Oleh Yanuar Abdillah Setiadi
Dalam berbagai aspek kehidupan selalu ada pihak yang ingin mempertahankan cara lama dalam bidangnya. Ada dunia bisnis yang dihuni oleh para senior yang sudah nyaman dengan posisinya tanpa melakukan pembaruan. Ada juga kaum birokrat yang tak bergeming dari kursi kekuasaanya dengan melakukan lobi sana sini. Bukannya sibuk melakukan terobosan dan sebuah perbaikan, mereka justru sibuk mempertahankan jabatannya selama mungkin. Di dunia pendidikan, kita pun merasakan hal yang serupa. Banyak guru yang hanya terima beres dengan sistem yang ada. Mereka tidak memiliki keresahan dan protes terhadap sistem pendidikan lama yang itu-itu saja. Biasanya, hal ini terjadi pada guru senior dengan jabatan dan gaji yang mapan.
Di dunia pendidikan sendiri, bisa kita temui dua macam pendidik. Pertama, pendidik yang selalu ingin melakukan pembaruan. Guru-guru seperti ini jumlahnya sangat sedikit. Bahkan, biasanya hanya ada satu guru saja di setiap sekolahan. Guru yang selalu ingin melakukan inovasi ini didorong oleh keinginan melawan konsep kemapanan yang sudah lama diterapkan pihak sekolah. Apalagi kebiasaan dan rutinitas tersebut sudah terlampau usang.
Sebenarnya, para guru pun sudah bosan atau cape dengan rutinitas yang sama. Tapi, kebanyakan dari mereka tetap melaksanakannya karena sudah menjadi tradisi dan kebiasaan yang turun temurun. Ada semacam keengganan untuk melakukan dobrakan. Ya, salah satu alasannya karena tidak sanggup menerima konsekuensi dari perubahan yang dilakukan. Pembaruan yang dilakukan tentu akan mendatangkan kritik dari berbagai pihak. Termasuk guru senior yang sudah mapan dengan sistem lama.
- Iklan -
Golongan yang kedua yaitu para pendidik yang menolak perubahan. Rata-rata mereka sudah nyaman berada di puncak karirnya serta merasa sudah puas dengan apa yang diterapkan selama ini. Padahal, perubahan sedang bergulir dengan cepat tanpa mereka sadari. Teknologi berdisrupsi dengan lekas melampaui kejumudan. Namun, mereka tidak merasa goyah sedikit pun dengan semua itu. Justru mereka enggan untuk keluar dari zona nyaman yang sudah mereka capai. Mereka adalah kaum incumbent yang mau terima beres dan terima enak saja.
Bagi saya, seorang guru harus memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perkembangan zaman yang sedang berlangsung. Sikap fleksibilitas dalam mencerna perubahan itu penting dalam dunia pendidikan. Jika tidak ingin berada di gerbong ketertinggalan, kita harus buang semua kenyamanan yang menghantui. Berangsur meraih kemajuan di masa depan dengan keluar dari comfort zone. Kenyamanan hanya akan mengantarkan kita pada keajegan yang membelenggu. Untuk itu, sebelum terkena tsunami disrupsi, ada baiknya seorang pendidik selalu melakukan disrupsi diri atau self disrupsition terlebih dahulu. Gampangnya, setiap pendidik harus melakukan persiapan dengan menantang dirinya dan sistem yang sedang berlangsung dengan pembaruan dan perbaikan sebelum disrupsi (perubahan besar) sesungguhnya benar-benar terjadi. Jika disrupsi benar-benar terjadi, sistem pendidikan kita sudah siap dan tidak gagap dan selalu tertinggal.
Dunia pendidikan benar-benar memerlukan self disruption supaya meteode pendidikan yang digunakan sesuai dengan perkembangan zaman. Jika tidak, kita hanya bisa menjadi penonton saja di tengah gegap gempita industri yang semakin maju. Munculnya AI yang sudah semakin dekat ini, juga menjadi tantangan baru di dunia pendidikan kita. Sebagai pendidik, kita harus memikirkan bagaimana caranya agar anak didik kita bisa beradaptasi dengan disrupsi yang sudah di depan pintu gerbang ini. Karakter peserta didik sangat dipengerahui oleh para guru dalam proses pembelajaran. Jika guru hanya menggunakan cara-cara lama dalam pembelajaran, maka kita telah menelantarakan mereka di goa ketertinggalan. Mereka akan tumbuh menjadi anak yang susah membedakan antara siang dan malam karena selalu nyaman berada di goa. Jangan sampai generasi setalah kita hanya akan menjadi penonton di tengah gegap gempita disrupsi. Ada 3 faktor yang saya rasa bisa membuat pendidik bisa lekas melakukan disrupsi diri pada proses pengajarannya.
Pertama, memelihara rasa resah. Rasa resah dan tidak mudah puas bagi pendidik itu penting. Bukan, bukan karena kita tidak bersyukur dengan segala proses pembelajaran yang berlangsung. Keresahan yang ada menjadi sebuah sikap sensitifitas pendidik untuk menemukan berbagai masalah yang ada. Masalah dalam dunia pendidikan sering kali menjadi benang kusut yang tak pernah diuraikan secara jelas. Tapi, tidak hanya berhenti pada rasa resah semata. Harus ada keberanian untuk mengaktualisasikan rasa resah tersebut dalam bentuk program baru, metode baru, mekanisme yang sistematis dan tidak berbelit dalam pembelajaran.
Kedua, tidak mudah puas dengan hasil. Banyak pendidik di negeri ini yang hanya peduli pada sebuah hasil. Pokoknya keberhasilan seorang siswa adalah sebuah kejayaan yang harus dikenang sepanjang zaman. Nama baik sekolahan akan semakin cemerlang jika semakin banyak siswa yang menjuarai berbagai ajang lomba. Itu yang mereka jual ke khalayak agar semakin menarik minat para peserta didik baru. Sebenarnya, yang lebih penting dari sebuah hasil adalah proses. Proses itu layaknya tuas penggerak yang terus mencetak prestasi. Jika prosesnya terus diperbarui dan dirawat dengan baik, maka akan tumbuh generasi pemenang yang tidak musiman. Tidak hanya satu atau dua kali juara namun dikenangnya hinggga puluhan tahun. Kita tidak hidup di masa lalu. Prestasi di masa lalu adalah kenangan indah yang tak perlu perayaan berlebihan. Jangan jadikan presasi siswa sebagai “nilai jual” sebuah sekolah jika sistem atau proses untuk mencetak prestasi tidak berjalan.
Ketiga, bertindak dengan efisien tanpa banyak pertimbangan. Kita tau bahwa dunia pendidikan selalu dibayangi oleh sistem senioritas. Meski tidak terlihat secara dominan, namun fenomena itu masih terjadi. Banyak guru senior yang bertindak sekenanya dan sesuka hati. Berbgai konsep mereka rancang dengan matang, namun saat pelaksanaan banyak diantara mereka yang memasrahkan pada juniornya. Giliran konsep dirancang oleh pendidik junior, mata para senior selalu awas dan memantau di sana-sini.
Pendidik yang memiliki sikap self disruption mengesampingkan sikap senioritas. Mereka akan bertindak demi kemajuan dan kebaikan seluruh elemen sekolah. Cibiran dan kritikan dari kaum incumbent adalah bensin yang menjadi energi mereka untuk terus melesat tanpa hambatan. Pertimbangan yang terlalu banyak hanya akan menahan kita pada posisi yang stagnan. Lakukan saja sebuah program dan inovasi, baik pada proses kbm di kelas atau di luar kelas dengan maksimal. Jika berhasil maka kita bisa menerapkan secara berkelanjutan. Sedang jika gagal, maka ada banyak pelajaran yang bisa kita petik untuk terus mencari model yang ideal.
Saya rasa, sudah saatnya kita berani melakukan locatan di dunia pendidikan. Disrupsi diri bisa menjadi upaya yang pas bagi pendidik untuk melakukan evaluasi dan revolusi pendidikan. Jangan sampai para pendidik merasa nyaman dengan pembelajaran yang itu-itu saja. Jangan kungkung pendidikan dengan kenyamanan yang melenakan. Dunia berubah, pendidikan harus terus berbenah!
-Yanuar Abdillah Setiadi, tinggal dan menetap di Kabupaten Purbalingga. Hobinya menulis puisi, artikel, esai dan sesekali bermain sepak bola. Karya puisinya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku pertamanya berjudul Mengaji Pada Alif (2023).