Oleh: M. Iqbal Dawami
Seperti benih yang jatuh di tanah subur dan terus tumbuh meski tersembunyi dari pandangan, begitu pula mimpi Niam dan Mirza, dua santri asal Pati yang berjuang dalam sunyi di sebuah pesantren yang terletak di lereng Gunung Muria, Kudus. Sebuah kisah yang terjadi di awal tahun 2000-an.
Di tengah kesederhanaan hidup di pesantren, mereka menumbuhkan cinta yang tak terduga—cinta terhadap dunia sastra. Meski hidup mereka sehari-hari diisi dengan jadwal mengaji dan kegiatan pesantren, di sela-sela itu, mereka menemukan cara untuk merangkai kata-kata dan menjelajah dunia yang berbeda.
Setelah melaksanakan shalat subuh dan mengaji, keduanya sering kali menuju pasar tradisional di sekitar pesantren. Mereka punya tujuan yang sederhana: berburu koran bekas. Yang mereka cari adalah koran yang terbit di hari Minggu. Karena di koran edisi itu biasanya terbit cerita pendek, puisi, dan esai. Keduanya tidak memandang koran-koran bekas itu sebagai sampah, melainkan harta karun yang berisi inspirasi.
- Iklan -
Setibanya di pasar, dengan uang saku seadanya, mereka memilih beberapa koran yang sudah lusuh. Mereka membawa pulang kertas-kertas itu dengan penuh semangat, membayangkan dunia di balik setiap tulisan yang akan mereka temui. Begitu sampai di kamar pondok, mereka duduk bersisian, membuka lembar demi lembar dengan hati-hati, seolah sedang menggali tambang emas yang tersembunyi.
Mirza terpesona dengan cerpen dan puisi, sementara Niam terpikat oleh esai-esai di rubrik Parodi karya Samuel Mulia di Kompas. Setiap esai seakan membawa Niam pada cara berpikir yang baru, memperlihatkan sudut pandang yang mungkin tak pernah ia lihat sebelumnya.
Mereka tak hanya membaca, tapi juga mempelajari. Potongan cerpen dan puisi dari koran itu mereka kliping, ditempel rapi di dinding kamar mereka yang sederhana. Setiap kali ada waktu luang di sela-sela kegiatan pondok, mereka akan membaca ulang kliping-kliping itu, meresapi makna di balik kata-kata dan merasakan emosi yang tertuang dalam setiap kalimat. Itu menjadi “perpustakaan” kecil mereka—koleksi pribadi yang memperkaya jiwa mereka dalam diam.
Lama-kelamaan, Niam dan Mirza mulai menulis sendiri. Mereka mencoba merangkai kata menjadi puisi, menciptakan cerita pendek, dan bahkan menulis esai. Di buku catatan seadanya, mereka mencatat ide-ide dan ungkapan hati yang muncul dari setiap pengalaman sehari-hari. Bagi mereka, menulis adalah cara berbicara dalam sunyi, mengekspresikan apa yang tak selalu bisa disampaikan dengan lisan.
Ini yang menarik. Saat ada uang lebih, mereka pergi ke warnet untuk mengetik karya-karya mereka. Di pesantren sederhana tidak ada fasilitas komputer. Mereka rela menyisihkan uang saku agar karya itu bisa tersimpan lebih rapi dan mungkin, suatu saat, bisa diterbitkan. Bulan demi bulan, bahkan hingga bertahun-tahun, rutinitas itu terus berlanjut. Bagi mereka, warnet bukan sekadar tempat mengetik, tapi jendela menuju mimpi-mimpi mereka.
Akhirnya, setelah bertahun-tahun, buah dari ketekunan itu mulai terlihat. Setelah mereka lulus dari pesantren, karya-karya mereka mulai muncul di beberapa media. Nama Niam dan Mirza sebagai penulis muda mulai dikenal, dan mereka semakin mendalami puisi sebagai medium favorit untuk menyampaikan perasaan dan pemikiran mereka. Puisi menjadi napas mereka, medium yang ringkas namun penuh makna, tempat mereka bisa mengungkapkan segala hal yang selama ini tersimpan dalam hati.
Barangkali buku Kitab Cinta Mama Papa, karya Niam, muncul sebagai wujud dari perjalanan panjangnya dalam menulis. Gaya tulisan Niam dalam buku itu memiliki sentuhan yang mirip dengan Samuel Mulia. Buku tersebut terasa ringan, menghibur, dan penuh dengan renungan kehidupan sehari-hari. Membaca Kitab Cinta Mama Papa seolah berbincang dengan teman akrab, membawa saya memasuki labirin dunia pernikahan dengan lika-likunya.
Kisah keduanya bukan hanya tentang ketekunan dua santri dalam meraih mimpi, tapi juga tentang bagaimana mimpi itu tumbuh dari kesederhanaan. Di balik dinding pesantren yang jauh dari keramaian kota, di lereng Muria yang tenang, mereka menemukan dunia kata-kata yang begitu luas. Mereka membuktikan bahwa dari secarik koran bekas, dari kamar sederhana di pesantren, bisa lahir karya-karya otentik, dan dari ketekunan, dunia sastra telah mendapatkan dua penulis yang penuh cinta dan kesederhanaan.
Iqbal Dawami, Penulis esai, editor buku dan menulis diberbagai media