Oleh Hamidulloh Ibda
Bagi sebagian orang yang belum studi S2/S3 atau tidak berprofesi sebagai dosen/peneliti pasti acuh dengan yang namanya Scopus. Tapi bagi Anda yang kebetulan berada pada posisi tersebut tentu sudah mafhum dengan Scopus. Bagi saya, ini bukan soal kewajiban, tuntutan, atau sekadar syarat administrasi, tapi ini soal tradisi. Jika kita terbiasa menulis, mau itu di jurnal Sinta, jurnal terindeks Scopus, WoS, bagi yang yang sudah terbiasa ya biasa-biasa.
Sebenarnya, saya menyebut “tiket” karena banyak regulasi mengaturnya. Di antaranya Undang-undang Nomor 14 tahun 2015 tentang Guru dan Dosen pada pasal 60 dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berkewajiban antara lain melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 12 ayat (2) dan (3) dinyatakan bahwa dosen sebagai ilmuwan memiliki tugas mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah serta menyebarluaskannya. Dosen wajib melakukan publikasi ilmiah sebagai salah satu sumber belajar, peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 20 tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor mewajibkan dosen yang memiliki jabatan akademik Lektor Kepala dan Profesor untuk melakukan publikasi ilmiah. Riset di perguruan tinggi diatur dalam Pasal 46 Permendikbud No. 3 tahun 2020 yang diarahkan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan daya saing bangsa juga menyeru dosen untuk publikasi.
Terlepas dari regulasi itu, bahkan ada yang terbaru, sebenarnya menulis harus ditradisikan, dibiasakan, dibudayakan, dan dibumikan. Bagi mahasiswa S2/S3, dosen yang mau naik jabatan ke Lektor Kepala atau mau laporan BKD, atau dosen yang sedang berjuang menuju jabatan akademik guru besar.
- Iklan -
Syarat Lulus S2/S3
Syarat publikasi jurnal Scopus untuk memenuhi persyaratan gelar doktor dapat bervariasi tergantung pada kebijakan institusi pendidikan dan program doktor tertentu. Namun, umumnya, ada beberapa pedoman umum yang dapat menjadi acuan. Di sejumlah kampus, untuk S2 memang tidak wajib Scopus, cukup artikel di jurnal Sinta 2 sebagai syarat yudisium. Sedangkan ketika mahasiswa S2 mampu menerbitkan satu artikel di jurnal Scopus Q1-Q4 atau dua artikel di dua jurnal terindeks Sinta 2, mereka dibebaskan ujian tesis.
Sedangkan mahasiswa S3, 1 artikel wajib untuk syarat yudisium. Namun ketika mahasiswa doktoral bisa mempublikasikan dua artikel terideks Scopus, maka ia dibebaskan ujian terbuka. Hal ini alhamdulillah saya capai melalui Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL), saya bisa bebas ujian terbuka untuk lulus S3 di UNY. Saya berhasil menerbitkan dua artikel terindeks Scopus Q3 pada 2023 lalu.
Jika Anda ingin menerbitkan artikel di jurnal terindeks Scopus bagi yang sedang studi S2/S3 tentu harus merencanakannya jauh-jauh hari. Pertama, siapkan tema untuk publikasi, apakah diperbolehkan bagian dari tesis/disertasi atau tidak, dan pastikan regulasinya jelas. Kedua, publikasi yang akan dilakukan harus relevansi dengan riset S2/S3 Anda. Artinya artikel jurnal yang akan dipublikasikan sebaiknya berkaitan erat dengan topik penelitian S2/S3 Anda. Hasil penelitian tersebut seharusnya memberikan kontribusi signifikan terhadap bidang pengetahuan yang relevan.
Ketiga, pastikan kualitas jurnal sasaran tidak diragukan. Saya ingat cerita teman yang sudah merogoh kocek banyak, namun ternyata jurnalnya predator. Ini kan nyesek sekali. Artikel sebaiknya dipublikasikan di jurnal-jurnal yang diakui dan memiliki reputasi baik di bidang penelitian Anda. Jurnal-jurnal tersebut biasanya termasuk dalam basis data terindeks, seperti Scopus.
Keempat, pastikan jurnal harus melibatkan proses peer review, di mana ahli independen menilai kualitas dan metodologi penelitian yang dilakukan. Artikel yang telah melewati proses ini memiliki tingkat kepercayaan yang lebih tinggi. Kelima, perhatikan faktor dampak (impact factor). Beberapa institusi menilai kualitas jurnal dengan mempertimbangkan faktor dampaknya. Faktor dampak mencerminkan seberapa sering artikel dalam jurnal tersebut dikutip, yang dapat dianggap sebagai indikator pengaruh dan relevansi dalam komunitas ilmiah. Keenam, kepenulisan dan presentasi yang layak. Artikel harus ditulis dengan baik dan memenuhi standar penulisan ilmiah. Presentasi hasil penelitian harus jelas dan dapat dipahami.
Ketujuh, beberapa program S2/S3 mungkin menetapkan jumlah minimal publikasi yang diperlukan sebagai syarat kelulusan. Selain itu, diversitas publikasi dapat dihargai, misalnya, publikasi di berbagai jurnal atau konferensi yang relevan. Kedelapan, pastikan untuk memeriksa pedoman dan persyaratan spesifik dari institusi tempat Anda mengejar gelar S2/S3. Setiap institusi dapat memiliki persyaratan yang berbeda. Kesembilan, sebelum memulai proses publikasi, sebaiknya Anda berdiskusi dengan pembimbing Anda atau pihak berwenang di institusi pendidikan Anda untuk mendapatkan panduan yang lebih spesifik sesuai dengan kebijakan dan standar lokal.
Syarat Lektor Kepala dan Guru Besar
Selain soal syarat S2/S3, Scopus juga menjadi tiket untuk dosen yang hendak atau sedang menjabat sebagai Lektor Kepala dan Guru Besar (Profesor). Namun, sebenarnya ketika dosen dari Lektor menuju jabatan akademik Lektor Kepala, cukup artikel terindeks Sinta 2. Akan tetapi, saat laporan BKD untuk sertifikasi, mereka dituntut melaporkan publikadi di jurnal terindeks Scopus.
Berbeda dengan Lektor Kepala, proses untuk menjadi guru besar di perguruan tinggi biasanya melibatkan pencapaian akademis yang luar biasa, termasuk publikasi ilmiah di skala global seperti Scopus, WoS, dan lainnya. Namun, keharusan memiliki artikel di Scopus mungkin bergantung pada kebijakan universitas dan negara tempat Anda berada. Setiap lembaga dan negara memiliki persyaratan yang berbeda-beda. Akan tetapi ketika mau naik pangkat/jabatan akademik yang SK-nya dikeluarkan oleh Kemdikbudristek/Kemenag RI, maka ya tetap wajib publikasi Scopus.
Scopus merupakan salah satu basis data indeks kutipan yang mencakup literatur ilmiah dari berbagai disiplin ilmu. Artikel yang diindeks di Scopus biasanya telah melalui proses peer-review dan memenuhi standar kualitas tertentu. Oleh karena itu, memiliki publikasi di Scopus dapat dianggap sebagai indikator prestasi akademis.
Namun, menjadi guru besar biasanya memerlukan lebih dari sekadar publikasi di Scopus. Prestasi akademis yang konsisten, kontribusi signifikan dalam penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pencapaian akademis lainnya juga dapat menjadi pertimbangan. Persyaratan dan proses untuk mencapai jabatan guru besar dapat bervariasi, dan kebijakan universitas dapat berubah seiring waktu.
Jika Anda memiliki tujuan untuk menjadi guru besar, disarankan untuk meninjau kebijakan universitas tempat Anda bekerja atau berencana untuk melamar, serta memahami persyaratan yang berlaku di tingkat nasional atau regional. Biasanya, proses ini melibatkan penilaian kinerja akademis, termasuk publikasi ilmiah. Semoga kitab isa menjadi guru besar secepatnya melalui publikasi artikel terindeks Scopus. Begitu!
-Hamidulloh Ibda, dosen dan sedang menyelesaikan studi S3 Pendidikan Dasar FIPP UNY.