk tetap meyakini kapabilitas pemerintah dalam menuntaskan persoalan politik dan bangsa.
Karena tumindake itulah, Gus Dur menjadi seorang presiden yang paling dicintai oleh rakyat. Walaupun memiliki background Islam dan NU, ia tetap dicintai tokoh lintas agama dan golongan di luar NU. Bahkan setumpuk julukan positif dan gelar positif disematkan kepadanya: pemikir, intelektual, budayawan, guru bangsa, waliyullah dan sebagainya. Kita kembali teringat pada sosok seribu julukan itu:
Kelingan welingmu sing prasojo/ Agomo ngayomi jagad royo// Sak lungamu akeh sing rumongso kelangan/ Pendekar rakyat sing wis lilo dadi korban/ Dijegal kono kene mergo mbelani rakyate/ Sing dianggep ra penting lan tansah disingkirake// Nadyan cacat netramu, nanging ngerti batinmu, endi kucing ngendi asu. (Teringat nasihatmu yang jelas dan sederhana/ Agama itu memberi kebaikan pada semesta// Sepeninggalmu, banyak yang merasa kehilangan/ Pendekar rakyat yang rela menjadi korban/ Dijerat sana-sini karena membela rakyat bawah/ yang terus-menerus dianggap tak penting dan disingkirkan/ Sekalipun matamu tak bisa melihat/ namun batinmu, mawas hingga sanggup bedakan mana kucing mana anjing).
Gema lagu ini jos. Tidak hanya melenturkan jempol dan pinggang untuk berjoget penuh penjiwaan bersama suara merdunya Shinta Arsinta. Tetapi lagu ini juga membuat kita bersedih karena Indonesia masih belum hilang dari masalah-masalah akut berkerak. Kita justru kehilangan dan membelakangi nasihat-nasihat Gus Dur: tentang demokrasi, konstitusi, toleransi, pluralisme, kemanusiaan, pemberantasan korupsi, hak asasi manusia, melindungi minoritas, kelakar yang tak menyakiti manusia lain, dan tentang arti menjadi (pemimpin) manusia sederhana. Itu.
-Agus Wedi. Peminat Kajian Sosial dan Keagamaan. Pemred Islamsantun.org. Tulisannya tersiar di NUmaarifjateng, Solopos, Jawa Pos, Kompas, Tempo, Suara Merdeka, Koran Jakarta, Tribun Jateng, Kabar Madura, Radar Madura, Kedaulatan Rakyat, detik.com, Arina.id, Arnolduswea, Muslimah Reformis, Rumah Kitab, KurungBuka, Iqra.id, Islam Santun, Harakatuna, MJS, Islami,co, alif.id, Idea-Idea, Jalandamai.org dan beberapa lainnya.