Oleh Damay Ar-Rahman
Langit terang seketika gelap karena asap tempur yang menggelegar dari lapangan Merdeka. Baru saja lahan itu diresmikan dan akan digelar pesta rakyat yang katanya sebagai persembahan untuk mereka yang terbunuh di jalan Subroto. Jalan itu kini telah menjadi tempat lintasan untuk bepergian yang mulanya harus menyebrang melalui kapal atau sampan. Namun, tidak semua dapat melaluinya, masyarakat lokal harus membayar walau dengan darah. Ah… mana ada dedikasi mereka, yang ada hanya pembataian. Acara peresmian itu, bukanlah persembahan maupun hadiah, atau apalah kata mereka, yang diketahui adalah kematian para nasib papa yang dipaksa bekerja siang malam, tanpa diberi makan hingga mati kelaparan.
Sebagai sosok wanita yang memiliki jiwa keprimanusiaan tinggi, Sari memutuskan ikut memerangi mereka yang telah tega kepada rakyat sipil. Semua berupaya untuk berkorban agar negeri ini selamat dari petaka-petaka manusia asing yang serakah. Kini, lapangan itu telah penuh darah dan potongan-potongan manusia di sepanjang jalan. Sari tetap teguh takkan pulang sebelum menang. Tetapi, ke mana semua orang. Kelompoknya telah melarikan diri sebelum perjuangan dimulai.
Bendera-bendera yang mulanya dikibarkan dengan kokoh harus terinjak oleh para manusia yang berlarian menghindari tembakan. Sari menatap suasana mencekam di lapangan dengan dada sesak juga kalut, rambut kepangnya terkotori debu-debu ledakan meriam dengan bola-bola raksasa dihantam ke tanah untuk menakuti orang-orang berpakaian putih, sehingga bertambah dahsyatlah kengerian di sekitar. Seketika jalan raya berubah menjadi kota hancur bagaikan habis diterjang tsunami. Darah-darah terciprat ke rumput-rumput dan semakin banyak korban dengan berbagai luka di sekujur tubuh. Diantara mereka sudah tak lagi bernyawa. Tindakan ini lebih buruk dari pada psikopat.
- Iklan -
Sari menerobos orang-orang yang telah kebingungan mencari tujuan. Saat ia berada di simpang jembatan Ampera, seseorang memanggilnya dari jauh. Sari samar-samar mendengar. Ia mencari asal suara tersebut. Namun, karena desaknya para manusia di lapangan membuatnya sulit mencari.
“Sari,” teriak seorang pemuda dari jauh meski suara itu dibaluti dengan puing-puing bangunan runtuh dan tembakan. Tak lama kemudian dua pria bertubuh kekar datang dari belakang lalu melingkarkan tangan mereka ke leher pemuda yang diseret paksa menuju sebuah tempat. Sari melihatnya dengan ketakutan dan ia seketika panik lalu berlari kencang hingga menabrak Sekar sang pengarang puisi yang dua hari lalu karyanya dimuat oleh sebuah surat kabar. Bisa jadi, salah satu pendorong Jepang untuk menghabisi kongres perjuangan tanah air disebabkan puisi Sekar yang berapi-api menentang Jepang karena menjajah Indonesia.
Sekar akhirnya berhasil membawa sebuah kotak berisikan perjanjian sengketa tanah. Di dalamnya tidak hanya sertifikat, tetapi juga beberapa dokumen penting yang menurut mereka dapat membantu negara.
“Ini yang dicari mereka Sari.”
“Syukurlah.”Jawabnya namun tanpa senyum. Perasaannya bercampur aduk lantaran Sadirman kekasihnya ditangkap.
“Dirman di mana?”
“Aku melihatnya dibawa oleh Jepang.” Sari menjawab terbata-bata dan tanpa terasa air mata hangatnya runtuh menyapu debu tanah di pipinya.
“Oh Tuhan bagaimana bisa, semoga ia tak dihabisi.”
Sari semakin takut dengan ucapan Sekar. Banyak kekalutan membebani pikirannya. Mereka akhirnya terpecah untuk berupaya menemukan Dirman. Barangkali ia tak jauh di bawa oleh penjajah itu. Sari berteriak berkali-kali memanggil kekasihnya. Di keramaian ia tetap berteriak, hingga akhinya sampai di semak-semak yang tak jauh dari lokasi pembantaian masal.
Dirman tidak terlihat. Akhirnya Sari memutuskan untuk kembali mencari. Tetapi, ada yang lebih mengejutkan. Lihatlah, di tengah-tengah kursi berkayu jati itu seorang pria berjas hitam duduk dengan tegap lalu menyilangkan kaki. Disekelilingnya para tantara bermata sipit duduk seperti sedang mendengar patuh ucapan pria tersebut. Sari mengurungkan niatnya untuk kembali mencari Dirman. Ia yakin Dirman akan kembali. Informasi yang akan ia dengar memberikan petunjuk untuk pembebasan negara tercinta. Meskipun salah satu diantara meraka adalah darah daging ibu dan ayahnya yang menjadi salah satu antek Jepang, bahkan berperan orang terpenting yang membantu.
“Hoi dengarkan aku. Aku akan menghancurkan mereka yang berani melawan.” Ucapnya dengan wajah angkuh. Suara gorden berlapis benang hitam mengibas kaca jendela seakan-akan menghardik ucapannya yang penuh khianat. Sari benar-benar tak menyangka jika saudara kandungnya itu serius sekali membantu penjajah.
Lima hari sebelum kejadian. Sari mengetik sebuah artikel tentang kesengsaraan rakyat saat Jepang menguasai dan menindas habis-habisan masyarakat sipil. Mereka memperbudak dan memperlakukan rakyat semena-mena. Sistem kerja paksa yang diberikan membunuh setiap rongga para lelaki. Beberapa diantaranya adalah perempuan yang kemungkinan berusia empat puluh atau lima puluh tahun turut menjadi pekerja tanpa diberi waktu beristirahat. Kapan mereka akan bernafas dari lelahnya kekejian itu, tentunya adalah kematian. Menahan lapar dan keringnya kerongkongan membuat para pekerja yang tak digaji sepeser buta pun akhirnya menyerah pada hidup. Lebih baik mati dengan membangun jalan dan rel kereta untuk anak cucu yang tersisa di masa depan meski perih dan sakit daripada lari yang akhirnya juga akan sia-sia. Beberapa diantara mereka berusaha kabur. Tetapi, terdapat juga orang-orang pekerja itu yang berani melapor karena berharap akan diberikan kebebasan. Namun, penjajah tetap penjajah. Mereka adalah penjahat, pembohong, dan perampas. Tidak ada namanya kebebasan, jika ada buat apa menjajah. Mayat-mayat tak berdosa akan dibuang layaknya bangkai binatang yang menjijikkan. Sesungguhnya, merekalah yang pantas mendapatkannya. Para manusia yang tidak bersalah itu harus terbunuh dalam keadaan penuh luka juga tragis. Anak-anak banyak menjadi yatim, dan para janda akhirnya mengadaikan dirinya sebagai budak pemuas nafsu. Jika tak mendapatkannya maka bersedia menjadi pembantu dengan bayaran makanan gratis. Para gadis termasuk Sari juga tak luput dalam penghinaan dan penyerangan bertubi-tubi. Tetapi, ia berasal dari jiwa pejuang. Yaitu kakeknya yang hidup pada masa Belanda.
“Aku adalah darah dari leluhur pahlawan. Mati adalah pengabdian, bertemu dengan kakek di surga adalah Impian. Melihat dari sana tanah air merdeka merupakan cita-cita.” Ungkapnya.
Artikel buatannya banyak menerima pujian terutama dari keluarga yang kehilangan anak dan suaminya. Mereka mengharapkan para anak muda untuk membantu melepaskan rakyat dari jeratan ini. Sari melihat namanya terpampang di surat kabar. Ia sulit bahagia di saat hancurnya seluruh bangsa. Ia tidak tersenyum segarispun meski karyanya disukai. Ia menatap gagah setiap baris-barisan tulisannya. Sari membuatnya dengan ketulusan, cinta, dan pengharapan. Jikapun ia harus mati ditangan penjajah atau mungkin di saudara kandungnya sendiri. Ini benar-benar bomerang. Dilema awalnya Sari memikirkan keputusannya bergabung dengan kongres. Gadis itu sejak kecil terkenal cerdas dan pemberani. Almarhum ayah sering memuji jiwa gigihnya untuk bahagia di masa depan. Setiap sore saat ayah pulang dari kantor pos, ia akan menyalami lalu memeluknya untuk membisikkan ilmu yang telah ia pelajari selama di sekolah. Pergi ke belakang rumah bermain ayunan. Sambil tertawa melihat langit cerah lalu berimajinasi tentang-tentang hal-hal menakjubkan di sana.
Namun, esoknya ia tak menemukan wajah ayah di pintu rumah. Barangkali, ia harus menunggu di pagar agar paras sendu sang ayah cepat terlihat. Langit semakin jingga. Perlahan-lahan matahari terbenam dan akan menuju malam. Ayah masih belum pulang. Sari menangis kesepian. Ibunya telah pergi meninggalkan dirinya saat berusia dua belas bulan karena memilih pria lain yang juga seorang antek Belanda. Kehidupan mewah membuat ibunya lupa terhadap dirinya yang malang. Kini siapa yang akan membangukannya untuk belajar, mengaji, dan juga membuatkan makanan. Hanya ada abang di dalam kamar. Diam-diam anak lelaki bernama Nio itu mengintip dari balik tirai. Ia heran mengapa ayah tak pulang. Iapun melihat adiknya duduk sendirian di malam buta. Menyandarkan bahu dan kepala di pagar. Nio tak tega, ia keluar dan ikut menemani. Sari menatap Nio dihadapannya. Kedua manusia bocah itu saling diam dan tak lama kemudian hujan turun deras. Nio menarik pelan lengan adiknya. Tetapi, Sari masih ingin di sini menunggu.
“Nanti ayah akan kembali Sari.”
Sari diam
“Jika kamu sakit, ayah akan sedih.” Nio Kembali membujuk.
Malam itu adalah suasana suram yang tak dapat dijadikan kenangan indah seperti hari-hari lalu. Belasan tahun kemudian, hasil uang dari ladang pinjaman membuat mereka tumbuh dewasa. Tidak hanya Nio, Sari juga ikut bekerja. Tak lama setelah kepergian Belanda, Jepang datang memporak-poranda. Sari geram atas situasi yang tak kunjung reda. Sempat ia membawa bambu tajam untuk mengancam. Ternyata Nio, ada di belakang mereka. Bergabung sebagai anggota biasa dan kemudian ia memiliki pangkat tinggi.
Sari tersentak dari tidurnya. Ia terlelap di bawah gubuk lama. Terlihat Sekar juga ikut terlelap di atas daun pisang. Mereka hanya berdua, Dirman masih belum ditemukan. Apakah Sadirman juga akan bernasib seperti ayahnya. Tanpa minum seteguk airpun Sari langsung berfikiran buruk, bahwa Dirman mungkin saja dibunuh atau dimutilasi. Lebih memerihkan jika harus menerima siksaan terlebih dahulu seperti disetrum atau dilibas dengan cambuk. Tak sanggup Sari memikirkannya, semoga Tuhan menjaga Dirman dan pejuang lainnya. Kicau burung terdengar merdu di balik ruyuk. Lalu terbang entah kemana. Sari melihat langit cerah, seakan-akan ayah di sana sedang memandang.
“Jika aku punya sayap, maka akan sangat mudah kuhabisi mereka.” Ungkap Sari dengan tangan mengeram.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Akan aku temui mereka, kutantang mereka.”
“Apakah kau yakin?” Tanya Sari ragu.
“Kau berada di pihak mana penyair?”
“Tentu berada di belakangmu.” Jawabnya lantang.
“Jika begitu, ikutlah aku. Akan kita hadapi mereka dengan apapun.”
Kedua gadis itupun menuju markas berpintu cokelat muda sambil memegang parang. Di dalamnya rumah berbentuk ala Belanda Sari dan Sekar tanpa takut masuk dibaluti keringat yang membasahi area dada dan punggung. Terlihat sepuluh tentara menatap tajam pada mereka. Lalu melirik ke bagian intim dan buah dada Sekar. Para pria bernafsu itu, melihat dengan penuh daya. Lalu mereka menjilat bibir yang mulai memanaskan gairah. Kedua gadis itu akan menjadi mangsa terpuas. Dengan sesaat parang yang menjadi senjata Sari dan Sekar direbut. Mereka terkepung, diseret paksa ke kamar komandan. Teriakan Sari memecahkan hening di siang terang dan di atas ranjang telah bersimbah darah.
Biodata Penulis
Damay Ar-Rahman atau Damayanti adalah alumni Universitas Malikussaleh dan Pascasarjana IAIN Lhokseumawe. Pegiat edukasi dan sastra ini bekerja di Banda Aceh dan kota asalnya dari Lhokseumawe. Penulis memiliki sepuluh buku tunggal diantaranya Aksara Kerinduan (2017), Serpihan Kata (2018), Senandung Kata (2018), Bulan di Mata Airin (2018), Dalam Melodi Rindu (2019), Akhir Antara Kisah Aku dan Kamu (2020), Di Bawah Naungan Senja jilid 1&2 (2022), Musafir (2022), dan Hati yang Kembali. Tulisannya dimuat oleh berbagai surat kabar lokal, nasional, dan Malaysia. Ig/Fb @damay_ar-rahman