Oleh Inggar Saputra
Membaca dan menulis adalah sebuah tradisi dalam kehidupan guru bangsa di Indonesia. Dengan membaca, kita melatih pikiran untuk bekerja. Mereka yang membaca, tidak hanya melihat kedalaman sebuah buku. Tetapi juga berusaha menganalisis dan mempraktekan kandungan di dalamnya. Sebuah bacaan juga berpengaruh dalam membawa emosi dan pikiran untuk kemudian kita hijrah menuju kehidupan yang lebih baik.
Seorang pembaca yang baik, tidak hanya melahap isi buku bacaan. Tetapi juga merenungi apa yang sudah dibaca. Sebab literasi tidak dimaknai sekedar membaca buku, melainkan bagaimana mengamalkan isi buku tersebut. Pembaca yang baik, bukan sekedar membaca kata demi kata kemudian kehilangan makna. Justru membaca kata adalah awal dari berfikir, tetapi menulis dan beramal adalah akhir dari sebuah proses membaca.
Di Indonesia, Gus Dur dan Habibie adalah sosok guru bangsa yang sangat mencintai buku sebagai sumber ilmu pengetahuan. Keinginan membaca buku sudah tumbuh dalam kepribadian Gus Dur sejak usia muda. Ketika mengunjungi toko buku, Gus Dur sangat suka membuka lembar demi lembar halaman buku, membacanya dengan cepat. Jika ada sesuatu yang menarik, Gus Dur akan membaca lebih lambat. Jika sudah selesai membaca, buku kembali ditaruh raknya karena beliau sudah paham isi buku tersebut.
- Iklan -
Sebagai orang yang mencintai ilmu, kebahagiaan Gus Dur adalah membaca buku di mana saja dan kapan saja. Tak mengenal tempat, ruang dan waktu dan hebatnya bacaan beliau sangat beragam. Buku agama, politik, sastra, ekonomi, politik ”dilahap” tanpa mengenal bosan. Secara rutin, pikirannya terus diasah, intelektualnya dipertajam, dan tak semenit pun beliau membiarkan pikiran berpuasa. Dengan membaca, Gus Dur memberikan makan pikiran dan dialektika merupakan minuman yang menyegarkan.
Koleksi buku yang beragam dan kesukaannya membaca literatur berbahasa asing sukses membentuknya menjadi seorang polygot. Budaya membaca dengan bahasa Arab, Inggris, Belanda dan Prancis membuatnya perlahan menguasai bahasa tersebut. Kemampuan ini membuatnya beranjak ke dunia menulis, sehingga banyak tulisannya menarik perhatian membaca. Tulisan Gus Dur menghadirkan kajian yang komprehensif, analisis yang tajam dan mampu menggugah pembacanya berfikir dan bergerak. Inilah hakikat membaca sebagai pintu gerbang kita memasuki dunia menulis.
Serupa, guru bangsa lain dengan tingkat literasi tinggi adalah Habibie. Menurut pengakuannya, hidupnya banyak dihabiskan dengan banyak penasaran dan sedikit tidur. Tidur Habibie hanya empat jam sehari, sisanya dihabiskan bertanya dan membaca kondisi sekitarnya. Sikap kepo selalu muncul atas peristiwa di sekitarnya, sehingga menuntutnya banyak membaca. Disiplin membaca ditunjukkannya dengan membaca buku sebanyak 7,5 jam dalam sehari.
Dari rasa penasaran, mengamati lingkungan sekitar, kemudian membaca membuat intelektualnya tumbuh. Kekuatan intelektual Habibie bukan sekedar bakat, melainkan diasah dan dijaga dengan membaca buku. Suatu waktu, Habibie membaca buku Jules Verne mengenai petualangan balon udara. Selesai membaca, imajinasi kreatif membayangkan betapa Indonesia adalah negara kepulauan yang luas. Untuk berkeliling Indonesia dibutuhkan transportasi udara sebagai penghubung antar pulau.
Kondisi itu membuatnya bermimpi membuat pesawat terbang, sehingga mengambil kuliah jurusan teknik penerbangan. Dengan kehebatan intelektualnya, selama di Jerman semua buku dan pelajaran mengenai konstruksi pesawat terbang dilahapnya. Dunia dan masyarakat kemudian mengenal karya besarnya berupa pesawat terbaik pada zamannya. Julukan Mr Crack melekat kepadanya karena penemuan terbaiknya mengenai rumus menghitung tingkat “keretakkan” pada pesawat terbang sampai ke tingkat atom.
Takdir membawanya kepada perpisahan dengan Hasri Ainun Besari yang sangat dicintainya. Dalam kondisi terpuruk, tertekan dan kehilangan harapan hidup. Habibie kemudian konsultasi ke psikiater, diberikan empat pilihan yaitu dirawat di rumah sakit jiwa, dirawat di rumah dengan perawatan dokter, curhat dan menulis. Pilihan menulis diambil Habibie, yang kemudian tulisannya dibaca banyak orang. Buku karya Habibie juga dicetak dalam bahasa asing seperti Inggris, Arab dan Jerman yang semakin melambungkan namanya.
-Inggar Saputra, peneliti dan penggiat literasi Rumah Produktif Indonesia.