Oleh : Danang Febriansyah
Seorang ustadz sedang memberi tausyah kepada santri dan warga lingkungan sekitar yang hadir dalam pengajian rutin di pendapa pondok pesantren yang diasuhnya.
“Ada sebuah kisah nyata yang saya dengar langsung dari guru saya sewaktu nyantri tentang bagaimana seorang kyai ahli Qur’an menangani santri yang nakal dan cukup merepotkan pengurus pondok.”
Ingatan Ustadz Haikal menerawang jauh dua puluh tahun yang lalu.
- Iklan -
***
Lelaki sekitar lima puluh tahunan, berpeci hitam dengan kacamata frame tebal berwarna hitam itu tampak khusyuk membaca kitab kuning di kursi teras rumahnya yang teduh. Tampak beberapa kali ia menulis sebuah catatan di meja. Sesekali dia menerawang sambil kalimah-kalimah dzikir dan doa terucap untuk kebaikan.
Dari halaman depan dua orang lelaki muda mengenakan sarung mendekatinya. Selepas mengucap salam kedua lelaki muda itu menjabat tangan dan mencium punggung tangannya.
“Mohon ijin bertanya, Kyai Umar,” ucap lelaki muda berpeci putih mengawali bicara.
Lelaki yang sedang membaca kitab kuning itu menutup kitabnya. Lelaki yang disebut Kyai Umar itu kemudian melepas kacamata dan meletakkan kacamata itu di atas meja.
“Monggo, duduk dulu,” kata Kyai Umar mempersilakan dua orang itu sambil tersenyum.
Kedua orang itu kemudian duduk.
“Silakan, mau bertanya tentang apa?” Tanya Kyai Umar masih dengan senyumnya.
Dua orang itu saling sikut, sebuah kode untuk bicara lebih dulu antara salah satunya.
“Mbok ya santai saja. Kalian kan sudah ngajar ngaji di pondok ini. Silakan bicara saja, nggak usah takut-takut. Saya kan nggak menghukum kalian.” Kyai Umar mencoba menengahi.
“Anu, Kyai,” ucap yang berpeci putih., “Anu….”
“Fanani, nggak seperti biasanya kamu grogi begitu. Biasanya kamu sebagai pengurus pondok tegas pada santri-santri.”
“Begini, Kyai.” Lelaki yang berkoko lengan pendek mulai bicara.
“Teruskan, Akbar.” Kyai Umar mengalihkan pandangan pada Akbar.
Sementara Fanani masih menunduk.
“Sekitar satu bulan yang lalu, kami sebagai pengurus pondok mendata santri-santri yang nakal, sesuai permintaan Kyai Umar…,” Akbar mulai bicara, raut mukanya terlihat serius. Terlihat Akbar menghela napas.
“Lanjutkan,” ucap Kyai Umar meskipun sudah tahu ke arah mana kalimat yang diucapkan pengurus pondoknya.
***
Pondok pesantren di mana kyai Umar sebagai pengasuhnya merupakan salah satu pesantren tertua di kota kecil itu. Pondok yang terkenal karena sang pengasuh sebagai ahli Al Qur’an yang sangat tawadhu’ dan berhati-hati dalam masalah hukum agama. Karenanya banyak orang tua yang memasukkan anak-anak mereka ke pondok Kyai Umar untuk mendapatkan pendidikan Al Qur’an yang jelas sanad keilmuannya.
Ratusan santri di Pondok Pesantren Kyai Umar ada beberapa anak-anak nakal, sebuah kenakalan remaja pada umumnya. Namun ada beberapa santri yang bagi pengurus pondok sudah tidak bisa ditoleransi. Peraturan pondok sudah sering dilanggar meski berkali-kali ditegur dan dihukum sesuai tata tertib di pondok.
Merasa sudah menjalankan instruksi tentang menangani santri yang nakal, Fanani dan Akbar merasa tidak mendapatkan jalan lagi dalam menghadapi beberapa santri yang nakal. Karenanya mereka berdua menghadap Kyai Umar untuk mendapatkan solusi.
“Begini, kyai…,” Akbar memberi jeda, memikirkan kalimat yang sesuai untuk dikatakan pada Kyai Umar. “Beberapa santri nakalnya sudah keterlaluan, berkali-kali melanggar tata tertib pondok, meskipun kami sudah menegur dan memberi takzir pada mereka, tapi santri-santri itu tetap mengulanginya lagi.”
Kyai Umar mendengarkan laporan Akbar dengan seksama. Sementara Fanani menunduk.
“Memang ada santri yang berhenti melakukan pelanggaran. Namun santri-santri nakal yang lain masih terus mengulanginya. Kami berencana mengeluarkan santri-santri tersebut dari pondok ini, agar nama baik pondok tidak menjadi buruk. Karenanya, kami menghadap Kyai, mohon arahannya.” Akbar menutup laporannya.
Hening. Langit biru di angkasa cukup tenang. Seekor burung terbang tak luput dari pandangan Kyai Umar. Akbar dan Fanani saling pandang, menunggu perintah dari sang kyai setelah beberapa mereka terdiam.
“Begini.” Kyai Umar memecah keheningan. “Kembalilah ke kantor pondok, tulisa nama santri yang kalian sebut nakal itu. Lalu serahkan padaku daftar nama-nama itu nanti selepas Asar.”
Akbar dan Fanani lega, rupanya harapan agar santri-santri nakal itu dikeluarkan dari pondok dirasa akan diwujudkan.
Adzan Asar berkumandang, Akbar dan Fanani mohon diri untuk segera menulis daftar santr-santri nakal.
***
“Kenapa santri-santri itu belum ada perintah dari Kyai untuk dikeluarkan dari pondok?” Tanya Akbar.
“Ini sudah satu bulan, Kyai.” Fanani menambahkan.
“Lha kapan aku berencana mengeluarkan mereka?” sahut Kyai Umar.
“Waktu Kyai meminta daftar santri-santri nakal.” Fanani terlihat segan dengan kalimat yang dikatakan. Takut membuat Kyai Umar marah.
Namun suara Kyai Umar tetap teduh, tidak seperti yang ditakutkan Fanani bahwa Kyai Umar akan marah.
“Begini, Akbar, Fanani. Santri yang ratusan lebih itu tidak semua aku hafal nama-namanya. Karenanya aku meminta daftar nama santri-santri yang kalian sebut nakal itu.” Kyai Umar tersenyum. “Agar ketika dalam sholat, dalam dzikir dan dalam beribadah nama-nama mereka tidak lupa aku sebutkan dalam doa agar mereka dilembutkan hatinya. Dan lagi, nama-nama mereka aku khususkan dalam doa untuk kebaikan mereka.”
“Jadi bukan untuk dikeluarkan?” Tanya Akbar sekali lagi memastikan.
“Bukan. Orang tua mereka memasukkan anak ke pondok kita ini untuk dididik menjadi orang yang baik, kenapa malah kita keluarkan? Percayalah, usaha kalian dalam mendidik mereka akan menuai hasil. Insya Allah.”
Akbar dan Fanani menunduk, mendengarkan uraian Kyai Umar.
“Tentu kalian hafal kitab Alala bait kedua tentang syarat mencari ilmu, kan?”
Akbar dan Fanani mengangguk, “Iya, Kyai.”
“Syarat kelima mencari ilmu adalah petunjuk guru. Kalian sebagai guru memiliki kewajiban memberi petunjuk yang baik pada santri-santri yang nakal atau tidak nakal. Tanpa kecuali.”
Lagi-lagi Akbar dan Fanani mengangguk. Mereka mengingat kitab yang pernah diajarkan Kyai Umar tersebut.
“Hanya Allah yang berkuasa akan takdir mereka di masa depan. Tugas kita sebagai guru untuk mendidik dan mendoakan mereka menjadi lebih baik. ”
Matahari sore hampir terbenam. Hal itu tak lepas dari pandangan Kyai Umar.
“Sebentar lagi Magrib. Kalian sudah paham yang haru kalian lakukan selanjutnya. Didiklah mereka sebagaimana mestinya kalian sebagai guru. Sekarang mari kita bersiap-siap ke masjid dan mengaji,” tutup Kyai Umar.
Akbar dan Fanani mencium punggung tangan Kyai Umar dalam berjabat tangan. Aura melegakan segera merasuk dalam jiwa mereka.
***
“Dan bapak, ibu sekalian. Tahukah kalian bagaimana nasib salah satu santri nakal tersebut?”
Warga dan santri yang hadir diam, menunggu kalimat selanjutnya dari Ustadz Haikal.
“Salah satu santri nakal tersebut adalah saya,” kata Ustadz Haikal diiringi membasah matanya.
Seketika Al Fatihah tertuju pada Kyai Umar yang saat ini sudah wafat. Namun ilmu yang diajarkannya diamalkan oleh Ustadz Haikal di pondok pesantrennya.
Rintik gerimis di luar mulai membasahi tanah.
2 Desember 2023
Danang Febriansyah, alumni Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta dan alumni #KampusFiksi 13 Yogyakarta. Dari Sastra Alit Surakarta belajar lebih banyak karya sastra yang mencerdaskann. Dari FLP Solo tahu bahwa menulis adalah mencerahkan.
Pernah menulis cerpen, puisi, resensi buku dan dimuat di berbagai media, Solopos, Joglosemar, Jawa Pos Radar Mojokerto, Jawa Pos Radar Banyuwangi, Simalaba.net, Floressastra.com, Cendananews.com, magrib.id, dan lain sebagainya.
Pernah membukukan tulisannya dalam antologi dan buku tunggal berupa cerpen, memoar dan puisi diterbitkan oleh penerbit Elex Media, nulisbuku.com, Taman Budaya Jawa Tengah, Diomedia. Novelnya “Arundaya: di Masjid Kutemukan Cintaku” diterbitkan Penerbit Diomedia 2019. Novel “Arundaya” kemudian dialihbahasakan ke dalam Bahasa Jawa, dan terbit pada Oktober 2021.
Tinggal di Bulukerto, Wonogiri sambil membuka perpustakaan nirlaba “Fatiha” dan tergabung dalam Forum Taman Baca Masyarakat Kab. Wonogiri.