*) Oleh : Tjahjono Widarmanto
Smart society 5.0 sebenarnya sebuah era yang diangankan mempunyai konsep yang menyusun gagasan teknologi digital dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup, memudahkan pemecahan masalah, dan mewujudkan lingkungan yang lebih baik. Smart society 5.0 membuka dan mencari setiap kemungkinan bagaimana dalam menggunakan sains dan iptek berbasis supermodern (missal AI (artificial intelegency),dan IoT (internet of thing) berupa pengetahuan dan aktivitas berbasis internet).
Society 5.0 jelas merupakan fenomena perubahan peradaban yang berpengaruh besar pada setiap lini kehidupan manusia. Dengan kata lain society 5.0 adalah gelombang perubahan kebudayaan yang secara revolusioner akan mengubah atau membentuk wujud baru dari unsure-unsur kebudayaan manusia.
Sebagaimana kita ketahui, kebudayaan memiliki lima unsur. Kelima unsure kebudayaan tersebut merupakan milik kolektif atau milik bersama yaitu:
- Iklan -
Bahasa
Stem social
Organisasi social
System peralatan hidup dan teknologi
System mata pencaharan hidup
System religi
Kesenian.
Sastra sebagai salah satu bentuk unsure kebudayaan yang berupa kesenian juga
akan mengalami perubahan, mungkin dari sisi bentuk/wujud atau isi. Tentu saja perubahan bentuk sastra dari sisi wujud dan isinya, secara otomatis akan mempengaruhi masa depan sastra.
Dalam kenyataannya, keberadaan sastra Indonesia masih dalam keadaan yang goyah. Sastra masih dipandang sebagai bentuk seni yang elite, tidak popular, tidak menyenangkan, marginal, tidak dibaca, dan dipandang sebagai hasil lamunan saja. Walaupun banyak sekali universitas-univertas yang memiliki prodi sastra, walaupun sastra diajarkan di persekolahan, tetap saja sastra bernasib tragis. Tidak dibaca! Nasib tragis sastra tentu saja juga membawa kemalangan bagi nasib para sastrawannya. Seperti juga hasil karyanya, sastrawan dipandang sebelah mata bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Profesi sastrawan dipandang profesi yang runyam, yang akan dijauhi oleh para calon mertua.
Sastra yang tidak memiliki pembaca, berdampak pada produksi buku sastra. Buku sastra tergolong buku yang tidak diminati. Jumlah produksi buku sastra sedikit karena kecil pangsa pasarnya. Karena memproduksi buku sastra jelas merugi, maka para sastrawannya enggan memproduksinya dalam bentuk buku. Mereka lebih suka memproduksi teks-teks sastra yang pendek yang bias segera dikirimkan ke media dengan risiko lebih kecil (paling-paling tidak dihonori oleh media).
Sastra Indonesia dalam situasi yang goyah itu, tiba-tiba harus berhadapan dengan tantangan baru yang super sakti yaitu era society 5.0 dengan serdadu-serdadu saktinya seperti e-book, AI, IoT, what pad, dan sejenisnya. Sastra Indonesia kita makin puyeng ketika ada tuntutan untuk me-reposisi sastra Indonesia (kacian deh sastra Indonesia kita).
Untuk mereposisi sastra Indonesia harus dimulai dari semua sector yang berkait dengan sastra. Dengan kata lain, reposisi sastra Indonesia harus dimualai dari menata dan memberdayakan ekosistem sastra Indonesia.
Sastra Indonesia tidak berdiri sendiri, tetapi memiliki sebuah ekosistem. Ekosistem sastra terdiri dari beberapa komponen atau system yang bertaut dan berpilin satu dengan yang lain.
Ekosistem sastra terdiri dari komponen-komponen:
Sastrawan
Karya/teks sastra
kritikus
pembaca
Penerbit
Sastrawan merupakan komponen pertama dalam ekosistem sastra. Sastrawan
berperan sebagai produsen atau penghasil teks-tek sastra. Sastrawan sebagai produsen sastra dituntut memiliki kompetensi yang maksimal dalam menggarap kesastraan. Baik berupa ide yang sabar, isi, maupun estetikanya. Sebenarnya komponen sastrawan dalam ekosistem sastra Indonesia sudah cukup memadai, bahkan di beberapa genre sastra jumlahnya berlebih, secara kualitas sastrawan Indonesia (baik yang tua, setengah tua, atau yang muda, baik yang go international, nasional, maupun regional) sudah memiliki keberdayaan yang tinggi
Teks sastra/ karya sastra merupakan komponen kedua yang penting bahkan vital dalam ekosistem sastra Indonesia. Apa jadinya jika sastrawan kita banyak tapi tak diimbangi dengan produk sastra yang banyak? Itu dari sisi kuantitas. Dari sisi kualitas, bagaimana jadinya wajah sastra Indonesia jika sastrawannya buanyakkk tapi produk sastranya pas-pasan?
Kritikus adalah komponen ketiga dalam ekosistem sastra Indonesia. Persoalan minimnya kritikus sastra kita sudah menjadi persoalan klasik dan klise. Banyak lulusan sastra, namun Indonesia miskin kritikus. Jumlah sastrawan yang lahir dan jumlah karya sastra yang meluap tak diimbangi dengan jumlah kritikus. Akibatnya, sastra Indonesia seperti “gawang tanpa kipper’ atau “makan tanpa lauk’ atau “pacaran tanpa mencium’.
Komponen keempat yaitu pembaca, juga sama dengan komponen ketiga: Nyaris tak ada suaranya!
Komponen kelima dalam ekosistem sastra Indonesia adalah penerbit. Buku-buku sastra adalah tolok ukur dari perkembangan kesusastraan. Almarhum Suparto Brata pernah berseloroh bahwa, “Sastra yang diperhitungkan adalah yang berwujud buku!”. Penerbit-penerbit memiliki jasa yang besar dan tidak boleh diabaikan perannya dalam perkembangan kesusastraan Indonesia. Tanpa ada penerbit, tidak ada buku sastra. Tidak ada buku sastra, tamatlah riwayat sejarah kesusastraan .
Persoalannya di era society 5.0 akankah para penerbit akan memunculkan penerbitannya tetap dalam bentuk konvensional, ataukah beralih dalam bentuk lain, ebook atau bentuk digital lain menyusul saudara-saudaranya media massa cetak yang sulih wahana dalam bentuk platform digital dan on line?
Kalaupun akan berubah wujud kedigital, sudahkan pembaca buku sastra dengan kebiasaan lama :membaca buku konvensional beralih ke kebiasaan baru: membaca digital. Padahal kita tahu mengubah kebiasaan bukan persoalan mudah.
Bagaimana pula dengan system niaganya? Bagaimana dengan system reproduksinya? Bagaimana bentuk penjualan ebook dan semacamnya itu?. Belum lagi persoalan bagaimana mengatasi resiko rentannya plagiasi dan pembajakan yang tentu akan lebih mudah terjadi pada platform digital dan sejenisnya.
Mari kita diskusikan bersama!
BIODATA PENULIS
TJAHJONO WIDARMANTO
TTL: 18 april 1969 di Ngawi, Jawa Timur. Menulis esai, artikel, cerpen dan puisi. Beberapa kali menerima penghargaan di bidang kesastraan antara lain, Lima Buku Puisi Terbaik versi Hari Puisi Indonesia 2016, Penghargaan Sastrawan Pendidik 2013 dari Pusat Pembinaan Bahasa, Penghargaan Guru Bahasa dan Sastra Berdedikasi 2014 dari Balai Bahasa Jawa Timur, Penghargaan Seniman Budayawan Berprestasi Jawa Timur 2012, Pemenang Sayembara Menulis Buku Pengayaan Buku Teks kategori Fiksi 2004, 2005, 2007, 2010, dan 2013, dan LCPI Komunitas Saung 2021.
Buku-bukunya yang telah terbit Suluk Pangracutan dari Kampung arwah (2023), Qasidah Langit, Qasidah Bumi (2023), Bersepeda dari Barat ke Utara hingga Tulang Rusukku Tumbuh Bulu (buku puisi, Alang Pustaka:2021), Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan (buku puisi, Etankali:2020), Yuk, Nulis Puisi (Diva Press, 2019), Kata dan Bentuk Kata dalam Bahasa Indonesia (2019), Biografi Cinta (buku puisi, CMG:2019), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (buku puisi, Basabasi:2018), Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (buku puisi, Satukata:2016), Pengantar Jurnalistik; Panduan Awal Penulis dan Jurnalis (cet.ke-2, Araska Publisher, 2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra (Satukata;2014), Sejarah yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (buku puisi, Satukata:2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, Satukata:2013), Masa Depan Sastra; Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (kumpulan esai sastra, Satukata:2013), Umayi (buku puisi, satukata:2012), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai sastra:2011), Drama; Pengantar dan Penyutradaraannya (Lingkarsastra Tanah Kapur, 2009), Mata Ibu (buku puisi, 2010), Kidung Cinta Buat Tanah Tanah Air (buku puisi 2007), Kitab Kelahiran (buku puisi, Dewan Kesenian Jatim:2003), Kubur Penyair (buku puisi, Diva Press:2002), dan Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, KSRB;1997).