*)Oleh : Tjahjono Widarmanto
Prawacana
Dalam sebuah survey dan analisis data berkait denga tingkat kemampuan literasi yang dirilis oleh Central Conneticut State University dan dipublikasikan pada The Words’s Most Literate Nations Ranked, webcapp.ccsu.edu. Maret 2016 dapat diketahui bahwa Indonesia masih memiliki kemampuan berliterasi yang rendah. Publikasi di atas menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat nomor dua dari bawah (bukan nomor dua dari atas), yaitu posisi 60 dari 61 negara.. Posisi buncit itu menempatkan Indonesia jauh di bawah Malaysia, Brunai, bahkan di bawah Vietnam.
- Iklan -
Ironisnya, data tersebut sangat bertentangan dengan semangat Indonesia dalam membangun perpustakaan. Tercatat pads Central Conneticut State University, dalam hal proyek membangun perpustakaan, tercatat Indonesia menempati posisi ke-36, mengungguli Korea Selatan di urutan 42, Malaysia di urutan 44, Jerman di urutan 47, Belanda di urutan 44, dan Malaysia pada posisi urut 59. Ini berarti: Indonesia rajin mendirikan, membuat, dan membangun proyek-proyek perpustakaan, tetapi tidak sanggup memanfaatkan secara optimal! Maka yang terjadi adalah meski terus dibangun, pengunjung perpustakaan tetap senyap.
Data tradisi membaca dan minat membaca masyarakat Indonesia memang rendah. Dua tahun sebelum data di atas, UNESCO pada tahun 2014 merilis penelitian bahwa indeks tingkat membaca orang Indonesia hanya 0, 001. Itu berarti, dari 1000 penduduk Indonesia, hanya ada 1 orang yang membaca buku dengan serius. Itu berarti, dari 250 juta penduduk Indonesia hanya 250.000 orang yang punya minat membaca.
Taufik Ismail, seorang sastrawan Indonesia, di sepanjang 2012-2017, pernah melakukan survey pula untuk mengetahui tingkat membaca lulusan SMA. Data yang diperoleh adalah mereka yang membaca surat kabar hanya 4 persen, dan yang 5 persen membaca buku sastra, itu pun yang berjenis novel remaja atau popular. Data tersebut mempertegas kesimpulan Taufik ismail hahwa lulusan SMA adalah “nol buku”.
Minat baca yang rendah orang Indonesia pun juga bisa dilihat dari data yang dikeluarkan IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia), yang mencatat bahwa pada setiap tahunnya hanya ada 100.000 judul biku yang dimintakan nomor ISBN (International Series Book Number) di perpustakaan nasional, itu pun yang terbit hanya sampai 40 – 45 persen saja. Menguatkan data dari IKAPI ini, tercatat rata-rata hanya membeli 2 judul buku setiap tahun.
Ironisnya, tingkat baca yang rendah pada orang Indonesia ini bertolak belakang dengan pertumbuhan laju jumlah pengguna Indonesia yang terus meningkat tajam dari tahun ke tahun. Data yang diperoleh APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) menunjukkan di tahun 2014 pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta orang, di 2016 menjadi 132,7 juta dan di 2017 melonjak mencapai 143, 26 juta jiwa atau sekitar 54,68 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Bandingkan dengan jumlah pembaca buku yang hanya 4,5 persen.
Konsep dan Cakupan Literasi
Istilah literasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu literacy. Istilah literacy itu sendiri diambil dari bahasa latin yaitu littera, yang berarti huruf atau aksara. Istilah tersebut berkembang menjadi keberaksaraan yang berarti kemampuan memahami dan menggunakan aksara. Merriam Webster Dictionary, mengartikan literacy sebagai the ability to read and write, atau kemmapuan membaca dan menulis. Adapun Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memperluas pengertian literasi sebagai “kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup”. Unesco menganggap literasi sebagai hak azazi manusia yang fundamental dan menjadi dasar pembelajaran dan pendidikan manusia sepanjang hayat. Literasi menjadi esensi pembangunan manusia dan masyarakat suatu bangsa untuk dapat melakukan perubahan hidup yang lebih baik.
Dalam perkembangannya, literasi mengalami perluasan makna yang menyangkut kehidupan yang kompleks, seperti literasi media, literasi budaya, literasi politik, literasi digital, literasi teknologi, dan sebagainya. Deklarasi Praha di tahun 2003, menjelaskan bahwa literasi juga mencakup pada kemampuan seseorang dalam berkomunikasi di masyarakatnya. Itu berarti, literasi bermakna praktik dalam hubungan social yang terkait dengan pengetahuan dan penguasaan bahasa dan budaya untuk mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, dan mencari berbagai solusi secara efektif dan terorganisasi, sekaligus mengomunikasikannya dalam mengatasi berbagai persoalan kehidupan.
Saat ini literasi sudah menjadi praktik social, politik, dan cultural. Literasi tidak hanya berurusan dengan bidang bahasa dan sastra saja, tetapi menjadi media informasi yang kritis berbagai persoalan manusia dari masalah social, budaya, agama, teknologi, ekologi, ekonomi, politik bahkan matematika atau numera. Sehingga pengertian literasi mencakup tujuh pokok kemampuan dalam memahami, melibati, menggunakan, menganalisis, mentransformasi, mengeritisi dan mendekonstruksi berbagai teks kehiduapan.
Aspek Literasi Bahasa
Semua bidang literasi berbasis pada literasi bahasa. Literasi bahasa dapat diartikan sebagai kemampuan dan kecakapan dalam berbahasa. Kemampuan dan kecakapan berbahasa adalah kemampuan memahami, menafsirkan, menganalisis, mentransformasikan, dan mengeritisi berbagai teks yang menggunakan sarana bahasa. James Gee menegaskan bahwa literasi merupakan bentuk keterampilan yang dimiliki seseorang dalam kegiatan berpikir, berbicara, membaca, dan menulis. Sedangkan Stripling menekankan bahwa litersi memiliki konsep dasar “kemelekwacanaan”.
Literasi bahasa berdasarkan pada urain tersebut di atas meliputi : (1) kemampuan baca tulis (melek wacana), (2) kemampuan mengintergrasi kemampuan menyimak, wicara, membaca, dan menulis, (3) kemampuan merumuskan dan menyatakan gagasan/ide baru, (4) kecakapan dalam menggunakan bahasa di lingkunagan akademis dan social, (5) kemampuan performansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan, dan (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami wacana secara professional.
Literasi bahasa harus ditingkatkan dengan berbagai jalan yang mengarah pada peningkatan berbagai aspek kemampuan berbahasa, bak melalu pendidikan formal maupun nonformal. Hal ini terdapat dalam Peraturan Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagai pencanangan mutu pendidikan yang tertian dalam Rencana Strategik 2005-2025 berupa strategi “Kebijakan Peningkatan Mutu, Relevansi, dan Daya Saing.
Kesimpulan.
Kemampuan literasi bahasa akan berdampak pada penguatan bahasa Indonesia, sekaligus penguatan jatidiri bangsa Indonesia. Peningkatan literasi bahasa dapat menempatkan dan semakin mengokohkan bahasa Indonesia dalam posisi global atau mendunia, sehingga bahasa Indonesia dapat menjadi piranti komunikasi internasional, media pencitraan bangsa, dan memperkuat jati diri serta daya saing bangsa dalam dunia internasional.
*) Penulis adalah Guru SMA 2 Ngawi