Oleh: Muhammad Muzadi Rizki *)
Bulan November menjadi bulannya para guru. Hal ini ditandai dengan peluncuran Bulan Guru Nasional oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, di SD Negeri 59 Kota Palembang (1/11). Bulan November sebagai Bulan Guru Nasional dinilai tepat karena di bulan ini terdapat peringatan Hari Guru Nasional (HGN), yakni tanggal 25 November.
Ada pesan penting dari Pak Mu’ti terkait Hari Guru Nasional 2024. Ia menekankan bahwa perayaan HGN ini tidak boleh lagi sebatas seremonial, tetapi harus dimaknai mendalam dan meneguhkan kembali komitmen dalam mendukung dan menghargai profesi guru sebagai pilar pendidikan. Hari Guru menjadi waktu yang tepat, starting point untuk mengevaluasi total seluruh kebijakan (pendidikan) dan menata ulang cara pandang terhadap guru.
Jika kita melihat hari-hari ini, guru menjadi profesi yang miris. Dulu, figur guru sangat disegani, sekarang justru berbanding terbalik: non-values. Guru tidak lagi memiliki ruang gerak yang bebas dalam mendidik. “Salah langkah” saja, misal dibumbui dengan menepuk siswa atau mencubit karena tidak bisa ditegur secara lisan, guru langsung dikecam dan dibalas secara “biadab”.
- Iklan -
Yang paling menggemparkan, contohnya kasus guru Supriyani. Ia dituduh menganiaya siswanya, dan disodori dua pilihan; membayar mediasi damai RP 50 juta atau jadi tersangka. Bergeser ke Bengkulu, terdapat kasus guru diketapel walimurid yang mengakibatkan buta permanen. Berikutnya, guru PAI SMK di NTB dituntut Rp 50 Juta, akibat pukul pelan siswa yang tak mau Sholat. Dan masih banyak lagi kasus-kasus guru dikriminalisasi dan diserang secara fisik.
Dari rentetan kasus di atas meninggalkan efek panjang bagi kalangan guru. Ada yang khawatir. Namun, banyak juga justru merespon kasus tersebut dengan membuat video satire yang disebar di media sosial—Tiktok, Youtube Short, dan Instagram. Video tersebut menampilkan adegan siswa yang sedang berantem, lagi santai di kantin padahal masih Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), hingga bikin gaduh di kelas. Tindakan guru kompak acuh secara sengaja. Tidak ada guru yang memedulikannya.
Guru melakukan pembiaran lantaran takut jika melerai dan menegur para siswa akan menjadi bomerang bagi dirinya. Guru justru menjadi pihak yang dipersalahkan. Inilah pesan menohok melalui video short “pembiaran” kepada walimurid/masyarakat yang tiba-tiba suka menyerang secara fisik atau melimpahkan ke proses hukum tanpa adanya diskusi terlebih dahulu.
Tidak sedikit video satire ini mendapat respon positif dari netizen. Netizen sangat geram dengan walimurid sekarang yang mudah tersulut emosi. Mayoritas netizen bergumam membandingkan dirinya sewaktu jadi siswa nihil pemukulan hingga pemrosesan hukum kepada guru. Ketika guru menghukum dirinya dan lapor ke orang tua, merekalah yang dimarahi oleh orang tua. Sangat jauh berbeda dengan kondisi saat ini.
Netizen setuju dengan aksi video “pembiaran terhadap siswa” yang di-share cukup masif oleh jaringan guru. Netizen meninggalkan pesan supaya walimurid sadar bahwa jika guru merealisasikan tindakan yang ada di video, itu akan mengakibatkan ceruk destruktif bagi tatanan makro maupun mikro.
Pertama, makro, ketika guru bersikap acuh terhadap tugas dan tanggung jawabnya, itu adalah sinyal bahaya bagi suatu negara. Sebab, guru merupakan ujung tombak pembangun peradaban. Negara bisa maju karena terisi oleh Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan unggul. Dan adapun yang berperan dalam membentuk SDM tersebut ialah guru melalui pendidikannya.
Kedua, mikro, guru yang acuh berdampak pada kesemrawutan di lingkungan masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena sekolah sebagai rekayasa sosial berjalan hanya menggugurkan kewajiban mengajar (transfer of knowledge). Guru tidak lagi memberikan sebuah teladan. Tidak ada pembentukan moral, akhlak, wisdom, hingga karakter (transfer of character). Situasi seperti ini tentunya cenderung melahirkan peserta didik sebagai entitas yang indisipliner.
Kasus guru yang ada juga menjadi sorotan banyak pihak. Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla turut mengomentari secara bernas. Menurutnya, sangat disayangkan dan kasihan dengan nasib guru saat ini, menyentuh sedikit, langsung lapor polisi. Alangkah baiknya guru yang memukul selagi masih dalam koridor mendidik, tak usah dipermasalahkan. Bisa jadi itu pelecut transformasi diri. Pak JK, sapaan akrabnya, kemudian memotivasi dan membagikan pengalamannya, “Kita maju (pandai, berkarakter, dan beradab) karena dipukul rotan guru.”
Menjadi urgen Pemerintah harus bertindak, mereposisi marwah guru. Pelaku dan praktisi pendidikan mengusulkan lahirnya payung hukum Undang-Undang Perlindungan Guru. Usulan ini merupakan salah satu langkah solutif demi terciptanya kenyamanan guru dalam mendidik. Tidak dapat dimungkiri, dan ini juga dicermati oleh Wapres RI ke-14, Gibran Rakabumingraka, bahwa kecenderungan saat ini memanfaatkan UU Perlindungan Anak sebagai senjata untuk menyerang guru.
Lahirnya UU Perlindungan Guru dalam rangka melahirkan jaminan perlindungan terhadap profesi yang menjadi jembatan untuk masa depan bangsa ini tetap dapat dimaksimalkan. Dan yang perlu dicermati, adanya perlindungan hukum terhadap guru bukan berarti mengenyampingkan ketentuan hukum tentang perlindungan anak. Jaminan terhadap perlindungan Anak di lingkungan sekolah akan tetap berjalan.
Pada akhirnya, Guru tidak boleh menjadi profesi yang terdegradasi. Kondisi suatu bangsa bergantung pada kualitas pendidikannya, dan kualitas pendidikan tidak dapat dipisahkan dari peran guru. Guru yang kompeten, reflektif, dedikatif, dan didukung dengan baik adalah kunci utama untuk mencetak SDM yang unggul serta tangguh. Guru harus ditempatkan kembali di garda terdepan dalam pembangunan bangsa. Di tangan mereka, harapan dan masa depan sebuah bangsa berada.
Sangat dinanti aksi nyata pemerintah dalam mengembalikan marwah guru!.
*) tukang ketik di SlideCenter Indonesia