*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
/*/
Sastra memiliki posisi strategis dalam mengembangan dan membentuk sikap dan sifat-sifat kemanusiaan yang universal. Ungkapan bijak: “Jika politik bengkok, puisi akan meluruskannya! Jika politik kotor, puisi akan membersihkannya!” Ungkapan tersebut menyiratkan puisi dan genre sastra lainnya memiliki daya suci, ada suara Tuhan, ada suara kebenaran dan malaikat penjaga di sana. Ungkapan tersebut menegaskan bahwa sastra adalah parajanana, penjaga kebenaran, penjaga kemanusiaan. Sastra bagian tak terpisahkan dari kehidupan dan kemanusiaan.
Sastra tak hanya melulu soal estetika. Sastra adalah “kerja intelektual”, “sastra adalah proses bernalar” bukan sekedar lamunan apalagi hanya ekspresi curhat tentang cinta atau patah hati. Sastra adalah wujud dari proses memikirkan, memahami kehidupan dan berbagai fenomena yang terwujud dalam kekuatan estetika bahasa. Sastra adalah nalar dan keindahan. Sastra adalah wujud dari proses berpikir untuk mengidentifikasi, pemilihan dan penawaran sikap, cara pandang, dan sikap kritis dalam membelah dan menyikapi sebuah fenomena. Sastra adalah produk dan struktur pemikiran yang menuntut kemampaun penguasaan lintas ilmu seperti filsafat, politik, sejarah, psikologi, teologi, social, dan seni.
- Iklan -
Sastra Indonesia sejak dulu sudah diyakini memiliki peran dan posisi yang strategis, bahkan vital yang tidak hanya berpaut pada pengembangan personal, tetapi juga berpilin dengan eksistensi kebangsaan. Sebagai anak kandung bahasa, maka sastra Indonesia memiliki posisi sebagai identitas bangsa. Tak hanya sebagai identitas bangsa, sastra Indonesia pun memiliki posisi penting sebagai penjaga dan perawat kebinekaan. Sastra Indonesia mempunyai peran besar dalam menjaga, meneguhkan dan merawat kebinekaan. Pluralitas dalam teks sastra yang dibangun oleh pluralitas kultur etnik dapat dikenali, dihayati dan dihargai oleh pembaca. Melalui teks-teks sastra para pembaca dari klutur etnik tertuntu dapat mengenali, menghayati dan pada akhirnya menghargai perbedaan kultur etnik yang berbeda. Melalui teks-teks sastra, pembaca di Jawa dapat mengenali kultur etnik Aceh, kultur etnik papua, atau yang lain (demikian sebaliknya) yang pada gilirannya akan sampai pada penghargaan atau saling menghargai berbagai kultur etnik tersebut. Melalui teks sastra seorang pembaca bisa melakukan muhibah budaya ke berbagai pelosok Indonesia.
Posisi sastra Indonesia yang tak kalah pentingnya adalah perannya dalam membangun karakter anak bangsa. Sastra memiliki tautan erat dengan pendidikan karakter karena sastra membicarakan nilai hidup dan kehidupan. Friedrich Schiller menegaskan bahwa sastra bisa menjadi penyeimbang segenap kemampuan mental manusia. Melalui sastra, seseorang diasah kreativitasnya, perasaan, kepekaan dan sensitivitas kemanusiaannya.. Sastra tak hanya berfungsi sebagai agen pendidikan namun juga memupuk kehalusan adab dan budi yang pada gilirannya akan membentuk masyarakat yang beradab.
Melihat posisi penting sastra Indonesia maka perlu dilakukan penguatan-penguatan sastra, sehingga sastra tidak lagi menjadi ‘barang aneh’ dan marginal di kalangan masyarakat. Untuk menguatkan keberadaan sastra, maka harus dikuatkan pula ekosistem sastra. Sebagai sebuah ekosistem, sastra memiliki beberapa anasir yang berkait dan berpilin satu dengan yang lain. Anasir-anasir itu antara lain adalah sastrawan/penulis, karya sastra, pembaca, penerbit, media massa, kritikus, masyarakat luas, komunitas-komunitas sastra, dan pendidikan formal.
Tulisan ini hanya akan mefokuskan pada keberadaan komunitas sastra dengan lebih spesifik lagi mengkhususkan pada persoalan strategi dan regenerasi. Tulisan ini pun walau menyoal strategi dan regenerasi komunitas sastra, tidak akan memunculkan formula paling sip dan tepat dalam pengelolaan komunitas sastra.
/**/
Komunitas sastra sebenarnya bukan barang baru dalam konstelasi sastra Indonesia. Dalam buku “ Seniman Senin” digambarkan bahwa para seniman-seniman di era 60-70-an sperti Syubah Assa, Ikranegara, Putu Wijaya, Rendra, Djamil Suherman, dan yang segenerasi acapkali nongkrong-nongkrong di Pasar Senin untuk membincang sastra dan teater sambil ngopi dan ngrokok. Juga kita kenal kelompok sastrawan ‘Siasat” yang menunjukkan komunitas para sastrawan di kantor majalah Siasat. Ada lagi komunitas sastra Bulungan, Dan masih banyak lagi. Umumnya sangat cair dan tidak memiliki kelembagaan formal dan berjalan secara alami tanpa strategi pengelolaan dan menejemen modern.
Pada perjalanan berikutnya, komunitas sastra sangat dipengaruhi politik. Baik politik praktis maupun politik sastra. Pengaruh politik praktis (dimulai era 65-an), memaksa komunitas-komunitas sastra yang semula bersifat tidak formal, alamiah, independen harus menjadi komunitas atau kelompok sastra yang dilembagakan seperti Lekra, Lesbumi, Manikebu, dan sebagainya.
Di era orde baru, eksistensi komunitas sastra menguat dengan politik sastra yang melawan dominasi pusat-pusat sastra. Komunitas sastra menjadi semangat dan bendera bagi perlawanan dominasi dan hegomoni kebudayaan dan kesastraan yang berada di pusat-pusat kebudayaan. Lahirlah gerakan sastra pedalaman yang membuka lahirnya berbagai komunitas-komunitas sastra di berbagai wilayah pada hakikatnya adalah sebuah politik sastra.
Setelah era otonomi daerah, otomatis implikasi politik sastra dalam komunitas-komunitas sastra mencair. Sungguh pun demikian, komunitas-komunitas sastra tetap memiliki warna politik sastra yang cukup kuat. Komunitas-komunitas sastra dapat menjadi alat politik sastra untuk membangun ketokohan-ketokohan sastra di daerah. Perlu diingat, bahwa setiap lahirnya tokoh dan ketokohan berpotensi besar pada hegomoni dan dominasi yang memungkinkan fenomena epigonisme dalam wilayah kreatif.
Lepas dari aspek politik sastra (yang memang tidak selamanya berkonotasi pada hal yang buruk), komunitas sastra memang menjadi bagian penting dalam ranah sejarah sastra dan sosiologi sastra (Ratna:2003). Setidaknya ada empat hal penting terkait dengan eksistensi komunitas sastra, yaitu (1) komunitas sastra membuka peluang regenerasi sastrawan, (2) membuka peluang terjadinya produktivitas dan aktivitas sastra yang simultan, (3) berpotensi melahirkan sastrawan yang kokoh, dan (4) memungkinkan penggalian kearifan local daerah, karena pada umumnya komunitas sastra berbasis pada kewilayahan. Keempat potensi ini harus menjadi dasar dan basis pengelolaan komunitas sastra.
/***/
Era society 5.0 sebagai anak kandung globalisasi berpengaruh besar pada berbagai perilaku kehidupan manusia yang berpengaruh pula pada sektor perilaku social. Cara bergaul dan bertindak tanduk sosial manusia era 5,0 jauh berbeda dengan sebelumnya. Komunikasi dunia maya lebih menguat dibanding dunia nyata. Kita perhatikan saja fenomena menjamurnya orang-orang berjubel di tempat-tempat public seperti kafe, warung, atau tempat nongkrong lainnya, tetapi mereka tidak berkomunikasi satu dengan yang lainnya, dan lebih asyik bermain dan berkomunikasi melalui gadget atau handphone.
Situasi tersebut melahirkan pertanyaan: ”Masih perlukah perjumpaan sosial secara nyata?”
Kalau kita sempitkan pertanyaan tersebut dalam ranah keberadaan komunitas sastra, pertanyaan adalah, “Masihkah diperlukakan komunitas sastra sedang perjumpaan-perjumpaan sosial sudah digantikan maya dan daring?” Masihkah perlu komunitas sastra yang pada awalnya berpotensi untuk saling belajar menulis, sedangkan pelatihan-pelatihan menulis on line menjamur tanpa perlu bertatap muka? Masih perlukah komunitas sastra untuk ajang bertemu dan berdiskusi, sedang tanpa bertemu kita bias saling belajar? Namun, bukahkan roh dari komunitas sastra adala perjumpaan?”
Tantangan kita yang pertama adalah mengubah atau mencari format baru bagi komunitas-komunitas yang berbasis pada digital. Perjumpaan-perjumpaan fisik dibatasi namun perjumpaan digital virtual dikuatkan. Ini berarti di komunitas-komunitas sastra diperlukan operator handal yang melayani anggota-anggotanya dalam perjumpaan virtual.
Tantangan kedua, selama ini komunitas-komunitas sastra lebih mementingkan bagaimana mencetak para penulis, tetapi tidak pernah memikirkan keberadaan pembacanya. Sehingga acapkali muncul pertanyaan di antara mereka “kalau sudah menulis siapa yang mengonsumsi tulisannya?”
Tantangan ketiga, banyak ruang kosong dalam sastra Indonesia yang kurang jeli untuk dilirik komunitas. Ruang kosong itu adalah kritikus dan penerjemahan. Komunitas sastra lebih bernafsu menciptakan penulis kreatif /sastrawan, tapi kurang bergairah dalam melahirkan kritikus. Pelatihan-pelatihan yang dilaksanakan lebih berorientasi pada pembekalan penciptaan kreatif, kurang berorientasi pada pembekalan bagaimana menelaah dan menganalis sastra.
Penerjemahan juga merupakan ruang kosong yang belum dilirik komunitas. Apalagi pada era digital ini, penerjemahan-penerjemahan sastra sangat diperlukan dan dimungkinkan.
Tantangan keempat, sastra saat ini adalah perjumpaan teks sastra dengan teks-teks lain. Sastra berkelindan dengan sains, psikologi, numera, kesehatan, ekonomi, sosial, politik, kulutral, gaya hidup, pasar, sejarah dan sebagainya. Oleh sebab itu komunitas-komunitas sastra harus mengedepankan materi-materi pengetahuan di luar sastra sebagai penguatan atas teks-teks sastra yang direproduksi.
Tantangan kelima, komunitas sastra tidak lagi menjadi bagian wilayah geografis tertentu. Ia telah mencair kemana-mana menjadi semesta. Bagaimana komunitas sastra di suatu tempat menjadi bagian komitas sastra di wilayah lain menjadi tantangan yang harus diupayakan. Globalisasi, digitalisasi memaksa sesuatu terpilin dengan yang lain. Komunitas sastra harus meninggalkan batas-batas kewilayahan untuk tetap eksis.
TJAHJONO WIDARMANTO
TTL: 18 april 1969 di Ngawi, Jawa Timur. Menulis esai, artikel, cerpen dan puisi. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan antara lain, Lima Buku Puisi Terbaik versi Hari Puisi Indonesia 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jawa Timur, Penghargaan Seniman Budayawan Berprestasi Jawa Timur 2012, Pemenang Sayembara Menulis Buku Pengayaan Buku Teks kategori Fiksi 2004, 2005, 2007, 2010, dan 2013, LCPI Komunitas Saung 2021, Esai-Esai Terbaik di Sastra Media 2022-2023, Penulis Terbaik Majalah Media Pendidikan Jawa Tmiur 2023, Nominasi Buku Sastra Terbaik 2023 pilihan Tempo.
Buku-bukunya yang telah terbit Dari Balik Maut Kulirik Cinta (2023), Suluk Pangracutan dari Kampung arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tulang Rusukku Tumbuh Bulu (buku puisi, Alang Pustaka:2021), Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan (buku puisi, Etankali:2020), Yuk, Nulis Puisi (Diva Press, 2019), Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019), Biografi Cinta (buku puisi, CMG:2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (buku puisi, Basabasi:2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (buku puisi, Satukata:2016), Pengantar Jurnalistik; Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (cet.ke-2, Araska Publisher, 2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (Satukata;2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (buku puisi, Satukata:2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, Satukata:2013), Masa Depan Sastra; Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (kumpulan esai sastra, Satukata:2013), Umayi (buku puisi, satukata:2012), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai sastra:2011), Drama; Pengantar dan Penyutradaraannya (Lingkarsastra Tanah Kapur, 2009), Mata Ibu (buku puisi, 2010), Kidung Cinta Buat Tanah Tanah Air (buku puisi 2007), Kitab Kelahiran (buku puisi, Dewan Kesenian Jatim:2003), Kubur Penyair (buku puisi, Diva Press:2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, KSRB;1997).