Oleh: Pekik Nur Sasongko*
Gus Iqdam (adalah fenomena yang luar biasa. Betapa tidak, majelisnya di mana pun berada selalu dihadiri oleh ratusan ribu jamaah. Tidak hanya saat di Blitar dan sekitarnya, dakwah beliau di Palangkaraya, Wonosobo, dan kota-kota lainnya pun dipenuhi oleh lautan manusia yang ingin belajar atau sekedar menikmati majelis beliau. Salah satu yang menarik dari jamaah Gus Iqdam adalah keberagaman latar belakang mereka. Ada yang berasal dari santri, kiai, pemabuk, preman, bahkan nonmuslim.
Fenomena keberhasilan Gus Iqdam dapat menjadi alat refleksi bagi guru (khususnya di lingkungan Ma’arif) agar makin dicintai oleh warga Nahdhiyin dan warga Indonesia pada umumnya. Berikut di antara poin-poin yang dapat menjadi bahan kontemplasi.
Dakwah Itu Merangkul, Bukan Memukul
- Iklan -
Gus Iqdam memang bukan satu-satunya pendakwah di lingkungan Nahdlatul Ulama yang memegang erat prinsip ini. Namun, sangat jelas langkah Gus Iqdam dalam merangkul orang-orang yang seringkali dianggap sebagai ‘sampah masyarakat’ telah membuat banyak orang terbuka hatinya untuk kemudian memperbaiki diri menuju kehidupan yang lebih baik.
Dalam perjalanan dakwahnya, Gus Iqdam bahkan pernah menemani seorang pemabuk untuk kemudian selangkah demi selangkah mengajak pemabuk tersebut meninggalkan minum minuman keras. Pemabuk tersebut bahkan saat ini menjadi salah satu jamaah rutin Majelis Sabilu Taubah yang didirikan Gus Iqdam.
Tidak hanya itu, Gus Iqdam tidak pernah menghina atau merendahkan pengikut agama lain. Hasilnya, tidak sedikit orang yang kemudian masuk agama Islam melalui Gus Iqdam. Selain itu, hingga saat ini ada banyak nonmuslim yang mendukung dakwah Gus Iqdam karena mereka merasakan kenyamanan saat berada di Majelis Sabilu Taubah.
Semangat untuk merangkul ini tentu sudah sepatutnya untuk dimiliki guru, khususnya di lingkungan Ma’arif. Bagaimana guru menghargai anak-anak didiknya yang berasal dari latar belakang berbeda untuk kemudian selangkah demi selangkah mengajak mereka untuk mendalami Islam dan ilmu-ilmu lain yang bermanfaat untuk kehidupan mereka.
Penggunaan Bahasa yang Membumi
Gus Iqdam dikenal luas dengan bahasanya yang mudah diterima oleh banyak kalangan. Sangat jarang mendapati dakwah beliau yang menggunakan bahasa-bahasa berat yang hanya dipahami oleh santri atau orang yang memang sudah menekuni Islam secara sungguh-sungguh. Padahal, latar belakang Gus Iqdam adalah santri tulen yang saat ini juga mengajar di pesantrennya. Penggunaan bahasa yang membumi ini menjadikan Gus Iqdam diterima oleh jamaahnya.
Tentu tidak semua bahasa yang digunakan Gus Iqdam dapat digunakan di lingkungan pendidikan. Namun, semangat untuk menghadirkan materi dengan bahasa yang asyik dan mudah dipahami audiens sudah sepatutnya dimiliki guru Ma’arif. Dengan menggunakan bahasa yang berterima, peserta didik tentu akan lebih mudah menyerap informasi yang disampaikan. Lebih dari itu, mereka akan makin nyaman dalam belajar dan makin semangat dalam mempelajari materi.
Penggunaan Humor
Gus Iqdam dikenal luas sebagai pendakwah yang asyik. Banyak yang terpikat dengan humor-humor segar yang keluar dari lisan Gus Iqdam. Humor yang membuat banyak orang betah untuk berlama-lama menikmati pegajian. Humor yang membuat orang tertawa, untuk kemudian diam sejenak dan melakukan kontemplasi bahwa humor tersebut juga sarat akan ilmu.
Penggunaan humor dalam dakwah memang bukan dimotori oleh Gus Iqdam. Sebelumnya, ada sosok KH Abdurahman Wahid (Gusdur), KH Anwar Zahid, dan sederet ulama lain dari rahim Nahdlatul Ulama yang menggunakan umor dalam dakwahnya. Namun, Gus Iqdam memberi warna baru dengan ciri khasnya yang santai saat menyampaikan materi. Bahkan, kata-kata khasnya, seperti dekengane pusat, garangan dan garanganwati menjadi viral.
Nah, pemanfaatan humor dalam dunia Pendidikan tentu dapat menjadi refleksi tersendiri bagi guru. Yang poinnya tentu saja untuk membiasakan peserta didik beragama secara asyik dan toleran.
Pemanfaatan Teknologi
Jamaah Gus Iqdam tidak hanya di dunia nyata. Dakwah beliau diterima lebih luas seiring dengan muhibinnya yang memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan dakwah sang guru. Hasilnya, berulang kali Gus Iqdam mendapatkan testimoni dari jamaahnya bahwa mereka mengenali dan kemudian menggandrungi Gus Iqdam setelah mendengar ceramah-ceramahnya di Titok, Youtube, Facebook, dan media sosial lain.
Pemanfaatan teknologi juga dihadirkan muhibbin Gus Iqdam dengan teknologi lampu dan sound yang terkini. Pemanfaatan teknologi ini diakui atau tidak telah memberikan warna tersendiri bagi dakwah Gus Iqdam.
Pertanyaannya kemudian adalah, Apakah guru-guru Ma’arif sudah memanfaatkan teknologi dengan optimal? Atau sebaliknya, masih asyik dengan model pendidikan tanpa sentuhan teknologi. Padahal, murid-murid yang menjadi ‘penikmat’ dari sistem pembelajaran di Ma’arif saat ini adalah mereka yang sudah terbiasa dengan smartphone, media sosial, dan artificial intelligence.
Tidak Melupakan Tradisi
Sekalipun Gus Iqdam dikenal sebagai dai muda yang milenial dan memanfaatkan teknologi, beliau tidak pernah lupa dengan tradisi pesantren yang telah ditekuninya sejak dini. Jamaah Gus Iqdam sudah sangat hafal bagaimana gestur tubuh Gus Iqdam saat bertemu guru-gurunya, ulama sepuh, maupun habaib. Dengan label ‘kekinian’ yang melekat pada beliau, Gus Iqdam tetap konsisten dengan tradisi takdim ala pesantren Nahdlatul Ulama. Selain gestur tubuh, masih banyak tradisi khas Nahdlatul Ulama yang dijalankan Gus Iqdam secara konsisten.
Poin ini juga menarik untuk menjadi bahan kontemplasi. Bagaimana guru-guru di lingkungan Ma’arif mengenalkan tradisi-tradisi khas Nahdlatul Ulama secara konsisten. Dengan demikian, peserta didik akan selalu menjadi garda terdepan dalam menyebarkan Islam yang rahmatan lil alamin.
Lima poin tersebut tentu hanya sedikit dari banyak hal yang dapat dijadikan cermin bagi guru-guru Ma’arif. Masih banyak poin-poin lain yang dapat digali untuk menjadi bahan kontemplasi sehingga guru-guru Ma’arif berhasil mendidik generasi Indonesia menjadi bagian dari pelajar sepanjang hayat. Pelajar yang menikmati proses belajarnya dan terus mempersiapkan diri melanjutkan estafet dakwah pada ulama.
*Pecinta buku dan pendidikan