Oleh : Haniah Nurlaili
Keringat dingin tiba-tiba mengaliri pelipis Ratih tatkala ia mendengar sebuah nama tersembul dari mulut suaminya yang sedang tidur. ‘Kumala’. Siapa dia?
Ratih ingat jelas, terakhir kali suaminya mengigau ialah waktu menjelang pemilihan presiden tahun 2019. Saat itu hampir setiap hari suaminya menonton berita, mengamati elektabilitas paslon dukungannya, bahkan sering berdebat di kolom komentar di media sosial dengan orang-orang yang tidak sepaham dengannya. Puncak kekesalan Ratih adalah saat ia akan membangunkan suaminya, dia malah mengoceh tak jelas.
“Bedebah! Bisa-bisanya kau tak mengenaliku?” Ratih terbelalak saat menggoncang tubuh suaminya, malah umpatan yang ia dapat.
- Iklan -
“Maksudmu apa? Bangunlah, matahari sudah mau naik!”
“Berani-beraninya kau bicara tak sopan padaku.” Jawab suaminya, masih dengan mata terpejam. Ratih menghela napas. Untung saat itu ia masih sabar. Jika tidak, mungkin segayung air akan ia daratkan ke wajah suaminya.
“Memangnya kamu siapa?” Menyadari suaminya sedang mengigau, Ratih mencoba melontarkan pertanyaan.
“Kau tak kenal aku? Aku, calon presiden!”
Ratih bingung, apakah ia harus tertawa atau kesal. Tapi yang pasti, ia segera menarik lengan suaminya dan memaksanya untuk segera bangun karena keburu terlambat kerja.
Suami Ratih memang hampir setiap hari mengigau. Apa yang dia tonton, apa yang dia alami di tempat kerja, bahkan obrolan ringan dengan tetangga bisa masuk ke alam bawah sadarnya. Ratih sempat khawatir dan ingin membawanya ke psikiater untuk diperiksa. Ia khawatir suaminya mengalami gangguan tidur yang tak biasa, atau bisa-bisa terlalu jauh terjerumus ke dalam peran-peran aneh yang ia sebutkan dalam tiap tidurnya.
Selain mengaku menjadi calon presiden, suaminya juga pernah mengigau menjadi penjahat (akibat film yang baru saja ia tonton), pernah ngelindur menjadi pemain bola (setelah melihat highlights sebuah pertandingan liga Inggris), dan pernah juga mengaku-ngaku menjadi Pak RT lantas menarik iuran untuk menjenguk tetangga mereka yang sedang sakit. Ratih yang tak mau memberi iuran jelas dimarahi habis-habisan, tentu dengan mata yang masih terpejam.
Beruntung, pemilihan presiden berakhir dengan kemenangan calon yang didukung oleh suaminya. Intensitas ngelindur-nya sudah cukup berkurang, dan akhirnya benar-benar berhenti saat Ratih hamil anak pertama yang mereka nanti-nantikan selama lima tahun lamanya. Melihat suaminya tak pernah mengigau lagi, Ratih sempat menggodanya.
“Jika suatu saat kamu ngelindur nama perempuan, maka sudah bisa dipastikan.” Kata Ratih mantap.
“Dipastikan apa?”
“Ya dipastikan kamu punya perempuan lain selain aku.”
Dan kini, setelah hampir lima tahun berlalu, apa yang ditakutkan Ratih benar-benar terjadi. Setelah sekian lama suaminya tidak mengigau, kini untuk pertama kalinya lagi dia mengigau dan menyebut nama perempuan!
Ratih memainkan remote pendingin ruangan. Dipencet-pencetnya tombol itu hingga ke suhu yang paling rendah dengan putaran kipas paling tinggi. Namun keringatnya malah semakin deras mengalir.
@@@
Meski begitu, Ratih tak ingin gegabah. Ia ingin menunggu barang satu-dua malam berikutnya, apakah suaminya masih mengigau nama yang sama. Namun tak bisa dipungkiri, pikirannya kini liar kemana-mana.
Ratih mulai menganalisa. Kalau dilihat dari namanya, sepertinya Kumala itu adalah seorang wanita muda. Lalu, bagaimana deskripsinya? Apakah ia cantik, seksi, berkulit putih, dan berambut panjang? Ratih semakin takut karena gambaran perempuan itu sama sekali tak sesuai dengan dirinya. Semua yang ada pada dirinya adalah kebalikan dari Kumala versi yang ia ciptakan sendiri.
Jika benar begitu, lantas lebih jauh lagi, apa yang sudah mereka berdua lakukan? Apakah mereka hanya sekadar rekan kerja, atau lebih dari itu, wanita panggilan? Ah, pikiran Ratih semakin liar hingga ia tak sadar saat suaminya akan berangkat kerja dan ia belum menyiapkan apapun di atas meja.
“Apa ada masalah?” Menyadari ada yang tak beres, suaminya bertanya.
Ratih hanya menggeleng malas. Dipandanginya sang suami yang sudah berpakaian rapi lengkap dengan bau parfum yang begitu wangi. Sepatunya begitu mengilat, padahal Ratih ingat dia belum sempat mengelap.
“Ya sudah, kayaknya kamu masih ngantuk. Aku nanti sarapan di kantin kantor saja.” Ucap suaminya sembari berjalan keluar. Ratih masih terduduk di kursi makan. Ia tak melihat suaminya sedang berangkat kerja, namun melihat suaminya sedang berangkat menemui Kumala.
@@@
Pukul sembilan malam, Ratih dan suaminya sudah berada di atas ranjang. Suami Ratih sibuk dengan ponselnya, namun sepertinya tak ada hal yang mencurigakan. Sebaliknya, Ratih yang ada di sampingnya sedang ketar-ketir, perasaannya tak karuan. Pasti ia tak bisa tidur dan ia memang tak ingin tidur. Ratih ingin menunggu apakah nanti malam suaminya akan menyebut nama Kumala lagi atau tidak.
“Ngomong-ngomong, siapa calon presiden pilihanmu?” tanya Ratih sambil melirik ponsel suaminya. Terlihat suaminya sedang membalas pesan dari rekan kerjanya. Tertulis sebuah nama di layar : Pak Budi. Ah, pikiran Ratih jadi ugal-ugalan lagi. Ia pernah menonton serial yang menceritakan bahwa ada lelaki selingkuh dengan seorang wanita yang di ponselnya dinamai Tukang Galon. Perselingkuhan itu terkuak saat sang istri ingin memesan galon namun yang mengangkat telepon adalah seorang wanita dan ia marah-marah karena wanita itu merasa bukan penjual galon.
“Belum tahu, belum tertarik bahas politik.” Jawab suaminya datar.
Ratih jadi semakin curiga. Jika lima tahun lalu suaminya begitu menggebu-gebu bahkan waktunya sampai habis meladeni debat tidak penting dengan pengguna media sosial yang tak sepaham dengannya, mengapa sekarang ia mendadak berubah? Apakah ketertarikannya dengan dunia politik sudah pupus akibat ada hal lain yang lebih menarik?
Selang satu jam kemudian, suaminya terpejam. Sementara Ratih masih berpikir keras. Ratih memberanikan diri memeriksa ponsel suaminya. Apakah pak Budi adalah benar-benar Pak Budi, atau hanya nama samaran dari perempuan itu?
Satu jam berlalu dan tak ada sesuatu yang mencurigakan sama sekali. Dua jam berlalu dan Ratih belum juga tertidur. Ia sadar telah membuang-buang waktu untuk memikirkan hal yang tidak perlu. Namun insting perempuannya tetap mengatakan ada sesuatu yang sedang tidak baik-baik saja.
“Kumala…”
Akhirnya, tepat pukul 01.30 saat Ratih telah berhasil memejamkan sedikit matanya, nama itu terucap lagi dari mulut suaminya. Ratih lemas. Dugaannya mungkin benar. Selimut tebal yang ia kenakan ia lempar begitu saja. Keringat dingin mulai mengucuri seluruh tubuhnya.
@@@
Pagi harinya saat akan berangkat kerja, suaminya dibuat bingung dengan keadaan istrinya. Tak hanya tak ada sesuatupun di atas meja, tapi Ratih juga tak ingin bangkit dari tempat tidurnya. Bahkan matanya bengkak, tanda habis menangis semalaman. Saat ditanya ada apa, Ratih hanya menggeleng saja. Suaminya yang cemas akan keadaan istrinya semakin bingung karena istrinya itu tak ingin apa-apa. Mau diantar ke dokter tak mau. Mau dibelikan makanan juga tak mau. Ratih malah memaksa suaminya untuk segera berangkat kerja.
Di jalan, suaminya masih terbengong-bengong. Istrinya tak pernah berperilaku aneh seperti itu. Kini ia hanya melamun sepanjang perjalanan. Tepat di lampu merah sebelum kantornya berada, di perempatan paling besar dan lampu merahnya terkenal paling lama, suami Ratih melamun sambil memandangi sebuah baliho besar yang terpampang di hadapannya. Ia memang kerap memandangi baliho itu karena ukurannya yang amat besar dan menjadi pusat perhatian seisi kota.
Di baliho itu nampak sosok perempuan muda, berambut pendek dan berkacamata. Ia adalah seorang caleg dari sebuah partai tersohor di negeri ini. Di bawah foto perempuan itu, tertulis sebuah nama dengan font besar berwarna merah. Siapapun yang sedang lewat, dengan sengaja atau tidak pasti akan membaca namanya. Dan nama caleg itu adalah Kumala.
—– selesai —–
Haniah Nurlaili. Bertempat tinggal di Sragen, Jawa Tengah. Hobi menulis dan penyuka dekorasi rumah. Karya-karyanya pernah dimuat di Solopos, Joglosemar, Kedaulatan Rakyat, Detik.com, ideide.id, Fiksi Islami, Mbludus.com, Harian Rakyat Sultra, Cerpen Sastra, Janang.id, dan Kurungbuka.com.