Oleh Yanuar Abdillah Setiadi
Perkembangan ilmu yang semakin masif membuat seseorang bisa mencari ilmu dimana saja dan kapan saja. Disrupsi informasi menjadikan manusia merasa kewalahan. Kencangnya arus informasi seakan membanjiri berbagai lini kehidupan. Google memudahkan segala akses dengan sekali tekan. Kemanjaan pun lahir dibalik selubung yang kita sebut sebagai kemajuan zaman. Sebentar lagi, manusia akan memasuki era artificial intelligence. Era dimana segala sesuatu dikendalikan oleh kecerdasan buatan. Kekhawatiran pun muncul di kalangan masayarakat luas. Ada yang mengatakan bahwa peran manusia akan berkurang bahkan digantikan secara perlahan oleh robot-robot buatan.
Jangan khawatir! Ingatlah firman tuhan yang menyebutkan jika manusia adalah seorang khalifah yang diciptakan tuhan sebagai pemelihara alam semesta ini. Secanggih apapun teknologi yang dihasilkan oleh kemajuan zaman abad mutakhir ini, tugas manusia tidak akan tergantikan sedikit pun. Hal ini bukanlah omong kosong belaka. Belum lama ini, saya mengisi waktu luang dengan membuat musik yang diaransemen oleh website AI. Apa hasilnya? Karya yang dihasilkan oleh website tersebut tidak mengandung unsur humanis sama sekali. Hanya menghasilkan nada dengan not yang sederhana dan cenderung monoton.
Di sinilah kelebihan seorang insan. Manusia memiliki hati yang bisa dijadikan sebagai patokan dalam mempengaruhi alam bawah sadar manusia lain. Hati menjadi getaran yang mampu memberikan rangsangan tanpa sentuhan fisik. Manusia dianugerahi oleh tuhan sebuah organ yang memunculkan sikap empati dan simpati untuk saling mengasihi. Banyak orang yang mengatakan bahwa dalam setiap tindakan yang dilakukan hendaklah menggunakan kata hati. Kalimat itu tidak bisa kita telan dengan mentah-mentah. Ada sebuah makna tersirat yang tersembunyi pada kalimat tersebut. Kata hati menuntun manusia pada keagungan yang berada di puncak kebijaksanaan, bahkan tanpa menggunakan pertimbangan akal.
- Iklan -
Sebagai seorang santri, kita dihadapkan dengan masa depan yang kalang kabut tanpa kepastian. Ada badai rintangan yang sudah siap memporak-porandakan segala ingin yang masih terbungkus dalam angan. Namun, tidak ada satu celah pun bagi para santri untuk merasa khawatir. Pekerjaan apapun yang dilaksanakan di masa datang oleh seorang santi tidak lepas dari kesucian niat yang bersemayam dalam hati. Segala sesuatu diatkan untuk mencari keberkahan dan keridoaan sang pencipta semata tanpa iming-iming dunia. Panggilan hati akan mengantarakan para santri menuju profesi dan pekerjaan yang disukai dan memberikan kemanfaatan.
Istilah panggilan hati atau calling sedang menjadi perbicangan para akademisi. Panggilan hati memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada sekedar passion semata. Istilah passion sering menjadi antitesa bagi para anak muda yang enggan bekerja di bawah tekanan orang lain. Passion memiliki kecenderungan yang mengantarkan manusia pada keinginan untuk pemenuhan diri sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan panggilan hati atau calling. Panggilan hati menuntun manusia untuk berkarya dan berdaya secara mandiri untuk dirinya dan sesama. Saya rasa hal ini dimiliki oleh setiap santri. Dimana dalam sebuah pekerjaan, santri tidak hanya memikirkan dirinya saja tapi juga memikirkan kepentingan umat.
Para santri memiliki prinsip bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah manifestasi dari sebuah ketaatan pada tuhan. Dalam Al-Quran, disebutkan bahwa tugas dan fungsi manusia diciptakan di muka bumi ini tidak lain untuk beribadah kepada Allah semata. Maka, pekerjaan yang dilakukan santri adalah sebuah wasilah untuk menjalankan tugasnya sebagai hamba. Pekerjaan yang berasal dari panggilan hati akan mendatangkan keberkahan. Namun, sebelum menapaki dunia kerja, ada dua hal penting yang harus dimiliki seorang santri:
Pertama, kematangan mental dalam menghadapi situasi. Saat di pesantren, para santri akan ditempa dengan lingkungan yang plural. Kehidupan di pondok adalah miniatur dalam bermasayarakat, berbangsa dan bernegara. Sejak dini, para santri sudah terbiasa dengan kehidupan yang penuh dengan perjuangan dan pengorbanan. Mereka dibiasakan untuk hidup mandiri saat jauh dari orang tua. Berbagai aktivitas di pesantren mampu melatih kematangan mental sejak dini. Selain itu, pendidikan pesantren juga mengasah santri menjadi pribadi yang tajam dan peka pada kondisi yang dihadapi. Kepekaan inilah yang dibutuhkan sebagai upaya melatih diri sebelum terjun ke masyarakat. Ketika sudah mukim dan berbaur dengan elemen masyrakat, mereka sudah siap dalam menghadapi problematika yang terjadi.
Kematangan mental tersebut akan menjadi pijakan yang kokoh di masa mendatang. Apapun rintangan yang dihadapi saat menjalankan sebuah pekerjaan tidak menjadi ranjau yang berarti. Mereka tidak peduli dengan hambatan-hambatan keduniaan. Baginya, hambatan tersebut layaknya gula yang menjadi pemanis dalam perjalanan hidup. Selama pekerjaan tersebut mendatangkan keridoaan tuhan, maka sekencang apapun badai akan diterjang dengan segala asa.
Kedua, sikap kebermanfaatan bagi sesama. Manusia memiliki kecenderungan untuk egois. Tapi, di satu sisi manusia juga makhluk yang mempunyai rasa bosan. Untuk itulah, hawa diciptakan untuk menghalau kesepian adam. Mereka beranak pinak hingga mencetak ribuan insan di muka bumi ini. Manusia pun hidup berdampingan dengan sesama. Inilah cara tuhan untuk menguji kita menjadi seorang hamba. Setelah bumi dihuni ribuan penduduk, apakah kita akan tetap hidup dengan egois demi mencapai tujuan pribadi semata? Tentu tidak!
Santri selalu memiliki pertimbangan untuk melaksanakan segala pekerjaan yang mempunyai nilai kemanfaatan. Bukan sekedar kemanfaatan bagi dirinya sendiri melainkan kemanfaatan bagi orang-orang disekitarnya. Santri layaknya bunga yang memberikan keharuman pada sekelilingnya dengan ilmu yang dimiliki. Para santi akan mengesampingkan pekerjaan individualis. Mereka akan memilih pekerjaan yang memberikan dampak bagi masyarakat luas. Menebar pengaruh positif pada sesama adalah kunci kebahagian dan kekayaan batin bagi manusia.
Meski pilihan hidup mengantarkan pada persimpangan jalan yang terkadang membuat bingung. Namun, santri tidak perlu risau dengan pilihan-pilihan yang tersaji di depan mata. Mereka akan memilih pekerjaan yang mampu menyejahterkan masyarakat luas. Mengutamakan kepentintangan orang lain di atas kepentingan sendiri sudah mendarah daging pada diri santri. Ini terbukti dengan pengabdian yang dilakukan tatkala masih di pesantrennya. Pengabdian adalah wasilah untuk memperkaya pengalaman dalam menjalani kehidupan. Karena, tugas utama santri adalah mengaji dan mengabdi.
Begitulah seharusnya para santri. Berteberan di muka bumi ini dengan kemurnian niat yang berasal dari panggilan hati untuk melaksanakan pekerjaan di masa depan. Kematangan mental dan sikap kebermanfaatan santri bagi sesama akan menjadi pijakan menuju generasi emas Indonesia di tahun 2045.
Yanuar Abdillah Setiadi, tinggal dan menetap di Kabupaten Purbalingga. Hobinya menulis puisi, artikel, esai dan sesekali bermain sepak bola. Karya puisinya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku pertamanya berjudul Mengaji Pada Alif (2023).