Oleh Yanuar Abdillah Setiadi
Manusia hakikatnya adalah pembelajar sepanjang hayat. Belajar menjadi salah satu upaya sebagai makhluk ciptaan tuhan untuk senantiasa memperbaiki diri. Melatih diri untuk terbiasa beradaptasi dengan perkembangan zaman yang kian melaju dengan cepat. Proses pendidikan pun bisa ditempuh dengan dua cara yaitu, pendidikan formal dan pendidikan non formal. Sebagaimana kita ketahui, pendidikan formal di indonesia pun sudah terstruktur dan sistematis. Mulai dari PIAUD, TK, SMP, SMA hingga universitas. Anak dimasukan pada lembaga sekolah formal sejak memasuki usia 4-5 tahun.
Pendidikan formal pertama yang mereka ikuti adalah PIAUD atau KB. Pada jenjang ini, porsi bermain lebih besar dari pada belajar. Tujuanya agar anak memiliki ketertarikan terlebih dahulu pada dunia pendidikan dan merasa menikmati prosesnya. Lalu pendidikan dilanjutkan ke jenjang Taman Kanak-Kanan. Sistem pendidikannya pun tidak jauh berbeda dengan PIAUD dan KB. Di sini, para anak mengikuti berbagai permainan sambil belajar. Bedanya, waktu belajar di tingkat TK lebih lama dari KB atau PIAUD. Selanjutnya, pada taraf SD anak sudah mulai belajar dengan materi-materi yang sudah disiapkan dalam kurikulum. Porsi bermain di tingkat sekolah dasar pun kian memudar digantikan dengan teori.
Selesai pada tingkat sekolah dasar, para orang tua akan berbondong-bondong mencari SMP favorit bagi anak-anak mereka. Jika tidak bisa masuk SMP Favorit, para orang tua akan mencari sekolah IT dengan biaya pendidikan yang jauh lebih mahal dari pendidikan di sekolah negeri. Bahkan, ada beberapa orang tua yang menghahalkan segala cara agar anaknya bisa masuk sekolah negeri favorit. Salah satunya dengan memanipulasi kartu keluarga dengan alamat rumah yang lebih dekat dengan lokasi sekolah. Harapannya anak mereka bisa lolos sistem zonasi lantaran jarak rumah dan sekolah yang dekat.
- Iklan -
Hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan pendidikan di taraf SMA. Orang tua yang tidak ingin anaknya bersekolah di SMA yang biasa-biasa saja, mencoba memasukan anaknya ke SMA dengan bantuan orang dalam. Cara-cara ini masih kita temukan di berbagai belahan Indonesia hampir setiap ajaran baru. Setelah diterima, para siswa akan belajar di sekolah selama 5 hari dalam seminggu. Kegiatan belajar mengajar selama 5 hari tersebut dihabiskan di ruang kelas. Mereka dituntut untuk menguasai berbagai rumus, materi dan persamaan-persamaan. Waktu yang siswa habiskan di rumah pun hanya sedikit. Interaksi dengan lingkungan sekitar pun hampir tidak ada lantaran di weekend mereka lebih memilih menghabiskan waktu untuk istirahat atau berlibur.
Sedangkan di taraf universitas, para mahasiswa ditutntut membayar UKT dan uang pangkal yang semakin ke sini semakin mahal. Ada beberapa birokrat kampus yang memanfaatkan kesempatan ini sebagai ajang korupsi. Di satu sisi, para orang tua mati-matian menyekolahkan anaknya. Tapi, di sisi lain ada berbagai oknum tertentu yang mencoba memanfaatkan momen tersebut untuk memperkaya diri. Berbagai permasalahan di lembaga pendidikan formal memang tak ada habisnya. Seperti sistem tutup lubang dan gali lubang. Akhirnya, timbul pertanyaan dalam benak kita semua. Apakah pendidikan formal seperti itulah yang hendak kita terapkan pada anak-anak kita? Lantas, apakah pendidikan non formal bisa menjadi jalan keluar?
Bagi saya, pendidikan formal saat ini hanya mencetak anak agar menjadi manusia yang cerdas saja. Sementara di kehidupan yang penuh tantangan ini, kita tidak hanya membutuhkan manusia yang cerdas saja. Tapi, manusia yang memiliki kemampuan beradaptasi dan problem solving yang memadai. Jika sejak usia dini, anak selalu dimasukan pada sekolah kelas elit, anak-anak akan terlena dengan kehidupan yang bergelimang harta. Padahal, kaya bukanlah tujuan dari sebuah pendidikan. Ingat! Tujuan sebuah pendidikan adalah membuat manusia agar mampu berkarya, berdaya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitar.
Pendidikan formal juga dibutuhkan bagi para anak. Contohnya TPA dan TPQ. Di TPQ, para anak akan berbaur dengan anak-anak yang mayoritas berasal dari desa. Berbeda dengan kehidupan di lingkungan sekolah formal yang menggunakan seragam sama, di sekolah non formal seperti TPQ para siswa akan menggunakan pakaian yang berbeda. Perbedaan kecil seperti ini bisa melatih anak dalam menghargai perbedaan. Berbaur dengan anak-anak sepantaran yang berasal dari desa bisa melatih anak untuk mengenal arti sebuah kesederhanaan. Selain melatih anak untuk bisa mengaji dengan baik dan benar, TPQ bisa mengurangi jam bermain gadget pada anak. Sehingga timbul sikap empati dan tumbuh jiwa sosial pada anak.
Bukan hanya kegiatan TPQ saja, ada berbagai pendidikan non formal yang bisa anak dapatkan. Salah satunya dengan melibatkan anak pada berbagai kegiatan sosial seperti santunan. Di era milenial ini, kita seperti ditampar oleh sebuah realita yang menyayat hati. Hal ini lantaran anak-anak yang kita besarkan tidak memiliki kepedulian sosial pada lingkungan sekitar. Mereka lebih mementingkan kehidupan sendiri dan tidak peduli pada orang-orang di sekitar. Padahal, kebermanfaatan bagi manusia lain adalah tanda keberhasilan pendidikan. Kegiatan seperti santunan terhadap anak yatim menyadarkan jiwa sang anak bahwa ada orang lain yang berada di bawah mereka. Rasa syukur pada anak akan tumbuh dengan senidrinya. Mereka juga akan lebih menghargai dengan segala barang dan kenikmatan yang mereka miliki.
Keseimbangan antara pendidikan formal dan non formal sudah saatnya menjadi perhatian bagi para orang tua. Supaya tidak menimbulkan sebuah ketimpangan yang akan mereka sesali di kemudian hari. Upaya keseimbangan ini, diharapkan bisa menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas teori saja. Tapi memiliki sikap adaptif, empati dan dedikasi tinggi pada pekerjaan yang dilakukan.
-Yanuar Abdillah Setiadi, tinggal dan menetap di Kabupaten Purbalingga. Hobinya menulis puisi, artikel, esai dan sesekali bermain sepak bola. Karya puisinya telah tersebar di berbagai media cetak dan online. Buku pertamanya berjudul Mengaji Pada Alif (2023).